...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Sindrom Down Sedunia 2025

Tingkatkan Sistem Dukungan dan Perlindungan Perempuan dengan Sindrom Down dari Kekerasan Berbasis Gender

 

Jakarta, 21 Maret 2025



“Tingkatkan Sistem Dukungan Kita” (“Improve Our Support System”) merupakan tema Hari Sindrom Down Sedunia yang diperingati pada 21 Maret 2025. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendukung tema penguatan sistem dukungan ini yang merupakan kunci agar mereka dapat mengakses penanganan komprehensif kasus kekerasan seksual, layanan kesehatan komprehensif, perawatan, pendidikan, informasi, partisipasi publik dan peluang hidup yang setara dan adil. 

 

Bahrul Fuad, Komisioner Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, menyoroti bahwa perempuan dengan sindrom down merupakan kelompok yang mengalami kerentanan berlapis dalam menghadapi kekerasan berbasis gender. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2024, tercatat 23 perempuan dengan disabilitas intelektual, termasuk perempuan dengan sindrom down, menjadi korban kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual.

 

“Perempuan dengan sindrom down menghadapi kerentanan berlapis. Selain karena kondisi disabilitasnya, mereka juga harus menghadapi stigma sosial dan rendahnya akses terhadap informasi yang memadai, khususnya terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas. Ini memperbesar risiko mereka mengalami kekerasan berbasis gender terhadap perempuan,” ujar Bahrul Fuad.

 

Bahrul menjelaskan bahwa kondisi ini dipicu oleh berbagai faktor, di antaranya kuatnya stigma sosial terhadap perempuan dengan disabilitas dan rendahnya literasi kesehatan reproduksi dan seksualitas di kalangan individu dengan sindrom down. Stigma ini tidak hanya membatasi akses perempuan dengan sindrom down terhadap informasi dan layanan penting, tetapi juga meningkatkan risiko mereka mengalami kekerasan dan pelecehan seksual yang sulit terungkap.

 

Rainy M. Hutabarat, Ketua Tim Advokasi Internasional Komnas Perempuan, menambahkan bahwa dalam penanganan kasus kekerasan seksual, perempuan korban dengan sindrom down mengalami hambatan dalam penanganan kasusnya karena penegak hukum belum berperspektif gender dan disabilitas. 

 

“Di sisi lain, sistem dukungan berupa pendampingan kebutuhan khusus tidak tersedia sehingga perempuan sindrom down mengalami hambatan dalam menyampaikan pengalamannya.  Keterangan korban yang berubah-ubah, dipandang tak bisa dipercaya sehingga kasus dihentikan atau digunakan mekanisme damai,” ungkap Rainy.

 

Komnas Perempuan mengingatkan, sistem dukungan pendampingan khusus bagi perempuan sindrom down korban kekerasan seksual sudah diatur dalam PERMA 3 Tahun 2017 dan PP No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. 

 

“Penting mengenali tanda-tanda kekerasan seksual pada perempuan dengan sindrom down  karena mereka tidak selalu dapat mengungkapkan pengalaman kekerasan karena kondisi disabilitasnya. Kehamilan tak dikehendaki baru diketahui setelah terjadi perubahan pada tubuh korban,” Rainy menambahkan. 

 

Veryanto Sitohang, Komisioner Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk membangun sistem dukungan yang komprehensif. 

 

“Perempuan dengan sindrom down kerap disembunyikan oleh keluarganya karena keluarga merasa malu. Bahkan mereka didaftarkan dalam dokumen kependudukan sehingga tak dapat mengakses layanan publik termasuk sistem dukungan. Perempuan berhak mendapatkan perawatan yang inklusif, pendidikan yang adaptif, dan peluang ekonomi yang layak,” ujar Veryanto.

 

Komnas Perempuan mengapresiasi upaya-upaya yang telah dilakukan dan terus mendorong Kementerian Tenaga Kerja, BUMN dan Perusahaan Swasta secara proaktif mengembangkan latihan kerja dan membuka akses seluas-luasnya terhadap individu dengan sindrom down dan kelompok disabilitas lainnya. 

 

Upaya ini diharapkan mampu memperkuat posisi individu dengan sindrom down menjadi indvidu yang mandiri dan memiliki kemampuan untuk berdaya. Dukungan pendidikan, kesehatan dan kemandirian  ekonomi diharapkan mampu membuat individu dengan sindrom down terbebas dari kekerasan berbasis gender,” tegas Veryanto.

 

Dalam konteks pendidikan, Kementerian Pendidikan diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran inovatif yang memungkinkan anak-anak dengan sindrom down  mendapatkan pemahaman tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Termasuk memberikan akses beasiswa yang dapat dijangkau oleh individu dengan sindrom down dan kelompok disabilitas lainnya. Pendidikan yang inklusif ini menjadi kunci agar mereka lebih memahami tubuh dan hak-hak mereka, sehingga dapat lebih terlindungi dari kekerasan dan eksploitasi.

 

Komnas Perempuan menegaskan bahwa memperkuat sistem dukungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama. Keluarga dan masyarakat memiliki peran krusial dalam menciptakan lingkungan yang mendukung secara penuh, memastikan anak-anak dengan sindrom down tidak hanya mendapatkan perlindungan, tetapi juga ruang untuk berkembang dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Ini adalah langkah penting untuk menciptakan masa depan yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi semua.

 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: