...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Internasional Perempuan Pembela HAM 29 November (27 November 2020)

Siaran Pers Komnas Perempuan

Memperingati Hari Internasional Perempuan Pembela HAM 29 November

Pentingnya Perlindungan dan Pemulihan Perempuan Pembela HAM dari Kekerasan Berbasis Gender

27 November 2020

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai mekanisme nasional HAM memiliki mandat khusus penghapusan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya terhadap Perempuan Pembela HAM (PPHAM). Istilah PPHAM merujuk pada sistem HAM internasional. Pertama kali diperkenalkan dalam Deklarasi PBB tentang Pembela HAM dan diadopsi oleh Sekretaris Jenderal PBB pada 9 Desember 1998, kemudian dipertegas oleh Deklarasi Marakhesh pada 2017. Kekerasan terhadap PPHAM menurut Komnas Perempuan terjadi baik sebelum masa pandemi Covid-19 maupun saat pandemi. Secara umum bentuk kekerasannya tidak mengalami perubahan, terjadi di ruang sosial dan media sosial (kejahatan siber), namun dampak kekerasan tersebut menjadi lebih dalam akibat pandemi. Oleh karena itu, Komnas Perempuan berupaya secara terus menerus membangun dukungan bagi pengakuan dan perlindungan Pembela HAM, khususnya PPHAM.

Berdasarkan laporan dan kajian, Komnas Perempuan mencatat bahwa hingga saat ini PPHAM masih terus mengalami kekerasan dan tantangan dalam kerja-kerja mereka. Setidaknya terdapat 5 kasus kekerasan yang dilaporkan 5 lembaga mitra tempat PPHAM bekerja (Catahu, 2020). Profesi mereka beragam termasuk sebagai pendamping korban baik pada isu kekerasan terhadap perempuan, aktivis, ataupun relawan pada isu lingkungan, kemiskinan dan konfik. Kekerasan yang dialami berupa ancaman/intimidasi yang tak jarang mengarah pada tubuh dan seksualitas mereka serta kriminalisasi. Sedangkan Forum Pengada Layanan (FPL) dalam studinya mencatat bahwa selama mendampingi kasus, para PPHAM rentan mengalami ancaman dan kekerasan yang tidak hanya membahayakan diri sendiri tetapi juga keluarga dan kerabatnya. Ancaman diperoleh melalui sms atau facebook atas ketidaksukaan pelaku terhadap kerja-kerja pendampingan dan advokasi korban (FPL, 2019)

Pada kasus pelecehan seksual terhadap PPHAM, proses hukum atas kekerasan tersebut kerap diabaikan, karena dianggap sebagai resiko yang tak terelakkan. Namun demikian, Komnas Perempuan melihat minimnya proses hukum pada kasus kekerasan seksual adalah akibat ketiadaan kebijakan terkait kekerasan seksual dan kuatnya budaya menyalahkan korban, sementara daya dukung pemulihan korban terbatas. Akibat selanjutnya, adalah keberulangan kekerasan terhadap PPHAM.

Sementara di masa pandemi Covid-19, para PPHAM yang berprofesi sebagai pendamping di lembaga pengada layanan melaporkan berbagai resiko saat mendampingi korban yang berdampak langsung baik secara personal maupun kelembagaan. Hasil kajian Komnas Perempuan terhadap pengada layanan masa pandemi, menemukan bahwa para pendamping ini mengalami peningkatan jam kerja yang menyumbang pada meningkatnya beban kerja; juga mengalami kerentanan tertular Covid-19 karena mereka harus menjemput korban secara langsung. Beban kerja panjang juga mengakibatkan mereka mengalami stres secara psikologis karena selain memikirkan korban mereka juga harus memikirkan kesehatan keluarga sementara banyak dari mereka tidak memiliki penghasilan cukup serta minim jaminan kesehatan. Dampak selanjutnya adalah menurunnya kualitas kesehatan dan timbulnya konflik dan kekerasan di dalam rumah tangga. Meski demikian, komitmen melayani perempuan korban membuat pendamping terus bekerja bahkan berperan di komunitas untuk memastikan pencegahan Covid-19 serta melakukan penguatan ekonomi korban atau komunitas.

