Siaran Pers Komnas Perempuan Merespon Situasi di Papua:
Kembalikan Rasa Aman yang Sejati bagi Masyarakat Papua dengan Mengedepankan Martabat dan Tanpa Kekerasan
Jakarta, 3 September 2019
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan keprihatinan yang teramat dalam atas terjadinya konflik yang meluas di Papua sejak peristiwa penyerbuan dan penghinaan yang bernuansa rasisme di Asrama Mahasiswa Papua di kota Surabaya pada 17 Agustus 2019. Kasus penghinaan bernuansa rasisme tersebut hanyalah pemicu dari persoalan besar kekecewaan orang Papua yang tidak dituntaskan dari satu rejim ke rejim yang lain. Situasi Papua saat ini adalah residu dari kekerasan dan diskriminasi yang telah berlangsung selama 5 dekade, sejak jaman Orde Baru hingga saat ini.
Dari dua pendokumentasian yang dilakukan Komnas Perempuan bersama Jaringan Pembela HAM Perempuan Papua sepanjang tahun 2009 s.d 2014, tergambar kekerasan dan diskriminasi terhadap Orang Asli Papua khususnya perempuan, dan kondisi pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya Orang Asli Papua dalam perjalanan proses pembangunan Papua. Kekerasan dan diskriminasi terjadi berulang di Papua dan Papua Barat tanpa ada penegakan hukum, bahkan Pemerintah terkesan melakukan pembiaran. Kekerasan seperti menjadi pelaziman. Kekerasan oleh negara, ditiru menjadi kekerasan di komunitas dan meluas ke dalam rumah, karena kefrustasian kolektif akibat konflik. Perempuan Papua menjadi korban berlapis dari seluruh pusaran kekerasan dan diskriminasi tersebut. Kedua laporan hasil pendokumentasian ini beserta sejumlah rekomendasi, telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo di awal masa kerja pada tahun 2014, untuk dapat ditindaklanjuti.
Setelah kedua pendokumentasian di atas, Komnas Perempuan secara rutin memperbaharui situasi HAM perempuan di Papua dan Papua Barat, khususnya situasi kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan mencatat sejumlah isu-isu krusial Papua yang masih harus dituntaskan antara lain:
- Eksploitasi sumber daya alam dan alih fungsi hutan/lahan serta kerusakan lingkungan, dimana dampak terbesarnya masyarakat tercerabut sumber dan ruang hidupnya untuk dapat akses pangan dan tumbuhan yang selama ini diperoleh di hutan, hilangnya sumber obat-obatan dan hilangnya pusat kearifan dan spiritualitas bagi masyarakat adat, karena terjadinya perubahan alih fungsi lahan yang masif;
- Rasa aman yang tidak benar-benar dipulihkan, karena perbedaan persepsi “aman”. Pemerintah masih menggunakan pendekatan “keamanan” dengan menghadirkan sejumlah aparat keamanan, sementara masyarakat Papua khususnya perempuan, memaknai rasa aman adalah tidak ada penempatan aparat keamanan, karena banyaknya aparat keamanan tanda situasi tidak aman. Kondisi ini memicu trauma mereka dan menghentikan aktivitas ekonomi bahkan memilih mengungsi, karena situasi dirasa tidak aman;
- Korban konflik khususnya perempuan asli Papua yang pernah menjadi korban kekerasan seksual hingga saat ini belum dipulihkan, juga tidak ada upaya untuk meminta pertanggungjawaban pelaku, padahal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua adalah jantung pengembalian martabat orang Papua;
- Upaya-upaya yang dilakukan untuk menyejahterakan rakyat Papua, tidak dinikmati oleh rakyat Papua pada umumnya dan hanya kepada kelompok elite kuasa. Dana Otsus yang cukup besar tapi minim dirasakan perempuan, bahkan memperburuk kekerasan terhadap perempuan, akibat meningkatnya peredaran dan penggunaan minuman keras (miras) yang sulit dikendalikan;
- Persoalan kependudukan (demografi) dan minimnya politik afirmasi bagi Orang Asli Papua pada peran-peran strategis, di ranah politik dan ekonomi, serta minimnya ruang-ruang perjumpaan untuk dapat memahami budaya Papua, berkontribusi dapat menjadikan situasi yang lebih rumit dan semakin membuka peluang adanya perselisihan hubungan sosial antara Orang Asli Papua dan pendatang;
- Layanan publik yang tidak efektif, karena sering absennya pemerintah daerah maupun korupsi yang mewabah, berkelindan dengan minimnya tenaga medis walaupun layanan kesehatan gratis, hingga penyuluhan pangan sehat yang tidak berbasis pada budaya Papua, sehingga berkontribusi pada buruknya gizi perempuan dan stunting anak. Kondisi kesehatan semakin diperburuk, karena warga Papua yang tidak memiliki kelengkapan dokumen catatan sipil tidak dapat mengakses BPJS. Padahal banyak warga yang tidak memiliki kelengkapan dokumen catatan sipil itu berawal dari hukum negara yang tidak mengakui dan tidak mencatatkan perkawinan adat, sehingga banyak keluarga tidak memiliki Kartu Keluarga yang merupakan dokumen penting untuk mendapatkan dokumen catatan sipil lainnya;
- Minimnya perlindungan bagi perempuan pembela HAM, menyebabkan timbulnya stigma separatis yang menghalangi hak sipil dan politik, pada akhirnya berdampak buruk pada hak, integritas dan ruang gerak para penggiat HAM.
Situasi di atas adalah persoalan-persoalan dasar yang menyebabkan konflik di Papua sangat mudah meletus, meskipun upaya pemenuhan kebutuhan dasar tetap diupayakan pemerintah. Namun akumulasi kemarahan selama 5 (lima) dekade ini meletus dan meledak lebih cepat dibanding upaya-upaya yang sedang dilakukan Pemerintah. Berdasarkan kondisi tersebut dan merespon eskalasi konflik sejak 17 Agustus 2019, maka Komnas Perempuan menyerukan kepada:
- Pemerintah, aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat Indonesia untuk mendalami dan memahami lebih jauh Papua dengan perspektif orang Papua, sebagai upaya memulihkan Papua yang bermartabat dan tanpa kekerasan;
- Elit masyarakat, para politisi dan warga masyarakat secara keseluruhan, agar dapat menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dapat memprovokasi konflik meluas/berulang, termasuk menyampaikan informasi bohong tentang situasi di Papua;
Selain itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan kepada:
- Presiden RI:
- Memulihkan kondisi keamanan Papua dengan cermat, tanpa kekerasan dan mengedepankan dialog, dengan antara lain: a) Melakukan dialog secepatnya bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama khususnya gereja untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih buruk dan meluas; b) Membuka akses media ke Papua dan Papua Barat dan memastikan jaringan informasi dan komunikasi publik kembali berfungsi secara optimal; c) Memberikan ruang bagi keterlibatan/partisipasi perempuan pada seluruh upaya penyelesaian konflik di Papua dan memastikan afirmasi untuk berpartisipasi bagi perempuan asli Papua;
- Memerintahkan penuntasan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, termasuk dalam hal ini membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana yang telah dimandatkan oleh UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua;
- Memastikan Pemerintah Nasional, Pemerintah Papua dan Papua Barat untu melibatkan partisipasi masyarakat Papua termasuk perempuan dalam pelaksanaan pembangunan, baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan sumber daya manusia di Papua dan Papua Barat, sejak dari perencanaan hingga evaluasi.
- Kepolisian RI:
- Mengusut tuntas pelaku dan pihak-pihak yang terlibat pada peristiwa yang bernuansa rasisme di asrama Papua di Surabaya dan perusakan fasilitas publik di sejumlah tempat di Papua dan Papua Barat, agar proses peradilan/pertanggungjawaban hukum dari pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dapat diupayakan;
- Memberikan jaminan keamanan bagi mahasiswa Papua untuk kembali dapat belajar di semua kota di Indonesia, khususnya di Surabaya dan Malang, karena pendidikan adalah hak dasar dan yang sangat dibutuhkan di Papua.
Kontak Narasumber:
Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner
Saur Tumiur Situmorang, Komisioner
Indriyati Suparno, Komisioner
Mariana Amiruddin, Komisioner
Narahubung:
Elwi (+62-21-3903963)
Link unduh dokumen :
Siaran Pers Komnas Perempuan Merespon Situasi di Papua (3 September 2019)
https://drive.google.com/file/d/1qwODvtJKeZs0urH7oFDGUClVi0KinkMr/view?usp=sharing