...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan "Peluncuran dan Diseminasi Policy Brief, Infografis dan Videografis tentang Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan, Dampak dan Kebijakan serta Resiliensi Perempuan di Masa Pandemi Covid-19" (29 Maret 2021)

Siaran Pers Komnas Perempuan Peluncuran dan Diseminasi


Policy Brief, Infografis dan Videografis tentang Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan, Dampak dan Kebijakan serta Resiliensi Perempuan di Masa Pandemi Covid-19 

Urgensi dalam Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan terhadap Dampak dan Kebijakan serta Resiliensi Perempuan di Era Pandemi Covid-19 dan Kebiasaan Baru 

Jakarta, 29 Maret 2021


Komnas Perempuan merespon situasi kekerasan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan di era pandemi Covid 19 dan kebiasaan baru, dengan melaksanakan kajian survei dan kajian kualitatif, yang  telah disintesa menjadi 2 produk pengetahuan, yakni buku hasil kajian yang berjudul ‘Menata Langkah dalam Ketidakpastian: Menguatkan Gerak Juang Perempuan di Masa Pandemi Covid, yang telah diluncurkan di tahun 2020, dan 3 buah policy brief, yang menjadi rekomendasi kepada Pemerintah, Kementerian/Lembaga terkait pada tanggal 24 Maret 2021.  

Komnas Perempuan merasa penting untuk melakukan peluncuran dan diseminasi ketiga policy brief yang telah dikembangkan ini, guna mengupayakan harmonisasi kebijakan dan membangun ownership dalam penerapan policy brief yang sudah disusun bersama Kementerian/Lembaga khususnya dan Masyarakat serta Multi-Pihak secara umum. Policy Brief Pertama, dengan judul ‘Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Era Pandemi COVID-19 dan Kebiasaan Baru’ menekankan bahwa adanya kesenjangan demand dan supply. Kehadiran negara dalam merespon pandemi COVID-19 untuk memberikan perlindungan dari peningkatan risiko KDRT dengan menjamin tambahan anggaran dan dukungan kepada fasilitas layanan berbasis masyarakat sipil (LSM, swasta dan organisasi keagamaan). Pandemi menyebabkan demand meningkat, sedangkan supply turun di tingkat pengadalayanan (LSM, swasta dan organisasi keagamaan) karena tidak ada anggaran yang berkelanjutan. Tanpa dukungan pemerintah, dapat dipastikan pengadalayanan akan mengalami kesulitan dan terburuknya akan tutup.

Policy Brief Kedua, dengan Judul “Melihat Dampak Pandemi COVID-19 dan Kebijakan PSBB melalui Kacamata Perempuan Indonesia” menemukan bahwa Kebijakan PSBB untuk pengendalian penyebaran COVID-19 pada akhirnya menyebabkan perempuan menanggung konsekuensi sosial dan ekonomi yang lebih berat, penurunan kesempatan kerja dan peningkatan risiko PHK bagi perempuan. Transisi ke mekanisme daring juga menjadi hambatan bagi perempuan dengan keterbatasan akses internet. Berbagai kebijakan, program dan skema dikembangkan oleh pemerintah, seperti program jaminan sosial dan perlindungan atas rasa aman, termasuk perlindungan dari kekerasan terhadap perempuan. Program jaminan sosial menjadi salah satu penyangga penting untuk meredam dampak pandemi bagi perempuan dan kelompok marginal. Beban ganda dan kekerasan yang telah menjadi persoalan sebelum pandemi, menjadi lebih mencuat pada masa pandemi, namun sulit didokumentasi karena PSBB sendiri menjadi penyulit bagi perempuan untuk mendapatkan pertolongan (layanan kesehatan reproduksi seperti pemeriksaan kehamilan, persalinan dan layanan gangguan mental emosi, serta pemeriksaan rutin penyakit tidak menular (PTM), karena prioritas sistem kesehatan terpaku pada penanganan COVID-19.

Policy Brief Ketiga, memotret daya lenting perempuan (resiliensi), yang diperlihatkan oleh beberapa lembaga layanan (Libu Perempuan dan LAPPAN, Gerakan Solidaritas Perempuan EMPU, Solidaritas Pangan Jogja (SPJ), dan Gerakan Keagamaan Inklusif Untuk Perempuan Dan Kemanusiaan seperti Aisyiyah, Fatayat/Muslimat, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Wanita Buddhis Indonesia (WBI) dan Organisasi Kristen seperti Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) sebagai kemampuan meredam dampak, beradaptasi dan berjejaring ketika menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19 di tahun 2020.

Mengenali kerentanan perempuan, penerapan kebijakan PSBB dan Kebiasaan Baru, serta juga resiliensi perempuan di Era pandemi Covid-19 dan Kebiasaan Baru, Komnas Perempuan menghimbau dukungan negara dalam bentuk subsidi, supaya layanan selama masa kegawatdaruratan kesehatan masyarakat bisa diakses sebagai pemenuhan hak konstitusional perempuan dengan KDRT di era pandemi COVID-19. Sekaligus persiapan memasuki “kebiasaan baru”, pengadalayanan juga membutuhkan bantuan APD, hotline service, dan pelatihan dari Komnas Perempuan dan mitra Kementerian terkait standar pengetahuan tentang protokol kesehatan. Hal ini dibutuhkan untuk antisipasi kegawatdaruratan kesehatan masyarakat berikutnya. Dibutuhkan inisiatif pemerintah untuk membuktikan negara hadir untuk melindungi perempuan, sesuai UUD 1945 yang menyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Respon pemerintah terhadap COVID-19 harus mencerminkan pemenuhan kebutuhan spesifik dalam menghadapi risiko KDRT atau kekerasan lainnya.

