...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan: Memperkuat Kelembagaan Layanan berbasis Masyarakat Untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Kita telah memperingati “Hari Ibu" setiap 22 Desember, dalam sejarahnya merupakan Gerakan Perempuan yang dimulai pada awal abad ke 20 (dua puluh). Secara kolektif muncul bersamaan dengan Gerakan Kebangkitan Nasional (1900-1927), terutama di Jawa dan Minangkabau. Ketika itu, gerakan perempuan merupakan gerakan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dengan pendekatan berbasis pada organisasi sosial kultural perempuan di sejumlah daerah, berdasarkan identitas agama dan kedaerahan serta orientasi politik yang berkembang di masa itu (M.C Rieklefs, 2005; 327; Wieringa, 1999: 102). Puncaknya adalah Kongres Perempuan Indonesia (KPI) di Yogyakarta yang diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 1928, dihadiri oleh 100 orang utusan dari 30 organisasi Perempuan dari berbagai daerah, sebagai tonggak sejarah bagi gerakan perempuan Indonesia. 

 

Kongres tersebut melahirkan 5 (lima) keputusan penting yaitu; 1) Pendidikan perempuan; 2) Kepanduan putri; 3) Mencegah perkawinan anak; 4) Rekomendasi kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk memperbanyak sekolah perempuan; 5) Rekomendasi kepada Pengadilan Agama agar talak/ perceraian tidak dilakukan secara longgar. Spirit gerakan Kongres Perempuan ini berlanjut hingga kini, terutama dalam melakukan advokasi Perubahan Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk meningkatkan martabat dan harga diri perempuan dalam mencegah kawin paksa dan perkawinan anak. 

 

Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyampaikan bahwa apa yang diperjuangkan oleh Gerakan Perempuan saat ini masih sama dengan perjuangan Gerakan Perempuan satu abad yang lalu melalui Kongres Perempuan Indonesia yaitu akses pendidikan yang setara, mencegah perkawinan paksa dan perkawinan anak. Bahkan secara khusus mengenai perkawinan paksa dan perkawinan anak telah disebut sebagai kekerasan seksual, sebagaimana dinyatakan dalam Undang - Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

 

UU TPKS menyebutkan bentuk-bentuk tidank pidana kekerasan seksual yang terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain itu, UU TPKS juga meliputi: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban; pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana kekerasan seksual lainnya tang dinyatakan secara tegas dalam UU. 

 

Menurut Mariana, isu yang diperjuangkan oleh Gerakan Perempuan pada masa lalu itu akar masalahnya juga masih sama, di antaranya adanya konstruksi budaya patriarki yang masih mengakar secara turun-temurun di masyarakat. Hal tersebut menyebabkan perempuan tersubordinasi, mengalami marginalisasi, kriminalisasi dan kekerasan termasuk kekerasan seksual di berbagai ranah, baik di ranah personal, ranah publik maupun ranah negara. 

 

Komisioner Maria Ulfah Anshor menambahkan, mengacu pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 4.322 kasus, yang 3442 di antaranya adalah kekerasan berbasis gender. Dari jumlah tersebut, trend di ranah personal kekerasan psikis sebesar 40%, kekerasan seksual 29%, fisik 19% dan ekonomi 12%. Tingginya kekerasan psikis berkorelasi pada kebutuhan akses lembaga-lembaga layanan konseling untuk memulihkan korban, setidaknya ada 137 lembaga pengada layanan dan masyarakat sipil yang terlibat dalam pendampingan korban yang menjadi mitra kerja Komnas Perempuan hingga 2023. 

 

Menurutnya, peningkatan pengaduan ke Komnas Perempuan dan Lembaga Layanan dimungkinkan terjadi karena infrastruktur di lembaga layanan mengalami kemajuan, terlebih setelah UU TPKS disahkan pada tahun 2022. Hal tersebut menjadi kemajuan bagi korban untuk melakukan pelaporan, dan akses terdekat bagi korban adalah lembaga layanan berbasis masyarakat. Namun disisi lain, Komnas Perempuan masih mengalami keterbatasan sumber daya. Dukungan kepada lembaga layanan berbasis masyarakat yang dinyatakan dalam UU TPKS, menjadi mandat pelaksanaan atau implementasinya melalui negara dalam penguatan sumber daya yang dimiliki oleh lembaga layanan tersebut. Inilah titik krusial korelasi antara akses keadilan bagi korban melalui ketersediaan pengada layanan yang terjangkau dan bermutu, sebagaimana “ruh” dari peringatan Hari Perempuan yang menjadi amanat UU TPKS dengan Peringatan Hari Ibu yang mengokohkan budaya patriarki melalui “ibuisme”. 

 

Menurut Komisioner Siti Aminah Tardi, kebijakan bahwa kehadiran peraturan-peraturan yang mendukung korban seperti UU TPKS, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama memberi jaminan akses keadilan kepada korban kekerasan seksual. Namun pemahaman dan pelaksanaan UU TPKS dan regulasi terkait sangat penting untuk terus menerus disosialisasikan dan dikawal implementasinya. Hal tersebut memberikan keyakinan kepada masyarakat untuk berani melaporkan kasusnya kepada lembaga layanan. Pencegahan dan penanganan kasus Kekerasan terhadap Perempuan khususnya Kekerasan Seksual dilakukan oleh banyak pihak di berbagai platform termasuk media sosial. Aminah menambahkan bahwa UU TPKS lahir dari perjuangan gerakan perempuan dan organisasi masyarakat sipil yang cukup solid, maka aturan turunan dari UU TPKS berupa Peraturan Pemerintah dan  Peraturan Menteri harus dikawal bersama agar segera disahkan oleh Pemerintah. 

 

Terkait dengan dispensasi pernikahan dan poligami, Komisioner Rainy Hutabarat mengingatkan, bahwa ada tiga isu yang berkelanjutan sejak Kongres Perempuan Indonesia yang pertama hingga hari ini; a) dispensasi menikah masih tinggi meski usia kawin sudah dinaikkan menjadi 19 tahun. CATAHU Komnas Perempuan mencatat,  tahun 2016 dispensasi nikah sebanyak 8.488 kasus, lalu pada 2017 naik menjadi 11.819, dan memuncak pada 2020 mencapai 64.211. Pada 2021 menurun sedikit menjadi 59.709 dan tahun 2022 sebanyak 52.338. Meskipun angka dispensasi menurun pada tiga tahun terakhir namun perkawinan anak merupakan persoalan genting. Terdapat catatan tentang terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan pada anak-anak perempuan yang kemudian dinikahkan; b) UU No.1/ 1974 tentang Perkawinan masih berlaku,  memuat ketentuan diskriminatif terhadap perempuan penyandang disabilitas, yakni mengizinkan kondisi “kecacatan” istri sebagai alasan legal untuk suami mengajukan poligami atau perceraian; c) UU Perkawinan masih menempatkan perempuan pada posisi subordinat.

 

Narahubung: Elsa (+62 813-8937-1400)


Pertanyaan / Komentar: