“Pastikan Percepatan Penanganan Kusta dan Cegah Kekerasan Berbasis Gender dan Diskriminasi”
Jakarta, 29 Januari 2024
Indonesia berada di peringkat ketiga terkait jumlah tertinggi kasus kusta di dunia. Data tahun 2022 mencatat, jumlah kasus kusta di Indonesia mencapai 13.487 kasus. Angka ini masih dapat meningkat seiring dengan kemungkinan adanya kasus yang tidak dilaporkan.
Kusta, merupakan penyakit endemik yang merusak jaringan kulit, saraf tepi dan saluran pernapasan, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae. Masa inkubasinya bisa lebih dari 5 tahun, bahkan sering disebut penyakit infeksi yang gejala infeksinya tidak akut.
Ribuan tahun yang lalu catatan tentang penyakit kusta terekam dalam kitab suci agama-agama di mana penyandang kusta diisolir, ditelantarkan, distigmatisasi dan hidup dalam kemiskinan di tengah-tengah masyarakat. Ekslusi dan stigma terhadap penyandang kusta berakar dari anggapan bahwa penyakit ini merupakan akibat dari dosa, kutukan dan tidak dapat disembuhkan dan dicegah penularannya dan dampaknya pada fisik dapat bersifat permanen. Stigma tersebut masih berlangsung bahkan sampai sekarang, sehingga bisa berakibat para penyandang kusta rentan terhadap gangguan psikis antara lain berupa depresi, kecemasan, dan kesepian, ataupun gangguan dalam relasi sosial.
Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati menyatakan, sejak ditemukan Mycobacterium Leprae yang merupakan penyebab penyakit kusta, dan selanjutnya ditemukan jenis antibiotika tertentu yang dapat membunuh Mycobacterium Leprae, maka sejak saat itu kusta bisa disembuhkan dengan proses pengobatan agak lama, sekitar 6 - 12 bulan tergantung derajat keakutannya. Jadi penyakit kusta dapat disembuhkan meskipun butuh waktu, dan hal ini perlu dipahami oleh masyarakat.
“Percepatan penanganan penyakit kusta ini membutuhkan pencegahan berkelanjutan dan diagnosa sedini mungkin sehingga penyakit kusta akan turun prevalensinya dan juga penyandang kusta bisa sembuh tanpa mengalami disabilitas fisik maupun psikis, ataupun bisa bebas dari gangguan relasi sosial. Pencegahan bisa dilakukan dengan memperhatikan kebersihan dan kesehatan individu atau diri sendiri dan juga perhatian pada kebersihan kesehatan lingkungan masyarakat. Keluarga dan masyarakat diharapkan dapat lebih mengenali gejala dini penyakit kusta,” tambah Retty.
Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan, menggarisbawahi bahwa stigma negatif ini berdampak serius terhadap individu yang pernah mengalami kusta, menghadapi perlakuan diskriminatif dan eksklusi sosial.
“Mereka mengalami kesulitan dalam mengakses layanan umum, termasuk layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan, serta mengalami pengucilan dalam ranah masyarakat. Situasi ini tak hanya mengekspos ketidakpastian pemenuhan hak-hak dasar bagi individu yang pernah mengalami kusta sebagai warga negara, tetapi juga menandakan perlunya intervensi serius dari pemerintah,” tegasnya.
Saat ini, obat untuk kusta sudah tersedia di semua tingkatan layanan kesehatan milik pemerintah.
“Kami mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama berkomitmen dalam upaya pemberantasan kusta serta menciptakan lingkungan inklusif bagi seluruh warga Indonesia, tanpa pengecualian,” lanjut Bahrul Fuad.
Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan, mengingatkan bahwa perempuan penyandang atau penyintas kusta memiliki kerentanan berlapis, pertama karena gendernya; kedua karena penyakit kusta yang dialaminya.
“Komnas Perempuan mencatat, selain diskriminasi berupa ekslusi dan stigma, mereka rentan terhadap pelecehan seksual, penelantaran, penindasan berlapis, hambatan dalam mendapat pasangan hidup dibandingkan sesamanya laki-laki penyintas kusta dan rentan diceraikan oleh pasangannya. Sejauh ini, kekerasan berbasis gender dan kusta, sangat jarang dilaporkan ke pengada layanan dan Komnas Perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan penyandang kusta yang mengalami kekerasan berbasis gender tidak dipandang setara di hadapan hukum akibat stigma yang dilekatkan kepada mereka. Dalam kehidupan sehari-hari pun hak-hak dasar mereka tidak dipenuhi. Pembangunan berkelanjutan tak dapat dicapai tanpa pemenuhan hak-hak penyandang kusta sebagai kelompok rentan,” jelas Rainy.
Komnas Perempuan mendesak pemerintah dan lembaga-lembaga terkait, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Tenaga Kerja untuk memperluas daya jangkau dan akses setara bagi individu yang pernah mengalami kusta. Selain itu, Kementerian Sosial juga diharapkan meningkatkan program pemberdayaan dan menggencarkan pendidikan publik untuk lebih dapat mengenali gejala kusta dan menghapus stigma serta diskriminasi terhadap penyandang dan penyintas kusta di Indonesia.
Narahubung: Elsa (+62 813-8937-1400)