“Pulihkan Martabat dan Hak PRT, Segera Sahkan RUU PPRT”
Jakarta,
26 Juni 2025
Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam keras atas tindakan
kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh seorang pekerja rumah
tangga (PRT) berinisial I, asal Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh
majikannya R dan seorang rekan kerja di Batam, Kepulauan Riau.
Berdasarkan informasi
yang diperoleh dari pantauan media, Polresta Barelang Batam, Kepulauan Riau
mengungkapkan bahwa korban mengalami kekerasan dan eksploitasi sejak mulai
bekerja pada Juni 2024. Ia dipukul berulang kali, disuruh makan kotoran hewan,
minum air comberan, tidak dibayar upahnya selama satu tahun, dan diperlakukan
secara tidak manusiawi. Kronologi
kasus menyebutkan bahwa kekerasan bermula dari kelalaian kecil, yaitu lupa
menutup kandang anjing yang kemudian memicu kekerasan yang brutal dan berulang.
Komnas Perempuan mengapresiasi langkah kepolisian dalam menindak kasus
ini dan menjerat pelaku dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1E dengan
ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 30 juta.
Namun, penting bagi Kepolisian untuk mempertimbangkan penerapan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (UU PTPPO) dalam kasus ini. Hal ini penting karena, berdasarkan
keterangan yang diperoleh dari pendamping korban, Komnas Perempuan menilai
adanya indikasi kuat praktik perdagangan orang, terlihat dari adanya 3 unsur
TPPO yaitu dari proses perekrutan untuk bekerja yang tidak dipahami dan
disetujui korban, adanya penyalahgunaan
kekuasaan dan pemanfaatan situasi rentan, serta tujuan eksploitasi berupa kerja
paksa tanpa upah, ancaman jeratan hutang, kekerasan seksual, dan pembatasan
kebebasan.
"Fakta-fakta
ini menguatkan dugaan adanya tindak pidana perdagangan orang. Pelaku dapat
dikenai pidana 3 hingga 15 tahun penjara dan denda antara Rp120 juta hingga
Rp600 juta," tegas Komisioner Komnas Perempuan, Irwan Setiawan.
Selain itu, Komnas Perempuan juga menyoroti
bahwa tindakan pelaku yang menyebut korban dengan kata-kata merendahkan seperti
“pelacur”, serta kekerasan yang menargetkan organ reproduksi seperti payudara
dan vagina, merupakan indikasi kuat terjadinya kekerasan seksual berlapis.
Bentuk kekerasan tersebut mencakup kekerasan seksual nonfisik, fisik, hingga
penyiksaan seksual, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022
tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Komnas Perempuan mengingatkan bahwa selain proses hukum pada pelaku, pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan bagi korban harus dilakukan, tidak hanya pemulihan fisik namun juga pemulihan psikologis dan hak korban lainnya," ujar Irwan.
Sementara itu,
Komisioner Sondang Frishka Simanjuntak menambahkan bahwa kekerasan terhadap PRT
seperti yang dialami I memperlihatkan betapa rentannya posisi pekerja rumah
tangga, yang hingga kini belum memiliki perlindungan hukum memadai. “PRT bekerja di ruang domestik yang tersembunyi dan
jauh dari pengawasan publik, sehingga menjadi lahan subur terjadinya berbagai bentuk pelanggaran
HAM . Ada relasi
kuasa yang besar. Situasi ini harus menjadi peringatan keras bagi para pengambil kebijakan bahwa kerja rumah tangga tidak bisa terus-menerus
diperlakukan sebagai urusan privat yang lepas dari tanggung jawab negara," ungkapnya.
Komnas Perempuan kembali menekankan urgensi pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai langkah penting dalam mencegah kekerasan serupa dan menutup celah hukum yang selama ini membiarkan pekerja rumah tangga berada dalam situasi rentan. Tanpa payung hukum yang jelas, hubungan antara PRT dan majikan kerap berada di luar jangkauan sistem perlindungan ketenagakerjaan, menjadikan rumah tangga sebagai ruang kerja yang tak terawasi. RUU PPRT diharapkan menjadi dasar legal yang menjamin hak PRT atas upah layak, jam kerja yang manusiawi, perlindungan dari kekerasan, serta akses terhadap pengaduan dan pemulihan. Komnas Perempuan mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menunjukkan komitmen terhadap hak asasi manusia dengan segera mengesahkan RUU ini.
"Komnas Perempuan akan memantau proses penegakan hukum kasus ini dan pemenuhan hak korban," pungkas Sondang.
Narahubung:
Elsa Faturahmah (081389371400)