Komnas Perempuan juga merekomendasikan adanya pengembangan perencanaan pembangunan jangka pendek, juga jangka menengah dan panjang. Pembangunan Jangka Pendek mendorong adanya: 1) Perlindungan serta layanan untuk survivor tindak kekerasan; 2) Membuka akses ekonomi dengan menciptakan skema khusus program jaminan sosial bantuan khusus bagi perempuan dan kelompok rentan/ marjinal; termasuk korban kekerasan, PHK, atau kelompok lansia, diffable/disabilitas, transpuan dan lainnya; 3) Memberikan pemenuhan terhadap hak atas kesehatan reproduksi, dengan meningkatkan ketersediaan (distribusi gratis) alat kontrasepsi seperti suntik dan pemasangan IUD melalui bidan praktik swasta, klinik swasta, dan puskesmas keliling. Sekaligus diberikan edukasi mendasar tentang biologi, siklus menstruasi dan proses kehamilan di sekolah atau di berbagai media serta oleh tokoh/lembaga keagamaan.  

Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang meliputi: 1) Adanya pemenuhan terhadap akses teknologi dan informasi - peningkatan digital literacy (pelatihan tidak berbayar) bagi perempuan dan kelompok rentan/marjinal yang dibarengi dengan perluasan akses infrastruktur teknologi digital (internet, wi-fi),  2) Memastikan adanya Jaminan sosial - dibedakan donasi dan pelatihan mencari pekerjaan atau berbisnis secara online, dengan muatan prinsip manajemen dan langkah-langkah pengelolaan risiko bisnis – bagi perempuan kepala keluarga, perempuan pekerja, perempuan di sektor informal, serta perempuan survivor secara terintegrasi (dengan sosialisasi yang masif); dan 3) Komitmen negara untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan remaja – pendidikan kesetaraan gender, memberantas pelecehan seksual, perkawinan usia anak, peningkatan kepercayaan diri dan keterampilan dalam membuat keputusan, melalui kurikulum sekolah atau bermitra dengan LSM/lembaga keagamaan di daerah, serta; 4) Keterlibatan komunitas – melibatkan komunitas untuk turut memantau dan evaluasi program pemerintah agar memastikan kualitas dan akuntabilitas (good governance).

Pada Resiliensi Perempuan, Kementerian/Lembaga Terkait juga penting memberikan dan mendorong adanya sebagai berikut,

1) Penguatan efektivitas lembaga pengadalayanan dan kepemimpinan perempuan dalam struktur kelembagaan;

2) Peningkatan kapasitas pelatihan paralegal yang berkelanjutan di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan/kelurahan, pelatihan menyusun skema rujukan, pemetaan shelter/rumah aman, pemulihan psikososial, dan monitoring dan pelaporan ‘kekerasan’ terhadap perempuan kepada penyedia layanan lokal;

3) Peningkatan kompetensi lembaga perempuan melibatkan aparat pemerintahan dari tingkat desa atau RT/RW di kota, sampai ke tingkat nasional, sesuai dengan kaidah pembangunan RPJMN IV 2020-2024: membangun kemandirian, menjamin keadilan, dan menjaga keberlanjutan;

4) Pelatihan ketrampilan membangun skema akuntabilitas, manajemen relawan yang setara, manajemen logistik yang transparan, manajemen keuangan yang akuntabel, serta monitoring pemantauan kekerasan terhadap perempuan secara ‘real time’;

5) Peningkatan coverage media sosial tentang tindak kekerasan baik terhadap perempuan, anak dan lansia di tingkat keluarga, komunitas, cyber atau daring, ranah publik dan negara;  

6) Perluas pelatihan literasi digital bagi perempuan, cara menggunakan media baru berbasis teknologi informasi (twitter, Instagram dan lainnya) baik untuk membantu pemasaran usaha ekonomi perempuan, ataupun untuk berbagi bukti tindak kekerasan seperti dampak negatif perkawinan anak, dengan dukungan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan akses Base-Transceiver-Stations (BTS) di wilayah yang masih banyak blank spot, sulit signal, dan tidak ada/sedikit smartphones.

7) Dukungan nyata Kementerian terkait, untuk meningkatkan coverage sosial media tentang tindak kekerasan baik terhadap perempuan, anak dan lansia di tingkat keluarga, komunitas, cyber atau daring, ranah publik dan negara, serta menggunakan materi/bukti yang ada dalam pelatihan yang diadakan/didukung.

 

 Narasumber Komisioner: 

1. Retty Ratnawati 

2. Maria Ulfah Anshor  

3. Andy Yentriyani 

4.  Satyawanti Mashudi

5. Mariana Amiruddin


 Narahubung:

Chrismanto Purba, chris@komnasperempuan.go.id 



Pertanyaan / Komentar: