Siaran Pers Komnas Perempuan
FEMISIDA:
TUNTUTAN PEMBARUAN HUKUM DAN KEBIJAKAN MENYIKAPI ANCAMAN
Jakarta, 13 Maret 2020
Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan mekanisme nasional HAM dengan salah satu mandat untuk melakukan pemantauan termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan. Berkenaan dengan tugas tersebut, Komnas Perempuan telah memantau femisida sejak 2017. Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Karena itu, femisida muatannya berbeda dari pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. Femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis dan terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara. Berdasarkan data PBB, 80% dari pembunuhan terencana terhadap perempuan dilakukan oleh orang terdekatnya.
Kendati femisida meningkat di Indonesia, dari segi jumlah maupun bentuknya, belum mendapat perhatian serius, masih dipandang sebagai tindakan kriminal biasa. Pada November 2017, Komnas Perempuan telah mengeluarkan rilis tentang femisida bertajuk “Alarm bagi Negara dan Kita Semua: Hentikan Femisida (Pembunuhan terhadap Perempuan)”.
Dua tahun setelah rilis tersebut, belum ada perubahan hukum dan kebijakan terkait femisida oleh Polri maupun negara. Sementara pemantauan Komnas Perempuan terhadap berita media daring sepanjang 2019 tentang femisida mencatat jumlah yang memprihatinkan, yakni 145 kasus. Jumlah ini baru sebatas kasus femisida yang diliput oleh media massa, belum terhitung yang tidak diberitakan. Lima peringkat teratas untuk relasi pelaku dengan korbannya itu suami (48 kasus) yang menunjukkan bahwa sebagian besar femisida dilakukan oleh suami terhadap istri. Selanjutnya, relasi pertemanan (19 kasus), relasi pacaran (13 kasus), kerabat dekat (7 kasus), dan belum diketahui (21 kasus). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa relasi pelaku dengan korban sebagian besar masih berada dalam ranah relasi personal. Terdapat pola yang sama, yakni sadisme berlapis terhadap perempuan dengan dianiaya, diperkosa, dibunuh dan ditelanjangi. Dari perspektif kekerasan berbasis gender, penelanjangan korban yang telah menjadi mayat menunjukkan tindak pelucutan martabat korban.
Di Indonesia, penghilangan nyawa diatur tersebar dalam Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dan juga di KUHP yaitu Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345, dan Pasal 350. Namun motif, modus dan kekerasan berbasis gender sebelum atau yang menyertainya tidak menjadi faktor pemberat hukuman.
Mencermati terus meningkatnya femisida, Komnas Perempuan merekomendasikan agar:
- POLRI melakukan pendokumentasian secara nasional tentang pembunuhan perempuan agar terpetakan penyebab, pola dan pelaku femisida di Indonesia dan menjadi acuan dalam menyusun langkah-langkah sistemik untuk penanganan dan pencegahannya;
- POLRI menjamin keamanan pelapor dan perempuan yang terindikasi terancam nyawanya;
- DPR RI dan Pemerintah melakukan pembaruan hukum pidana yang mengatur femisida sebagai pembunuhan khusus terhadap perempuan atau menjadikannya sebagai alasan pemberat hukuman.
- Pers menyajikan pemberitaan berperspektif korban dalam kasus femisida atau pembunuhan perempuan dengan menggali bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender dan mencegah reviktimisasi korban dengan menjaga integritas korban dan keluarganya.
Narasumber Komisioner:
Rainy Hutabarat
Siti Aminah Tardi
Mariana Amirrudin
Andy Yentriyani
Narahubung: Yulita (0856-2951-873)
Link unduh dokumen :
SIARAN PERS KOMNAS PEREMPUAN TENTANG FEMISIDA