“Penting Kolaborasi dan Perlakuan Khusus untuk mewujudkan Partisipasi Bermakna Penyandang Disabilitas dalam Pembangunan Berkelanjutan”
Jakarta, 3 Desember 2023
Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2023, Komnas Perempuan menyoroti pentingnya kolaborasi dan tindakan bersama antar pemangku kepentingan (stakesholders) untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, mengungkapkan bahwa akses yang setara dan adil terhadap layanan menjadi hal krusial dalam memastikan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan, terutama perempuan disabilitas.
“Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kebijakan dan layanan yang ada mudah diakses apapun kondisi fisik atau mental korban,” ujarnya.
Hal tersebut sesuai dengan tema Hari Disabilitas Internasional 2023, "United in Action to Rescue and Achieve the Sustainable Development Goals (SDGs) for, with and by Persons with Disabilities". Tema ini menggarisbawahi pentingnya komitmen berbagai pihak untuk memastikan setiap langkah pembangunan bersifat inklusif dan memperhitungkan keberadaan penyandang disabilitas, khususnya perempuan dengan disabilitas.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan dengan disabilitas sering kali menghadapi keterbatasan akses informasi mengenai pencegahan kekerasan dan layanan penanganan. Oleh karena itu, langkah konkret perlu diambil untuk meningkatkan akses informasi bagi mereka sehingga mereka dapat melibatkan diri dalam proses pencegahan dan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan,” tambah Bahrul.
Pemantauan Komnas Perempuan menunjukan bahwa penyandang disabilitas khususnya perempuan dengan disabilitas masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan. Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 Komnas Perempuan mencatat sebanyak tujuh puluh sembilan (79) kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas sepanjang tahun 2022, 7 di antaranya dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Jumlah kasus yang dilaporkan tersebut belum menggambarkan realitas sebenarnya. Kasus yang dilaporkan biasanya tidak sebanding dengan jumlah kasus yang terjadi. Selain memiliki kerentanan-kerentanan khusus dan berlapis terhadap kekerasan, perempuan penyandang disabilitas juga mengalami hambatan dalam melaporkan kasusnya, seperti minimnya pengetahuan terkait mekanisme pelaporan dan penanganan kasus yang belum berperspektif disabilitas dan penanganan kasus kekerasan terhadap disabilitas serta pemulihan yang belum aksesibilitas.
Komnas Perempuan mengingatkan, Undang-Undang Penyandang Disabilitas mengamanatkan pentingnya perlakuan khusus terkait perlindungan penyandang disabilitas dari berbagai bentuk kekerasan berbasis gender dan disabilitas, baik aspek pencegahan, penanganan maupun pemulihan. Sebagai peraturan pelaksanaanya, Kejaksaan Agung RI telah menerbitkan Pedoman Nomor 2 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak dan Penanganan Perkara yang Aksesibel dan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas dalam proses Peradilan.
Veryanto Sitohang Komisioner Komnas Perempuan menyatakan Komnas Perempuan mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan berharap agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan. “Pedoman ini merupakan bentuk kemajuan hukum dalam penanganan kasus Pidana bagi penyandang disabilitas.
Pemantauan Komnas Perempuan juga menemukan bahwa pembuktian merupakan salah satu hambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas.
“Pertama, aparat penegak hukum belum memiliki perspektif disabilitas. Kesaksian korban tidak percaya oleh aparat penegak hukum karena kondisi disabilitasnya. Perempuan disabilitas dipandang belum setara di hadapan hukum kendati pun Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pengakuan sebagai subjek hukum. UU TPKS telah mengamanatkan layanan khusus berupa pendampingan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan seksual,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat.
Rainy menambahkan bahwa pembuktian karena umumnya karakteristik kekerasan seksual terjadi di ruang sepi dan tanpa saksi, namun bisa terjadi berkali-kali. Ironisnya, kekerasan seksual tak disangkal ketika korban mengalami kehamilan tidak dikehendaki.
Selain itu, perempuan dengan disabilitas psikososial merupakan kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan, penyiksaan dan pengabaian hak-hak dasar mereka. Pemasungan, perlakuan yang tidak manusiawi, kekerasan dan pengabaian masih banyak dialami oleh perempuan dengan disabilitas psikososial. Kondisi tersebut mengakibatkan perempuan dengan disabilitas psikosisial terhambat untuk berpartisipasi dalam dalam kehidupan sosial yang wajar.