Diakui bahwa isu kesehatan mental ini tidak hanya terjadi pada masa pandemi saja melainkan juga di situasi non-pandemi. Ancaman, intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan termasuk kekerasan seksual yang dialami PPHAM saat melakukan kerja pembelaan berdampak trauma panjang bahkan terhadap keluarga mereka. Demi mengatasi masalah kelelahan psikis dan mental tersebut, PPHAM berupaya melakukan penyembuhan secara personal atau bersama PPHAM yang lain. Dukungan keluarga, teman dan komunitas amat berarti terutama bagi PPHAM yang mengalami kekerasan seksual. Namun demikian, situasi ini tidak dapat terus-menerus dilakukan sendiri oleh PPHAM mengingat PPHAM juga memiliki keterbatasan. Upaya membantu PPHAM pulih sepatutnya juga dilakukan oleh Negara melalui berbagai kebijakan yang memungkinkan PPHAM dapat bekerja dalam rasa aman dan tanpa kekerasan.  

Namun hingga saat ini pula, pengakuan dan perlindungan Negara terhadap PPHAM ini masih sangat minim padahal secara konstitusional, Pasal 28G (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Lebih lanjut, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pasal 2 (b) mengatur bahwa “Negara Pihak penting membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan”. Belum adanya kebijakan perlindungan ini dikuatirkan akan berpengaruh pada melemahnya upaya penanganan dan pemulihan terhadap PPHAM. Akibat selanjutnya akan menghambat upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan ke depan.

Merespon situasi ini, Komnas Perempuan, merekomendasikan kepada para pihak khususnya DPR RI dan Kementerian/Lembaga terkait agar:

 1. DPR RI: untuk segera menjadikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual agar masuk dalam prolegnas 2021 serta mengapresiasi fraksi dan para anggota legislatif pengusul atas RUU tersebut;

2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA): untuk menyegerakan hadirnya protokol perlindungan untuk pendamping pengada layanan atau Perempuan Pembela HAM dan memastikan protokol tersebut di semua lembaga pengada layanan, baik masyarakat maupun pemerintah dengan memperhatikan kondisi yang berbeda;

3. Kementerian Kesehatan: untuk membantu PPHAM melalui penyediaan jaminan kesehatan dengan biaya terjangkau terutama terkait dengan kerja-kerja penegakan HAM Perempuan yang PPHAM lakukan;

4. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan: untuk bekerja secara sinergis memastikan PPHAM aman secara Kesehatan saat melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan. Penyediaan ruang tunggu yang mengikuti protokol kesehatan selama masa pandemi akan sangat membantu PPHAM melakukan tugasnya dengan nyaman;

5. Lembaga Layanan Masyarakat dan UPTD-P2TP2A: untuk menerapkan atau mengadopsi protokol penanganan kekerasan terhadap perempuan masa pandemi di tingkat lembaga; mengembangkan forum-forum konseling atau pemulihan bagi pendamping agar dapat bekerja dengan optimal;

6. Media (nasional dan lokal): untuk lebih intens dalam mempublikasikan dan menyuarakan persoalan-persoalan Perempuan Pembela HAM termasuk terkait kekerasan seksual dan di masa pandemi;

7. Masyarakat luas: untuk terus memberikan pendidikan publik tentang pentingnya penghapusan dan penanganan kekerasan seksual yang dapat terjadi pada siapa saja termasuk pada PPHAM.  

 

Narasumber Komisioner:

  1. Theresia Iswarini
  2. Retty Ratnawati
  3. Veryanto Sitohang

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)

 

 Silahkan mengunduh 

 Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Internasional Perempuan Pembela HAM (27 November 2020)


Pertanyaan / Komentar: