...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Refleksi 35 Tahun Ratifikasi Konvensi CEDAW di Indonesia (Jakarta, 24 Juli 2019)

Siaran Pers Komnas Perempuan


Refleksi 35 Tahun Ratifikasi Konvensi CEDAW di Indonesia:
“Merawat Bangsa Dengan Memperkuat Komitmen Bersama Menjalankan Mandat CEDAW untuk menjamin HAM Perempuan di Indonesia”

Jakarta, 24 Juli 2019

 

CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) atau Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, merupakan salah satu perjanjian hak asasi paling pokok dalam sistem kesepakatan internasional Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yang didalamnya memuat kesetaraan substantif bagi perempuan. Konvensi ini disahkan oleh PBB pada tahun 1979, sebagai kesepakatan global yang mendefinisikan prinsip-prinsip tentang Hak Asasi Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Guna memantau dan mendorong implementasi konvensi tersebut, dibentuk Komite CEDAW yang terdiri dari 23 ahli independen tentang hak asasi perempuan dari berbagai negara.

Dalam sejarahnya, Indonesia telah beberapa kali memiliki wakil di CEDAW, yaitu Ida Soekaman (1987) yang digantikan oleh Prof. Dr. Ir. Pudjiwati Sajogyo (periode 1987-1990), Prof. Dr. Sunaryati Hartono (periode 1995-1998), dan Sjamsiah Achmad (periode 2001-2004). Kiprah tokoh perempuan Indonesia di Komite CEDAW tersebut seolah sekaligus mematahkan miskonsepsi bahwa Hak Asasi Perempuan adalah produk Barat, karena nyatanya perempuan-perempuan dari Timur pun justru ikut terlibat dalam posisi strategis mengembangkan instrumen dan mekanisme implementasi CEDAW. Keberagaman dalam Komite CEDAW juga semakin menegaskan pula bahwa Hak Asasi Perempuan adalah suatu komitmen dunia di mana semua negara seharusnya terlibat.

Indonesia adalah salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi ini dan pada 24 Juli 1984 telah meratifikasinya melalui UU RI No. 7 Tahun 1984. Hal tersebut bersifat legally binding, yang berarti ada beberapa konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan oleh Indonesia. Salah satu konsekuensi meratifikasi konvensi CEDAW adalah membuat laporan pelaksanaannya kepada Komite CEDAW di PBB. Namun, pemerintah Indonesia terakhir mengirimkan laporan pada tahun 2012 dan sesudah itu di tahun 2016 Indonesia tidak membuat laporan. Dampak serius keterlambatan pelaporan ini, anatara lain : a). menutup situasi perempuan Indonesia mendapatkan perhatian dari PBB, karena Komite tidak dapat me-review perkembangan pemajuan hak asasi perempuan di Indonesia maupun menyusun rekomendasi bagi Indonesia; b) Indonesia potensial dinilai komite dan negara-negara lain, tidak meletakkan isu perempuan sebagai isu penting untuk didokumentasi kemajuan dan kemundurannya oleh negara, sebagai baseline kerja-kerja bangsa kedepan. Padahal pemerintah RI berusaha serius memajukan sejumlah hak asasi perempuan, terlepas masih ada kekurangan yang harus diperbaiki, namun upaya-upaya ini tidak diketahui publik internasional; c). Indonesia harus memberikan contoh positif, agar tidak terjadi pelaziman keterlambatan pelaporan yang akan ditiru oleh negara-negara lain, yang langsung atau tidak langsung berdampak pada pengabaian hak-hak perempuan untuk mendapatkan perhatian negara.

Perkembangan Cedaw sangat dinamis dan responsif, hingga kini Komite CEDAW sudah mengeluarkan 37 General Recommendation (Rekomendasi Umum) sebagai perluasan respon atas berkembangnya isu-isu perempuan yang semakin kompleks. Melalui Rekomendasi Umum tersebut, Komite mempunyai alat untuk me-review sebuah negara untuk mempertanyakan dan merekomendasikan isu-isu yang lebih kompleks yang belum terumuskan dalam Konvensi aslinya. CEDAW juga telah memberikan rekomendasi spesifik untuk setiap negara melalui Concluding Observation (sebelumnya disebut Concluding Comment).

Concluding Observation CEDAW kepada Indonesia yang ditandaskan pada tahun 2012 antara lain, namun tidak terbatas pada isu-isu kunci berikut :

  1. Meningkatkan kesadaran publik, kelompok agama dan para pemuka agama bahwa segala bentuk pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan (P2GP) sebagai praktik yang membahayakan dan melanggar HAM perempuan;
  2. Melakukan revisi kebijakan tentang perkawinan, antara lain melalui revisi UU No. 1 tahun 1974, untuk menetapkan usia perkawinan sebagai 18 tahun untuk perempuan dan laki laki, menghapuskan praktik poligami, dan menghilangkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga;
  3. Menghapus kebijakan diskriminatif terhadap perempuan;
  4. Meningkatkan kesadaran di masyarakat akan dampak negatif perkawinan anak bagi perempuan dengan tujuan menghapus praktik perkawinan anak.


Adapun perkembangan dari isu-isu kunci tersebut belum dilaporkan ke Komite CEDAW, walaupun Komite sudah sempat mengirimkan follow-up letter kepada pemerintah Indonesia di tahun 2014 dan 2015.

Sebagai salah satu mekanisme HAM nasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara rutin membuat laporan kepada Komite CEDAW tentang perkembangan implementasinya di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi pada pemerintah Indonesia. Komnas Perempuan telah menyampaikan laporan tersebut pada tahun 2011 dan 2016 yang dapat diakses melalui www.komnasperempuan.go.id/publikasi-cedaw.

Bertepatan dengan hari peringatan 35 tahun Indonesia meratifikasi CEDAW ini, Komnas Perempuan menyerukan:

  1. Mendesak negara untuk segera menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan CEDAW periode VIII (2012-2016) yang jatuh tempo pada tahun 2016. Ini berarti laporan RI telah terlambat 3 tahun dan hingga kini masih ditunggu oleh Komite CEDAW;
  2. Mengingatkan negara untuk menjalankan rekomendasi yang telah disampaikan melalui Concluding Observation Komite CEDAW;
  3. Mendorong negara untuk meratifikasi Optional Protocol CEDAW yang berisi prosedur tambahan dalam pelaksanaannya, yakni Prosedur Investigasi dan Prosedur Komunikasi Individu. Optional Protocol ini sudah pernah masuk ke dalam Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2011-2014 namun hingga kini belum diratifikasi;
  4. Menggiatkan pemerintah RI untuk memperkuat sosialisasi instrumen hak asasi perempuan, khususnya CEDAW kepada berbagai pemangku kepentingan (kelompok agama, budaya, pelaku bisnis, dll), termasuk aparat pejabat negara;
  5. Mengajak semua pihak, termasuk masyarakat, untuk memahami lebih dalam instrumen-instrumen HAM internasional sebagai nilai-nilai universal dengan sikap positif, terbuka, dan tanpa prasangka.

Selain seruan di atas, tahun ini dalam rangka memperingati 35 tahun Indonesia meratifikasi CEDAW, Komnas Perempuan akan mengadakan sebuah dialog publik pada tanggal 30 Juli 2019 tentang penguatan women’s machinery atau kelembagaan perempuan sebagaimana rekomendasi komite CEDAW dalam concluding observation untuk Indonesia.


Narasumber:

Yuniyanti Chuzaifah

Adriana Venny


Narahubung:

Elwi Gito (Telp: +62-21-3903963)

 

Link unduh dokumen : 

Siaran Pers Komnas Perempuan Refleksi 35 Tahun Ratifikasi Konvensi CEDAW di Indonesia (Jakarta, 24 Juli 2019)

https://drive.google.com/file/d/1RL0eht74wU6jMRy479Dg1Lz_vNBS6yJ9/view?usp=sharing

 


Pertanyaan / Komentar: