"Indonesia Penting Segera Melaksanakan Penghapusan dan Pencegahan Penyiksaan"
Jakarta, 24 Juni 2024
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpandangan bahwa dalam 25 tahun implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan, Indonesia masih terus menghadapi tantangan dalam pencegahan penyiksaan. Berbagai data menunjukkan bahwa penyiksaan atau perbuatan sewenang-wenang atau penghukuman yang kejam, bahkan berbasis gender, masih terus terjadi di Indonesia.
Tahun 2024 merupakan momentum penting bagi Pemerintah Indonesia karena pada tahun ini implementasi pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan mencapai 25 tahun. Indonesia merupakan negara pihak Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Pasal 7 konvensi ini mengamanatkan bahwa, “Tidak seorangpun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan Pasal 14 yang memberikan jaminan fair-trial, termasuk perlakuan yang sama di hadapan hukum dan bebas dari paksaan untuk mengaku salah. UU Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 juga secara tegas menyatakan hak bebas dari penyiksaan, yakni pada Pasal 28G Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (1).
Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mengungkapkan bahwa selama 6 (enam) tahun terakhir Komnas Perempuan menerima pengaduan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di ranah negara sebanyak 308 kasus, 106 kasus diantaranya terkait dengan Perempuan Berkonflik dengan Hukum (PBH), dengan rincian jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan berkonflik dengan hukum di antaranya 15 kasus mengalami penyiksaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dalam proses penyidikan PBH. Bentuknya adalah penelanjangan, pemerkosaan untuk memaksa, menekan, mengintimidasi bahkan menyiksa agar perempuan memberikan keterangan yang diinginkan penyidik.
“Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus pada PBH yang menjadi tahanan ataupun warga binaan, baik yang menghadapi hukuman mati atau hukuman badan lainnya, juga kondisi perempuan yang menghadapi kondisi serupa tahanan seperti di panti-panti rehabilitasi. Hasil dari pendokumentasian Komnas Perempuan ini menjadi isu yang diadvokasi pada saat merumuskan UU No. 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sehingga ada pasal khusus, yakni Pasal 11 terkait tindak penyiksaan seksual,” tambahnya.
Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan, mengungkapkan, bahwa terdapat praktik tradisional berbahaya yang merupakan bentuk penyiksaan berbasis gender dan negara tidak melakukan penyikapan tegas dan segera. Temuan Komnas Perempuan mencatat bahwa pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP) masih banyak dipraktikkan hingga kini di Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Selatan. Sikap pemerintah terhadap P2GP bersifat mendua antara membolehkan atau melarang.
“Sementara di Sumba masih berlaku praktik perhambaan berbasis tradisi yang mengarah pada perbuatan sewenang-wenang dan tidak manusiawi. Umumnya korban tak bersuara karena memandang sebagai bagian dari budaya di samping rasa takut kepada tuannya, keluarganya dan tak memiliki support system terjangkau. Kasus penyiksaan baru terungkap, setelah terjadi tindak kriminalitas termasuk kekerasan seksual dan korban berani melaporkan kasusnya,” jelasnya.
Rainy juga menjelaskan bahwa terjadi pengabaian negara berupa infrastruktur yang tidak layak di antaranya CCTV yang tidak berfungsi atau terbatas jumlahnya di tempat-tempat tahanan dan serupa tahanan untuk pencegahan penyiksaan, juga layanan kesehatan mental, obat-obatan, yang tidak tersedia, air bersih yang tidak memadai, dan ketidaktersediaan ruang khusus untuk kebutuhan maternitas.
Rainy mengungkapkan bahwa kasus penyiksaan masih banyak dilakukan oleh aktor-aktor negara baik aparat penegak hukum dalam konteks penangkapan, penyelidikan dan penyidikan maupun konteks tahanan; aparat pemerintahan pada dinas-dinas terkait maupun secara tak langsung sebagai pihak yang memberi izin, mengetahui dan membiarkan. Pada konteks yang lain, pelaku dapat berasal dari keluarga atau orang terdekat misalnya pada isu pasung.
Pada peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional tahun ini, Tim KuPP bersama jaringan masyarakat sipil bersepakat mengangkat tema “Stop Penyiksaan, Tegakkan Hak Asasi Manusia” sebagai pengingat bahwa bebas dari penyiksaan adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun. KuPP dibentuk tahun 2016, terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Disabilitas (KND), Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), bertujuan untuk mendorong negara mengesahkan Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT) dan mengeluarkan Mekanisme Perlindungan Nasional (National Protection Mechanism).
“Kami mengharapkan partisipasi masyarakat luas dalam kampanye ini sehingga dapat berdampak besar untuk penguatan kesadaran publik terkait kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi. Tahun ini juga merupakan momentum untuk mendorong implementasi optimal UU No. 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, meratifikasi OPCAT dan melakukan pelaporan internasional berkala implementasi CAT. Sejak 2007, Pemerintah tidak melakukan pelaporan internasional pelaksanaan CAT dan tercatat Pengamatan Akhir Komite CAT disampaikan tahun 2008,” ujar Wakil Ketua Mariana Amiruddin.
Lebih lanjut, Komisioner Theresia Iswarini mengatakan bahwa saat ini KuPP sedang menyusun laporan 25 Tahun Implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan atau Convention Against Torture (CAT) melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang akan diluncurkan tahun ini.
“Laporan tersebut akan menyampaikan review mengenai penerapan CAT di Indonesia dengan harapan dapat mendorong Pemerintah Indonesia menerapkan CAT secara optimal dan menjadi bahan advokasi untuk mendorong meratifikasi OPCAT sehingga mekanisme NPM bisa terbangun,” pungkas Iswarini.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)