...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Merespon Pembahasan RUU Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di Komisi III DPR RI

Memastikan Revisi KUHAP Berorientasi Pada Pemenuhan Hak-Hak Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH)


Jakarta, 15 Juli 2025

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), menegaskan pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) untuk masuk ke dalam substansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Hak-hak tersebut mencakup posisi perempuan sebagai korban, saksi, tersangka, terdakwa, dan terpidana.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam RDP yang berlangsung pada 14 Juli 2025. Komnas Perempuan mencermati baik proses maupun substansi dari pembahasan RKUHAP yang tengah berlangsung di DPR saat ini.

Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, menekankan bahwa dalam kerangka KUHAP saat ini, PBH belum memperoleh jaminan perlindungan atas hak-haknya. Hal ini mencakup hak sebagai saksi, korban, tersangka/terdakwa, hingga terpidana, termasuk pemenuhan atas kebutuhan khas perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan korban kekerasan masih diperlakukan semata-mata sebagai alat bukti, sementara aspek keadilan dan pemulihan atas dampak tindak pidana yang dialaminya belum menjadi perhatian negara.

Sidang RDPU dipimpin langsung oleh Ketua Komisi III, Habiburokhman. Ia menyampaikan bahwa pembahasan RKUHAP saat ini telah memasuki tahap perumusan dan sinkronisasi (Timus/Timsin), dilakukan secara terbuka, dan kelompok masyarakat dipersilakan memberikan masukan. Namun, Komnas Perempuan mencatat adanya kesan tergesa-gesa dalam proses pembahasan. Hal ini mengingat waktu yang dialokasikan hanya dua hari (9–10 Juli 2025), padahal terdapat 584 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang memerlukan kajian mendalam dan cermat. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, terutama terhadap kemungkinan kurangnya perhatian pada pasal-pasal yang berdampak langsung terhadap pemenuhan hak-hak perempuan berhadapan dengan hukum.

Komnas Perempuan mendorong agar DPR memastikan keterlibatan yang bermakna (meaningful participation) dalam seluruh tahapan pembahasan RKUHAP, baik dari sisi proses maupun substansi. Hal ini penting agar RKUHAP yang dihasilkan benar-benar mencerminkan pengalaman dan kebutuhan perempuan pencari keadilan, serta mampu menjawab berbagai persoalan struktural yang selama ini dihadapi PBH dalam sistem peradilan pidana.

Masih banyak Aparat Penegak Hukum (APH) yang belum memiliki perspektif gender dan bahkan kerap menganggap korban sebagai penyebab atau sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang dialaminya. Sementara itu, perempuan yang berstatus sebagai tersangka atau terdakwa juga belum secara optimal memperoleh jaminan atas kebutuhan khasnya, termasuk perlindungan terhadap kerentanan dan risiko ketidakadilan selama proses hukum yang dihadapinya. 

Terkait substansi RKUHAP, Komnas Perempuan telah mengidentifikasi adanya kekurangan atau ketidakcukupan dalam pengaturan hukum acara yang berpotensi merugikan perempuan berhadapan dengan hukum (PBH), setidaknya di 11 bab. Komnas Perempuan juga mengusulkan substansi baru dalam bab-bab tersebut, antara lain: bab Penyelidikan dan Penyidikan; Penuntutan; Mekanisme Keadilan Restoratif; Upaya Paksa; Hak Tersangka, Terdakwa, Saksi, Korban Penyandang Disabilitas, Perempuan, dan Orang Lanjut Usia; Advokat dan Bantuan Hukum; Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili; Koneksitas; Ganti Kerugian; Rehabilitasi dan Restitusi; Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan; dan bab Upaya Hukum Biasa.

Dalam forum RDPU tersebut, Komnas Perempuan juga menyoroti sejumlah isu penting yang perlu mendapat perhatian. Pertama, terkait kewenangan penyelidik dan penyidik yang dinilai belum cukup mengakomodasi kepentingan korban kekerasan, khususnya dalam konteks Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Komnas Perempuan mendorong agar ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut diintegrasikan dalam RKUHAP guna memperkuat pelindungan terhadap korban serta membatasi ruang gerak pelaku. Selain itu, Komnas Perempuan juga mengusulkan adanya mekanisme pengaduan apabila laporan korban ditolak atau tidak ditindaklanjuti, serta perluasan objek praperadilan. Hal ini penting karena banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terhenti lama di tahap penyelidikan tanpa kejelasan hukum.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ratna Batara Munti, menegaskan bahwa berlarut-larutnya penanganan kasus korban merupakan bentuk ‘delayed in justice’, yang memberikan dampak yang tidak ringan terhadap korban. Korban merasa lelah secara fisik dan psikis serta kecewa karena merasa diperlakukan tidak adil.

Kedua, pada bab Penuntutan, Komnas Perempuan juga mendorong perluasan kewenangan Penuntut Umum untuk memberikan informasi terkait hak-hak korban dan tersangka, merujuk korban ke layanan pemulihan, serta melibatkan tenaga ahli saat menyusun dakwaan. Penuntut juga diharapkan menghindari penggunaan uraian yang vulgar dalam menjelaskan aspek seksual dan menjalin komunikasi awal dengan korban. Ketiga, dalam bab keadilan restoratif, Komnas Perempuan menekankan bahwa penerapannya harus berbasis hak asasi manusia dan hanya diberlakukan untuk tindak pidana ringan. Restorative justice tidak boleh diterapkan pada kasus kekerasan seksual atau kejahatan berulang, serta tidak boleh menghilangkan hak korban atas pemulihan.

Keempat, Komnas Perempuan menolak rumusan dalam RKUHAP yang membuka ruang bagi penangkapan lebih dari 1 (satu) hari. Bahkan, pemerintah disebut mengusulkan perpanjangan masa penangkapan hingga 7 (tujuh) hari. Komnas menegaskan bahwa masa penangkapan seharusnya dibatasi maksimal 1 (satu) hari untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi tersangka.

Komisioner Komnas Perempuan, Rr. Sri Agustini, menyatakan bahwa standar HAM internasional menetapkan penangkapan hanya dapat dilakukan selama 48 jam. Setelah waktu tersebut, orang yang ditangkap harus dihadapkan secara fisik kepada hakim untuk dinilai apakah penangkapannya sah dan apakah perlu dilakukan penahanan. Menurutnya, revisi RKUHAP harus memastikan bahwa praktik hukum acara pidana sejalan dengan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: