Siaran Pers Komnas Perempuan
Tentang Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 25 November 2022
Data Terpilah Kasus Femisida Untuk Pencegahan dan Pemenuhan Hak Korban Atas Keadilan Serta Pemulihan bagi Keluarga Korban
Jakarta, 25 November 2022
Pembunuhan terhadap perempuan atau femisida adalah bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrem terhadap perempuan belum direspons secara komprehensif oleh negara. Akibatnya, hak perempuan korban atas keadilan dan kebenaran serta hak keluarga korban pemulihan tidak terpenuhi. Kondisi ini merupakan simpulan dari pengembangan pengetahuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tentang femisida: bentuk, ranah, hubungan korban dengan pelaku, dampaknya terhadap keluarga yang ditinggalkan serta perundang-undangan dan kebijakan yang ada. Untuk itu, Komnas Perempuan merekomendasikan upaya yang lebih sistematis dalam menyikapi femisida, diawali dengan data terpilah.
Rekomendasi ini disampaikan Komnas Perempuan dalam menyambut peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 25 November – 10 Desember. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan agar setiap tanggal 25 November, negara pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) menyampaikan laporan terkait upaya-upaya pencegahan dan penanganan femisida. Dalam kalender HAM internasional, tanggal 25 November tercatat sebagai awal dari 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP). Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini diperingati sebagai bentuk penghormatan terhadap tiga perempuan, Mirabal bersaudara, pegiat HAM yang tewas dibunuh (femisida) karena perjuangan mereka menegakkan HAM di negara Dominika.
Komnas Perempuan telah mengembangkan pengetahuan perempuan tentang femisida sejak tahun 2020. Data kasus femisida diperoleh dari pemberitaan media massa daring rentang tahun 2018 - 2020 tentang pembunuhan perempuan. Hal ini dilakukan karena pengaduan kasus femisida ke lembaga layanan maupun ke Komnas Perempuan nyaris tidak ada.
Temuan-temuan dari pemantauan media tersebut menunjukkan bentuk-bentuk kekerasan ekstrem sadistik serta berlapis dengan berbagai motif, pola pembunuhan dan dampak-dampaknya terhadap keluarga korban. Komnas Perempuan kemudian mendefinisikan femisida sebagai “pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya dan berlapis, yang didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik”. Definisi tersebut merupakan sintesa dari definisi oleh WHO, Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan, Deklarasi Wina, UN Women, dan UN ODC. Deklarasi Wina mencatat 9 kategori femisida yaitu: (1) femisida pasangan intim, (2) femisida budaya (femisida atas nama kehormatan, femisida terkait mahar, femisida terkait ras, femisida terkait tuduhan sihir, femisida terkait pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan/P2GP, femisida terhadap bayi perempuan),(3) femisida dalam konteks konflik sosial bersenjata dan perang, (4) femisida dalam konteks industri seks komersial, (5) femisida terhadap perempuan dengan disabilitas, (6) femisida terhadap orientasi seksual dan identitas gender, (7) femisida di penjara, (8) femisida non intim, dan (9) femisida terhadap perempuan pembela HAM.
Pendalaman pengetahuan femisida tahun 2022 dilakukan oleh Komnas Perempuan melalui pemantauan media daring rentang Juni 2021 - Juni 2022 dan penelitian atas putusan pengadilan yang difokuskan pada femisida pasangan intim sebagai eskalasi KDRT yang berujung pembunuhan. Hasil pemantauan media daring mencatat 84 kasus femisida pasangan intim baik yang dilakukan oleh suami maupun mantan suami korban. Sedangkan penelitian atas putusan pengadilan yang didasarkan tiga kata kunci (korban adalah istri, pembunuhan terhadap istri, dan penganiayaan terhadap istri) menemukan 15 kasus pembunuhan terhadap istri sejak 2015. Hasil pemantauan media maupun analisis putusan pengadilan menunjukkan adanya lapisan dan bentuk penganiayaan seperti dicekik, ditindih, dipukul, dibekap, ditendang, dibacok, dimutilasi, dibanting, dibakar hingga pembuangan mayat. Sedangkan menyangkut motif pembunuhan, varian terbanyak adalah pertengkaran dan cemburu. Motif ini berakar dari gagasan kepemilikan laki-laki terhadap perempuan, di mana perempuan dipandang sebagai properti dan di bawah kendali laki-laki.
Kasus femisida pasangan intim terjadi di ranah rumah tangga/personal yang dilakukan dalam relasi keluarga, perkawinan maupun pacaran. Temuan Komnas Perempuan mencatat, pembunuhan oleh mantan pacar ataupun mantan suami menggambarkan fenomena post separation abuse atau penganiayaan pasca perpisahan, dengan berbagai konteks motif yang melatarbelakangi. Hal ini meneguhkan temuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) bahwa rumah tangga dan relasi intim merupakan tempat yang tidak aman bagi perempuan. Kerentanan perempuan terhadap kasus femisida bertambah ketika ada perbedaan jauh usia korban dengan pelaku.
Menyambut 16 HAKTP, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa hak hidup merupakan hak asasi paling dasar yang dijamin Konstitusi RI dan instrumen HAM internasional. Tanpa hak hidup, hak-hak asasi lainnya tak dapat berjalan. Dalam konteks pemenuhan hak asasi manusia, isu femisida dapat digunakan untuk mengukur dan mendesak kewajiban negara terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pengabaian dalam merespons femisida menunjukkan kelalaian atau pembiaran negara dalam upaya penghapusan kekerasan yang paling ekstrim, berlapis dan sadis yang dapat dikategorikan sebagai tindak penyiksaan. Dalam konteks ini, pengabaian isu femisida dapat menjadi kejahatan negara karena ketidakmampuan untuk mencegah, melindungi dan menjamin hak perempuan atas hidup dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. Oleh karena itulah, pengetahuan mengenai femisida mendesak menjadi kepedulian bersama, memastikan upaya-upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan korban terintegrasi dalam sistem hukum dan kebijakan sosial.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan:
- Semua pihak memberikan perhatian pada kasus-kasus femisida agar faktor-faktor penyebab, hambatan-hambatan keadilan dan kebenaran bagi korban serta pemulihan bagi keluarganya dapat dikenali;
- Kepolisian dan Badan Pusat Statistik Indonesia melakukan pemilahan data tindak pidana yang menyebabkan kematian berdasar jenis kelamin, hubungan korban-pelaku, serta motif agar dapat digunakan sebagai dasar pengembangan kebijakan untuk pencegahan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak korban atas keadilan.
- Mahkamah Agung mengadopsi diksi femisida dalam putusan pengadilan dan pendokumentasian putusan pengadilan
- Mendorong kalangan akademisi untuk mengintegrasikan femisida dalam materi pendidikan hukum dan mengambangkan penelitian-penelitian tentang femisida di ranah domestik, publik, budaya maupun negara dalam konteks pengalaman Indonesia.
- Pengada Layanan untuk memberikan perhatian pada pendokumentasian femisida pada kasus-kasus kekerasan yang ditanganinya atau menjadi perhatian publik di wilayah kerjanya.
Narasumber:
1. Siti Aminah Tardi
2. Rainy M Hutabarat
3. Andy Yentriyani
Narahubung: 0813-8937-1400