...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Peringatan Hari Perdamaian Internasional 21 September (25 September 2020)

Siaran Pers Komnas Perempuan

Peringatan Hari Perdamaian Internasional, 21 September

“PENUNTASAN PELANGGARAN HAM MASA LALU UNTUK MENGUATKAN TUJUAN BERNEGARA DALAM MEMBANGUN PERDAMAIAN”

Jakarta, 25 September 2020

 

Penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dengan perhatian khusus pada pengalaman khas perempuan memiliki kontribusi signifikan dalam upaya membangun perdamaian yang sejati. Pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan dalam kerangka keadilan transformatif memungkinkan koreksi bersifat fundamental dengan manfaat menciptakan rasa aman dan damai yang berkelanjutan. Sebaliknya, ketersendatan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu memunculkan rasa ketidakadilan, stigma dan pelaziman kekerasan yang justru gampang dieksploitasi untuk menjadi pencetus konflik dan berulangnya pelanggaran HAM, termasuk berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Keterkaitan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan upaya perdamaian inilah yang diangkat sebagai topik pembahasan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam rangkaian peringatan Hari Perdamaian Internasional 2020. Setiap tahunnya, Hari Perdamaian Internasional diperingati setiap tanggal 21 September. Pada peringatan tahun 2020 ini, PBB menetapkan tema “Membentuk Perdamaian Bersama” dalam rangka mengingatkan semua orang agar untuk berkomitmen membangun perdamaian di atas semua perbedaan dan  berkontribusi dalam merawat budaya perdamaian. Bagi bangsa Indonesia, perdamaian di dalam negeri maupun dalam pergaulan Indonesia di tengah-tengah bangsa-bangsa adalah bagian dari cita-cita berbangsa dan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yang mana Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam pengalaman Indonesia, pelanggaran HAM beririsan dengan situasi konflik dan hampir semuanya masih bergulat dalam upaya penuntasannya hingga sekarang. Aceh dan Papua adalah contohnya. Demikian pula peristiwa-peristiwa lain seperti Tragedi Mei 1998, Tanjung Priok, maupun persoalan residu di wilayah yang pernah berkonflik lainnya seperti Maluku, Poso, dan Kalimantan. Di dalam berbagai kondisi ini, perempuan tidak saja hadir sebagai korban tetapi juga bagian dari agen membangun perdamaian, termasuk dengan memperjuangkan hak-hak. Namun, sebagai korban, pemulihannya terpenggal-penggal sementara perannya sebagai agen perdamaian juga masih dikerdilkan atau diabaikan. 

Komnas Perempuan juga mencatat bahwa langkah penuntasan pelanggaran HAM masa lalu sebagai bagian dari upaya membangun perdamaian selama 2 dekade reformasi telah memperoleh sejumlah capaian penting dan di saat bersamaan menghadapi tantangan-tantangan serius. Dari rangkaian diskusi dengan sejumlah perwakilan masyarakat sipil (23 September) dan diskusi publik (24 September) dengan narasumber Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Hasto Atmojo Suroyo), Wakil Ketua bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Amiruddin Al Rahab), Kepala Bidang Perlindungan HAM Deputi III Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam (Febrianto Hendy Setyasma),  dan  Ketua Komnas Perempuan (Andy Yentriyani), dicatatkan sejumlah capaian dan tantangan utama tersebut, termasuk:

  1. Ada sejumlah kerangka hukum dan kebijakan yang dapat digunakan untuk mengusut peristiwa, menindak pelaku, dan melayani kebutuhan pemulihan korban. Upaya pemantauan, penyelidikan dan pencarian fakta oleh lembaga-lembaga nasional hak asasi manusia (LNHAM), maupun oleh mekanisme lain seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA) berperan penting dalam pengungkapan kebenaran dan karenanya perlu dilanjutkan dan diperkuat. Hambatan utama dari penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu ada pada komitmen politik yang masih belum kuat, seperti tercermin pada penyikapan Kejaksaan Agung tentang hasil penyelidikan Komnas HAM. Ketiadaan komitmen yang kuat menyebabkan impunitas berkepanjangan dan celah hukum bertahan, di samping ketergantungan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu pada individu-individu tertentu.
  2. Upaya pemulihan korban pelanggaran HAM masa lalu dan konflik terus bergulir tetapi masih lebih menyasar pada pendekatan ekonomi dan pemulihan kesehatan. Di satu sisi, pendekatan ini penting terutama sebagai langkah darurat mengingat kondisi korban. Namun, dalam pelaksanaannya mengalami keterbatasan sumber daya sehingga belum diterima oleh seluruh korban terutama perempuan dan tidak ada jaminan keberlanjutan. Langkah-langkah personal untuk rekonsiliasi berupa bantuan ekonomi juga bukanlah penyelesaian berbasis hak dan menyasar akar-akar masalah. Di sisi lain, ada kekuatiran bahwa pendekatan ini seolah diarahkan untuk menghilangkan pertanggungjawaban hukum.
  3. Perempuan korban, khususnya dalam tindak kekerasan seksual, masih menghadapi banyak tantangan untuk mengakses keadilan dan pemulihan. Bahkan, tantangan bertambah karena budaya menyangkal dan praktik pembungkaman atas nama “nama baik”, “malu”, “sudah menjadi masa lalu” dan sebagainya. Penguatan kerangka hukum dan mekanisme khusus untuk mendorong pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan, terutama kekerasan seksual, perlu menjadi prioritas.
  4. Negara belum melakukan penyelesaian dengan pendekatan menyeluruh yang menyasar pada akar-akar masalah, termasuk terkait kebijakan pembangunan yang memiliki kecenderungan abai pada HAM dan lingkungan, pengutamaan pendekatan keamanan dalam menyikapi protes warga, budaya kekerasan, dan penyangkalan pada kekerasan seksual. Hal ini meningkatkan potensi keberulangan peristiwa pelanggaran HAM dan konflik, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
  5. Penundaan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu menyebabkan komunitas korban belum merasa aman, adil dan damai. Makna damai beragam, sesuai kebutuhan di tingkat individu korban, termasuk bebas dari ancaman, stereotipe, stigma, diskriminasi, pulih dari trauma akibat konflik, serta adanya kompensasi dan rehabilitasi sosial tanpa menimbulkan pelanggaran HAM atau kekerasan baru. Akumulasi dari pemaknaan ini semakin menegaskan pentingnya kerangka keadilan transformatif di dalam membangun strategi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu sebagai bagian dari pembangunan perdamaian yang sejati.
  6. Partisipasi warga, terutama komunitas korban dan khususnya perempuan dalam merumuskan perdamaian merupakan salah satu prinsip utama dalam mewujudkan perdamaian sejati. Masyarakat sipil terus menggulirkan upaya membangun perdamaian pasca konflik dan dalam pemajuan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu dengan menggunakan pendekatan lewat hak-hak ekonomi, sosial, media dan budaya. Demikian pula pelibatan kelompok muda guna memastikan adanya transformasi pengetahuan tentang sejarah kekerasan masa lalu guna mencegah keberulangan. Adopsi dan dukungan pemerintah pada prakarsa masyarakat sipil merupakan langkah maju untuk melembagakan upaya membangun perdamaian
  7. Perempuan juga memprakarsai pendokumentasian untuk mengungkapkan kebenaran dan pengalaman-pengalaman perempuan melalui pengungkapan narasi-narasi pelanggaran HAM perempuan dan konflik sosial sebagai bagian dari proses pemulihan korban dan komunitas dan upaya membangun kehidupan bersama yang damai.
  8. Perempuan pun telah menunjukkan kepemimpinannya dengan kontribusi aktif dalam upaya perdamaian dan pemajuan HAM. Meski kerja-kerjanya kerap dikerdilkan dan sebaliknya justru harus berhadapan dengan ancaman kekerasan dan diskriminasi, perempuan berteguh menyemai damai. Pengembangan dukungan bagi kepemimpinan perempuan ini mensyaratkan penguatan kerangka kebijakan maupun langkah-langkah budaya mendorong kesetaraan substantif antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat.
  9. Belum tuntasnya penyelesaian kekerasan di masa lalu ini juga mendapatkan tantangan baru di masa pandemic Covid-19. Banyak dari para korban harus bergulat dengan situasi kemiskinan dan ketidakberdayaan menghadapi dampak COVID-19. Langkah afirmasi perlu dikembangkan dalam menyikapi kebutuhan korban, dengan perhatian khusus pada perempuan, yang saat ini mengalami dampak berlapis karena pandemi.

 

Dari rangkaian diskusi tersebut pula, Komnas Perempuan mencatat rekomendasi prioritas untuk berbagai pihak, sebagai berikut:  

  1. Kejaksaan Agung : (a) Melanjutkan proses hukum kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan konflik yang saat ini terhenti sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak korban untuk mendapatkan keadilan
  1. Komnas HAM : (a) Berkoordinasi dengan lembaga HAM lainnya dan organisasi pendamping korban terkait surat rekomendasi kepada korban pelanggaran HAM masa lalu dan konflik yang belum mendapatkan hak pemulihan dari LPSK (b) Kerjasama dengan Komnas Perempuan dalam proses penyidikan terkait aspek kekerasan seksual dalam setiap penyidikan kasus kekerasan
  2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) : (a) Mengeluarkan kebijakan terobosan untuk meningkatkan dukungan pemulihan bagi korban pelanggan HAM masa lalu dan konflik sesuai dengan situasi dan kebutuhan pemenuhan hak-hak korban. (b) Mengembangkan mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban kekerasan seksual dalam upaya-upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM lalu dan konflik
  3. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan : (a) Memperluas akses partisipasi komunitas korban, masyarakat sipil dan lembaga-lembaga nasional Hak Asasi Manusia dalam perumusan kebijakan untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu dan penyikapan konflik (b) Memastikan langkah kebijakan meneguhkan komitmen untuk memutus impunitas dan memulihkan hak-hak korban
  4. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan: Mengalokasikan anggaran yang memadai sebagai sumber daya yang berkelanjutan bagi upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk dalam layanan segera untuk pemulihan korban.
  5. Komnas Perempuan : (a) Membuat terobosan langkah pemulihan bagi korban kekerasan seksual pelanggaran HAM masa lalu dan konflik melalui koordinasi dengan Kementrian/Lembaga Negara terkait dan kerjasama dengan masyarakat sipil dengan menggunakan media sosial dan budaya. (b) Pengembangan pengetahuan tentang kerja-kerja Perempuan sebagai Agen Perdamaian dan Pembela HAM sebagai pengetahuan publik, termasuk negara.

 

Narasumber

  1. Theresia Iswarini
  2. Imam Nahei
  3. Andy Yentriani

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)


Pertanyaan / Komentar: