...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Pemasyarakatan 2025

“Memastikan Perlindungan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan Perempuan dan Tahanan Perempuan Bebas dari Kekerasan Seksual dan Penyiksaan”

 

Jakarta, 28 April 2025

 

Perlindungan bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP) perempuan di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan tahanan perempuan di rumah tahanan (rutan) untuk  bebas dari kekerasan seksual dan penyiksaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penegakan hak asasi manusia dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan (KtP). Pernyataan ini disampaikan oleh Wakil Ketua Transisi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ratna Batara Munti dalam peringatan Hari Pemasyarakatan, 27 April 2025. 

 

“Perlindungan bagi WBP perempuan dan tahanan perempuan dari kekerasan seksual dan penyiksaan merupakan amanat konstitusi dan secara khusus telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan yang Kejam atau Tidak Manusiawi Lainnya. Sedangkan dalam konteks keamanan lapas dan rutan diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 33 Tahun 2015 tentang Pengamanan pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara serta Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan),” tegas Rr. Sri Agustini, Komisioner Komnas Perempuan.

 

Merujuk pada Informasi Data Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan jumlah narapidana perempuan saat ini sebanyak 10,098 orang. Komnas Perempuan menyoroti bahwa lapas perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan serius yang berdampak pada pemenuhan hak-hak dasar narapidana perempuan. Kelebihan kapasitas, keterbatasan fasilitas yang responsif terhadap kebutuhan spesifik perempuan, serta minimnya layanan kesehatan reproduksi dan kesehatan mental mencerminkan perlunya peningkatan standar perlindungan berbasis gender. Narapidana perempuan, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui, masih menghadapi akses terbatas terhadap layanan yang bermartabat dan ramah hak asasi. Situasi ini diperburuk oleh adanya risiko kekerasan berbasis gender di dalam lapas, di tengah lemahnya sistem pengawasan dan mekanisme pengaduan.

 

Sedangkan dalam konteks tahanan perempuan di rutan, Komnas Perempuan menegaskan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan memperluas kewajiban negara untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana. Perlakuan yang adil dan bermartabat harus dijamin sejak proses peradilan hingga pelaksanaan pidana berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap, tanpa diskriminasi, dan sejalan dengan prinsip keadilan berbasis hak asasi manusia.

 

Pada 2024 Komnas Perempuan menerima pengaduan kekerasan berbasis gender (KBG) di ranah negara sebanyak 308 kasus, 106 kasus di antaranya terkait dengan perempuan yang berkonflik dengan hukum (PBH), di antaranya 15 kasus kekerasan seksual dan penyiksaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia pada proses penyidikan, dalam bentuk penelanjangan, hingga pemerkosaan untuk memaksa, menekan, mengintimidasi bahkan menyiksa agar PBH memberikan keterangan yang diinginkan penyidik. “Hal ini sangat memprihatinkan, dan harus dihentikan,” imbuh Komisioner Sri Agustini.

 

Komnas Perempuan memberi perhatian khusus terhadap kasus kekerasan seksual dan penyiksaan terhadap tahanan perempuan di lapas dan rutan masih terus terjadi. Tugas dan fungsi rutan dan lapas memang berbeda, namun saling terkait. Peristiwa perkosaan berulang (4 kali) terhadap tahanan perempuan bernama PW di Rutan Kepolisian Resor (Polres) Pacitan yang dilakukan oleh Iptu LC Penjabat Kepala Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Kasat Tahti) di Polres Pacitan akan berdampak pada proses pembinaan dan rehabilitasi korban yg merupakan PBH yang akan dilakukan di lapas. Oleh karena itu, penting untuk memastikan rutan dan lapas bebas dari penyiksaan dan kekerasan seksual. 

 
“Selain kasus yang terjadi di Polres Pacitan, pengaduan mengenai keamanan rutan dan lapas ini sudah banyak di terima oleh Komnas Perempuan, oleh karenanya sistem keamanan perlu diaudit, seperti mengevaluasi apakah CCTV sudah diterapkan, pengawasan, pemeriksaan sudah berjalan optimal. Upaya-upaya serius dan langkah sistematis untuk mencegah dan menangani  tindak kekerasan dan penyiksaan di lingkungan rutan dan lapas  harus segera dilakukan. Adanya relasi kuasa yang kental antara petugas/pejabat dengan para tahanan perempuan berpotensi menimbulkan peluang pelanggaran hukum seperti kekerasan fisik, psikis hingga kekerasan seksual.  Fakta kasus memperlihatkan, kekerasan seksual yang dialami oleh tahanan perempuan justru dilakukan oleh pihak yang memiliki kuasa dan wewenang yang seharusnya menjadi pelindung mereka,” tegas
 Ratna Batara Munti. 

 

Menurut Sondang Frishka SimanjuntakWakil Ketua Transisi Komnas Perempuan, salah satu temuan dari forum Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, LPSK dan Komisi Nasional Disabiltas adalah tidak berjalannya mekanisme pengaduan apabila para tahanan ingin melaporkan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh petugas rutan/lapas atau pun oleh sesama tahanan.

 

Komnas Perempuan juga mendesak jaminan perlindungan hukum yang sama bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum, dalam pelaksanaan Qanun Hukum Jinayat di Provinsi Aceh baik yang ditahan oleh Wilayatul Hisbah, maupun lembaga pemasyarakatan, atau tempat lain yang ditunjuk oleh Wilayatul Hisbah.

 

Oleh karena itu, di Hari Permasyarakatan Indonesia 2025, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada pemerintah untuk:  

  1. Menjadikan peringatan Hari Pemasyarakatan Indonesia sebagai momentum untuk melaksanakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak asasi perempuan, salah satunya menghapuskan kekerasan seksual dan penyiksaan terhadap tahanan perempuan. 
  2. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, penanganan kekerasan terhadap perempuan (SPPT-PKKTP), pranata rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan memiliki peran yang sangat substansial mulai dari tahap pra-adjudikasi, adjudikasi, dan pasca-adjudikasi. Melalui sistem pemasyarakatan, perlakuan terhadap tahanan perempuan harus dilaksanakan secara terpadu meliputi pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan, perawatan, pengamanan, dan pengamatan dengan menjunjung tinggi penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi perempuan.
  3. Menindak tegas aparat penegak hukum yang melakukan kekerasan seksual dan penyiksaan kepada tahanan perempuan baik secara etik maupun hukum pidana dengan menerapkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan yang Kejam atau Tidak Manusiawi Lainnya.
  4. Meratifikasi Optional Protocol Konvensi Anti Penyiksaan sebagai wujud kongkit terlaksananya mekanisme pencegahan penyiksaan di lokasi lapas, tahanan dan serupa tahanan, dan mematuhi “Bangkok Rules” sebagai standard universal untuk pedoman perlakuan bagi para tahanan perempuan dengan berbagai kondisi khususnya.

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: