Siaran Pers Komnas Perempuan
Peringatan Hari Internasional Anti Penghilangan Paksa
Urgensi Ratifikasi Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa
Jakarta, 31 Agustus 2022
Pada Hari Internasional Anti Penghilangan Paksa 2022 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Penghilangan Paksa) sungguh mendesak. Penghilangan paksa merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang sekaligus bentuk kejahatan berlanjut (continuous crimes), mengingat dampak berkelanjutan selain terhadap korban, juga keluarga yang mengalami penderitaan psikis, sosial dan ekonomi akibat tidak mengetahui di mana dan bagaimana nasib dari anggota keluarganya. Pada perempuan korban, kerentanan dan dampak yang dihadapi bersifat khas dan berdimensi gender. Karenanya, pengesahan Konvensi Penghilangan Paksa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Komnas Perempuan (2021) mencatat beberapa kerentanan dan dampak khas yang dialami oleh perempuan korban secara langsung dan korban tidak langsung. Sebagai korban langsung, perempuan berpotensi mengalami kekerasan seksual saat penangkapan atau penahanan. Perempuan korban langsung dan perempuan anggota keluarga dari korban penghilangan paksa juga menghadapi 1) penderaan psikologis dan disfungsi keluarga; b) beban majemuk berlapis dan ketimpangan gender; c) persoalan terkait administrasi kependudukan; dan d) stigma dan marginalisasi akibat konstruksi sosial yang meminggirkan perempuan dalam sejarah, tradisi, agama, budaya dan hukum. Kelelahan psikis sebagai korban penghilangan paksa mengakibatkan gangguan psikologis atau kesehatan jiwa, yang semua itu kemudian berefek domino pada kesejahteraan diri dan keluarga.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa dalam peristiwa politik 1965/1966 telah terjadi pembantaian massal di berbagai wilayah di Indonesia yang mengakibatkan ribuan orang hilang bahkan tidak diketemukan hingga hari ini. Beberapa peristiwa lainnya yang terkait penghilangan paksa antara lain Tragedi Tanjung Priok 1984, Tragedi Talangsari 1989, Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1980-an, Darurat Operasi Militer di Aceh (1990-1998), Darurat Operasi Militer di Papua dan beberapa konflik bersenjata di Papua termasuk kasus di Wasior Papua (2001), Kerusuhan 27 Juli 1996 yang dikenal dengan peristiwa KUDATULI. Juga, Tragedi Mei 1998, yang diawali dengan peristiwa penculikan aktivis pro demokrasi. Sebagian dari aktivis yang hilang telah kembali, namun beberapa di antaranya tidak diketahui kabarnya hingga kini.
Selain kasus-kasus penghilangan paksa di atas, Komnas Perempuan juga mendapatkan informasi bahwa seorang perempuan Warga Negara Indonesia dengan inisial RRS dan suaminya Warga Negara Malaysia telah dinyatakan sebagai korban penghilangan paksa di Malaysia oleh SUHAKAM (Lembaga HAM Malaysia, 2022). Hingga saat ini RRS dan suaminya belum diketemukan atau belum kembali kepada keluarganya.
Penghilangan paksa merupakan persoalan global pelanggaran hak asasi manusia dan perhatian serius dari negara-negara di dunia telah dinyatakan dalam pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance). Instrumen HAM internasional ini disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 20 Desember 2006 dan mulai berlaku pada 23 Desember 2010. Konvensi ini juga menyediakan panduan komprehensif bagi negara anggota untuk melakukan pencegahan dan perlindungan setiap orang dari penghilangan paksa serta mekanisme hak pemulihan bagi korban dan keluarganya.
Namun demikian, belum semua negara anggota PBB termasuk Indonesia meratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa. Padahal, ajuan untuk meratifikasi Konvensi ini telah direkomendasikan kepada pemerintah dan DPR RI sejak periode 2004-2009. Kondisi ini berakibat terhambatnya a) pemenuhan hak keluarga korban untuk mengetahui kebenaran (right to know the truth), khususnya untuk situasi penghilangan paksa, dan atas pemulihan b) kemajuan serta proses hukum yang berjalan, c) pelaksanaan kewajiban negara untuk mencari, menemukan dan melepaskan orang yang dihilangkan secara paksa, serta menemukan, menghormati dan mengembalikan jasad korban yang sudah meninggal. Padahal, penuntasan kasus penghilangan paksa sesungguhnya menjadi bagian dari amanat Konstitusi Republik Indonesia, khususnya atas jaminan hak hidup, hak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, dan hak-hak lainnya.
Sebagai negara pihak dari Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW), Indonesia wajib mengadopsi UU yang melarang segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan (dan anak perempuan) serta menyelaraskan hukum nasional dengan konvensi ini. Mengingat kerentanan dan dampak khas berdimensi gender dari penghilangan paksa pada perempuan, maka ratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa telah direkomendasikan oleh Komite CEDAW dalam kesimpulan pengamatan pada laporan Indonesia tahun 2021 sebagai bagian dari upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Menyikapi seluruh situasi di atas dan dalam rangka memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa 2022, Komnas Perempuan:
- Mendorong Pemerintah Republik Indonesia segera meratifikasi Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
- Mendesak Pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan pemulihan segera korban dan keluarga penghilangan paksa, khususnya perempuan, termasuk layanan kesehatan, rehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap korban penghilangan paksa dan anggota keluarganya.
- Mengajak media dan masyarakat untuk mengkampanyekan menentang penghilangan paksa sebagai bentuk dukungan mencegah keberulangan penghilangan paksa di Indonesia dan menghapus segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Narasumber:
1. Veryanto Sitohang
2. Bahrul Fuad
3. Theresia Iswarini
4. Rainy M Hutabarat
5. Andy Yentriyani
Narahubung: +62 813-8937-1400