...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Menyambut 16 Tahun Nota Kesepahaman Helsinki (15 Agustus 2021)

Siaran Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Menyambut 16 Tahun Nota Kesepahaman Helsinki

 

Menguatkan Mekanisme Pemulihan Korban Konflik Aceh

sebagai Bentuk Tanggung Jawab Negara untuk Pemenuhan Hak Korban

 

Jakarta, 15 Agustus 2021

 

 

 

Perjalanan 16 Tahun Nota Kesepahaman Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 merupakan tonggak upaya membangun perdamaian di Aceh. Hadirnya perjanjian tersebut menjadi awal harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk hidup tenang dan damai, sekaligus mengakhiri konflik berkepanjangan. Harapan tersebut juga menguat di kelompok masyarakat sipil, terutama kelompok korban dan pendamping korban. Perempuan Aceh yang mengalami berbagai penderitaan berat dan menanggung beban perang yang panjang terus berupaya bersama-sama dengan berbagai kelompok masyarakat sipil guna memastikan hak-hak pemulihannya dapat terpenuhi. Upaya ini juga ditempuh dengan melakukan berbagai langkah advokasi ke Pemerintah Aceh dan Nasional.

 

Untuk menguatkan upaya damai, telah dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh melalui Qanun Aceh No. 17 tahun 2013. KKR Aceh merupakan mandat Nota Kesepahaman Helsinki dan termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. KKR Aceh merupakan lembaga penguat bagi korban, termasuk perempuan korban, untuk mendapatkan hak atas kebenaran, pemulihan, ketidakberulangan, kepuasan atas upaya-upaya yang dilakukan dalam upaya membangun Aceh damai. Perlindungan terhadap perempuan secara khusus juga tertuang pada Pasal 231 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan kebijakan turunannya melalui Qanun Pemerintah Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan.

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa dukungan dari komunitas korban dan masyarakat sipil menjadi kunci kekuatan KKR Aceh. Setelah hampir 5 tahun berproses (2016-2021), periode pertama komisioner KKR Aceh akan segera berakhir pada Oktober nanti. Dinamika politik di tingkat lokal dan nasional menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga yang penting ini. Komunitas korban dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mendorong didirikannya lembaga ini setelah sempat tertunda-tunda setelah Qanun KKR Aceh dilansir pada tahun 2013.  Juga, dalam menyiapkan kerangka kerja KKR Aceh di tengah resistensi dan keterbatasan dukungan kelembagaan. Bersama-sama dengan komisioner terpilih, telah berlangsung pengambilan kesaksian korban dan saksi. Kini, laporan akhir tengah dipersiapkan yang diharapkan dapat  memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai peristiwa dan dampak konflik bagi korban dan masyarakat Aceh, serta arah rekomendasi pemulihan yang komprehensif.

 

Komnas Perempuan juga menyambut baik upaya KKR Aceh untuk mendorong proses pemulihan sambil menyiapkan laporan akhir. Upaya ini antara lain dengan memastikan proses pengambilan kesaksian menjadi ruang pemulihan korban, melalui pendirian memorialisasi yang telah berlangsung di 3 lokasi, serta mendorong pelaksanaan reparasi mendesak.

 

Komnas Perempuan prihatin bahwa Keputusan Gubernur No. 330/1209/2020 tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak Pemulihan Hak Korban kepada Korban Pelanggaran HAM hingga saat ini belum dilaksanakan. Alokasi dana untuk pelaksanaan reparasi mendesak ini dikabarkan baru akan tersedia pada tahun anggaran 2022. Sebelumnya, KKR Aceh telah memverifikasi 245 korban penerima reparasi mendesak, termasuk 58 perempuan korban. Badan Reintegrasi Aceh (BRA) adalah pihak yang dimandatkan sebagai pelaksana reparasi mendesak, sesuai dengan amanat Qanun No. 6 Tahun 2015 dimana BRA adalah lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan program kegiatan reintegrasi dan usaha penguatan perdamaian Aceh. Hanya saja, fokus kerja BRA selama ini lebih pada mantan tahanan politik dan kombatan sehingga kerap dikritik mengabaikan korban dari warga sipil.

 

Sementara itu, Komnas Perempuan mengapreasiasi langkah pro aktif yang dilakukan oleh komunitas korban dan masyarakat sipil dalam memastikan pemajuan agenda pemenuhan hak korban konflik. Termasuk di dalamnya adalah upaya dari kelompok komunitas korban untuk mendirikan memorialisasi Rumah Geudong sebagai pengingat agar peristiwa serupa tidak berulang. Juga, upaya terkait dengan residu konflik yang terus mempengaruhi dinamika sosial, politik, ekonomi dan budaya di Aceh. Tidak terkecuali adalah upaya penghapusan berbagai bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Selain itu, Komnas Perempuan juga mengapreasiasi langkah yang diambil oleh Baitul Mal Aceh untuk turut memberikan bantuan kepada keluarga miskin korban konflik di tiga kabupaten.

 

Pelaksanaan mandat KKR Aceh pada periode pertama kerja (2016-2021), menurut Komnas Perempuan telah turut menguatkan pondasi kerja-kerja pemenuhan hak korban konflik di Aceh dan lebih jauh pada pembangunan perdamaian.  Langkah sinergis yang juga dibangun bersama-sama dengan jejaring masyarakat sipil merupakan modalitas penting yang harus terus dirawat. Karenanya dukungan berkelanjutan bagi KKR Aceh, pelaksanaan kebijakan untuk pemenuhan hak korban termasuk dukungan secara kelembagaan perlu menjadi perhatian para  pemangku kebijakan. Sebagai sebuah preseden upaya perdamaian, perjalanan dan pembelajaran dari KKR Aceh perlu menjadi perhatian setiap pihak dalam merumuskan mekanisme pemenuhan hak-hak  yang komprehensif bagi korban konflik, dengan perhatian khusus pada kelompok-kelompok rentan.

 

Karena itu dan dalam rangka menyambut 16 Tahun Nota Kesepahaman Helsinki, Komnas Perempuan merekomendasikan:

1.  Pemerintah Aceh dan DPR Aceh memastikan alokasi bagi pelaksanaan reparasi mendesak bagi korban konflik sebagaimana telah ditetapkan pada tahun 2020 maupun bagi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi laporan KKR Aceh segera setelah diserahkan. Juga, untuk mendukung pelaksanaan kerja KKR Aceh periode ke depan;

2.  Badan Reintegrasi Aceh memastikan penyaluran reparasi mendesak diikuti dengan mekanisme pengawasan yang akuntabel dan mekanisme pendampingan agar bantuan dapat bermanfaat secara optimal;

3.  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh memastikan keberlanjutan pengembangan sistem database, mekanisme pengambilan kesaksian yang sekaligus menjadi ruang pemulihan korban, upaya memorialisasi dan pendidikan publik, kerja berjejaring dengan masyarakat sipil, serta komunikasi konstruktif dengan berbagai pihak di tingkat lokal dan nasional untuk memastikan tindak lanjut dari rekomendasi yang diberikan. Juga, mekanisme untuk merawat independensi serta profesionalitas institusional; 

4.   Pemerintah, terutama Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, untuk menindaklanjuti temuan KKR Aceh dalam kerangka mendorong pemenuhan hak-hak korban dan menghadirkan perdamaian sejati di Indonesia;

5.  Baitul Mal Aceh mengembangkan mekanisme dan alokasi untuk mendukung korban konflik dengan perhatian khusus pada perempuan dan kelompok rentan lainnya;

6.   Komunitas korban dan masyarakat sipil, khususnya di Aceh, untuk terus menguatkan kerja bersama KKR Aceh dan jejaring kerja pemenuhan hak asasi manusia di tingkat lokal dan nasional sebagai perwujudan pelaksanaan prinsip kerja penegakan hak asasi manusia;

7.   Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk turut mendukung upaya penguatan kelembagaan KKR Aceh, termasuk dengan mendorong pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi dari laporan dari hasil pengambilan kesaksian korban yang akan diterbitkan oleh KKR Aceh.

 

 

Narasumber: 

1.      Theresia Iswarini

2.      Retty Ratnawati

3.      Andy Yentriyani

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)


Pertanyaan / Komentar: