...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Merespons Tindakan Intoleransi dan Kekerasan terhadap Mahasiswa Universitas Pamulang

“Komnas Perempuan Mengecam Tindakan Intoleransi dan Kekerasan terhadap Mahasiswa Universitas Pamulang

 pada Saat Ibadah Rosario di Cisauk Tangerang Selatan”

 

          Jakarta, 10 Mei 2024

 

Komnas Perempuan mengecam tindakan intoleransi yang disertai tindakan kekerasan oleh sekelompok warga terhadap sejumlah mahasiswa/i Universitas Pamulang yang sedang melaksanakan acara keagamaan yaitu Doa Rosario yang terjadi di hari Minggu, 5 Mei 2024 di Babakan, Cisauk, Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Komnas Perempuan menyayangkan keberadaan aparatur pemerintah dan penegak hukum yang seharusnya memberikan jaminan keamanan terhadap pelaksanaan ibadah Rosario namun terindikasi justru semakin memperkeruh keadaan dan tidak menerima penjelasan korban. Tindakan intoleransi disertai kekerasan oleh sejumlah warga ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan untuk menyatakan agama dan/atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.

Veryanto Sitohang, komisioner Komnas Perempuan, menghawatirkan intoleransi dan kekerasan sebagai pola umum yang digunakan untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap aktivitas keagamaan warga karena dianggap menggangu ketertiban umum. Pelaksanaan Doa Rosario yang dilakukan mahasiswa/i merupakan salah satu bentuk pelaksanaan hak beragama yang dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.  Aparatur negara mempunyai kewajiban penuh untuk memberikan jaminan perlindungan. Adanya keragaman kelompok etnis dan agama di dalam masyarakat perlu menjadi perhatian aparatur negara dalam menciptakan ruang-ruang toleransi, saling menghargai untuk mengikis ruang-ruang segregasi yang dapat memicu  kebencian yang melahirkan intoleransi dan kekerasan.

Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti menyampaikan turut empati kepada para mahasiswi/mahasiswa yang mengalami kekerasan, ketakutan dan trauma pasca tindakan intoleransi.

"Pemerintah daerah kota Tangerang Selatan perlu memastikan bahwa langkah-langkah pendampingan dan pemulihan dari trauma pada para mahasiswi/mahasiswa sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban negara pada pemenuhan hak korban," tegas Dewi Kanti.

Dewi kanti juga mengingatkan bahwa peristiwa Cisauk ini, jika tidak ditangani secara tepat dan cepat dengan mendasarkan pada hak asasi manusia dan konstitusi akan bisa menjadi pembenaran pada tindakan-tindakan serupa yang akan merusak nilai kebhinnekaan dan keragaman.

Tindakan intolerasi dan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda agama dan keyakinan menunjukan bahwa kesadaran hidup dalam perbedaan di tataran akar rumput masih rapuh. Sebab itu pendekatan hak asasi manusia dan konstitusi dalam penanganan kasus-kasus intoleransi atas nama agama dan keyakinan menjadi penting. Cara-cara penanganan secara sembunyi-sembunyi dan perdamaian semu harus dihindarkan. Sebab hanya akan menyelesaikan persoalan dipermukaan namun menyisakan luka di dalam.

Nahe’i, Komisoner Komnas Perempuan menambahkan bahwa penanganan peristiwa intoleransi juga penting untuk melibatkan kelompok perempuan dalam membangun rekonsiliasi keberlanjutan, sehingga terbangun nilai toleransi atas keberagaman, serta membangun rasa damai antar kelompok yang beragam. Pemerintah Daerah juga penting untuk memastikan perempuan korban intoleransi serta keluarganya mendapatkan rehabilitasi sosial berkelanjutan," jelasnya.

Nahe’i menyampaikan bahwa dalam peristiwa intoleransi yang terjadi dalam Catatan Komnas Perempuan (Catahu) seringkali mengabaikan peran perempuan dalam upaya membangun perdamaian dan rekonsiliasi pasca konflik.

Nahe’i mengapreasisi langkah cepat aparat penegak hukum yang melakukan penanganan dan tindakan pada pelaku  intoleransi dan kekerasan. Namun, Nahe’i mengingatkan bahwa dalam penyelesaian penanganan tindakan intoleransi  Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga mempunyai kewajiban membangun rekonsiliasi berkelanjutan untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa di masa mendatang. Penanganan belum selesai selama belum ada rehabilitasi berkelanjutan bagi semua pihak yang melibatkan berbagai pihak. Penanganan serupa juga diharapkan untuk kasus-kasus intoleransi yang pernah terjadi yang hingga saat ini belum ada penanganan yang komprehensif.

Nahei, Dewi Kanti dan Veriyanto Sitohang adalah komisioner yang mengampu Gugus Kerja Perempuan dalam Kebhinekaan (GKPK) yang merupakan unit kerja Komnas Perempuan untuk persoalan intoleransi dan dampaknya pada perempuan. Berdasarkan informasi awal yang diperoleh pada kasus ini, Komnas Perempuan merekomendasikan:

  1. Kementerian Agama berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pada Pemerintah Daerah Provinsi Banten dan Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan agar melakukan langkah-langkah penanganan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan HAM dan konstitusi
  2. Pemerintah Daerah melibatkan peran perempuan dalam membangun rekonsiliasi berkelanjutan untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa di masa mendatang,  membangun upaya damai berkelanjutan. 
  3. Kementerian Agama mengevaluasi program moderasi beragama dan peran-peran FKUB agar benar-benar menjadi ruang perjumpaan dan  ruang kerja bersama antar  umat beragama dan berkepercayaan Terhadap Tuhan YME
  4. Mendorong Kepolisian Tanggerang Selatan di bawah pengawasan Polda Banten melakukan proses hukum dan menjamin rasa aman terhadap masyarakat dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.

GKPK diamanatkan oleh Sidang Komisi Paripurna untuk melakukan pemantauan lebih lanjut sebagai basis untuk penyikapan yang lebih utuh Komnas Perempuan atas peristiwa tersebut, sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sekaligus menjadi respon atas desakan masyarakat sipil untuk lembaga HAM membuat pencarian fakta dan rekomendasi penanganan yang komprehensif. 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: