Siaran Pers Komisi Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Tentang Hari Tanpa
Kekerasan Internasional, 2 Oktober
Pemenuhan Hak Asasi
Perempuan Tanpa Kekerasan
Jakarta, 3 Oktober 2021
Berbagai
kekerasan berbasis gender terhadap perempuan masih terjadi di seluruh belahan
dunia, tak terkecuali Indonesia. Kekerasan ini juga bertumpuk dengan berbagai
kekerasan lainnya yang disebabkan oleh posisi marginal di mana perempuan
berada. Upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, karenanya, membutuhkan penanganan
yang secara komprehensif mengentaskan diskriminasi atas dasar apa pun, dan
memastikan pemenuhan hak-hak korban dan jaminan tidak berulang diselenggarakan
dengan sungguh-sungguh melalui koordinasi lintas sektor. Upaya pendidikan
publik untuk membangun kesadaran dan mendorong keterlibatan semua adalah kunci
dari keberhasilan mengembangkan budaya tanpa kekerasan, termasuk kekerasan
berbasis gender.
Data
global yang dihimpun oleh UN Women (2021) menunjukkan bahwa sekurangnya 736
juta perempuan, atau satu dari setiap tiga perempuan, pernah menjadi korban
kekerasan. Mayoritas atau sekitar 87% adalah korban kekerasan dalam ranah
personal, termasuk kekerasan di dalam rumah tangga maupun oleh pasangannya.
Sekitar 6% adalah korban kekerasan seksual dari pelaku yang bukan pasangan atau
anggota keluarganya. Diperkirakan ada 137 perempuan yang dibunuh oleh anggota
keluarganya setiap hari. Hampir setengah dari korban perdagangan orang adalah
perempuan dewasa. Secara global, perempuan miskin dan dari kelompok marginal
lebih rentan pada kekerasan. Kurang dari 40% perempuan yang menjadi korban
kekerasan memiliki kasus, dapat dan mau melaporkan kasusnya.
Situasi
ini tak banyak berbeda di tanah air. Meskipun hak asasi perempuan telah dijamin
dalam konstitusi negara dan sejumlah peraturan dan perundangan lainnya, namun
tidak menghentikan beragam kekerasan yang dialami perempuan. Catatan Tahunan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU Komnas Perempuan)
merekam pengaduan langsung kasus kekerasan terhadap perempuan, yaitu
sebanyak 2.389 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yakni 1.419 kasus, atau
terjadi peningkatan pengaduan 970 kasus (40%) di tahun 2020. Ranah
kekerasan terbanyak yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan
adalah ranah personal (KDRT) sebanyak 1.404 kasus (65%), ranah publik/komunitas
706 kasus (3%) dan negara 24 kasus (1%). Telah tercatat juga meningkatnya
diskriminasi perempuan atas nama agama dan moralitas, dan kriminalisasi
terhadap Perempuan Pegiat Hak Asasi Manusia (PPHAM). Kondisi pandemi Covid-19
juga memberikan dampak yang tidak proporsional bagi perempuan sehingga menjadi
lebih rentan kekerasan. Survei Komnas Perempuan (2020) menunjukkan bahwa selama
pandemi perempuan mendapatkan beban berlipat akibat penambahan jam untuk
pekerjaan domestik – perempuan yang bekerja 3 jam lebih lama untuk pekerjaan
rumah tangga berjumlah tiga kali lipat daripada laki-laki, perempuan menjadi
lebih stres, menghadapi peningkatan ketegangan di dalam relasi rumah tangga,
serta sejumlahnya mengalami peningkatan intensitas kekerasan.
Sementara jumlah pelaporan terus bertambah, daya untuk penanganannya masih sangat terbatas. Upaya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan yang dilakukan negara masih setengah hati dan melambat kemajuannya. Hal ini terlihat pada masih banyaknya kebijakan dan regulasi yang diskriminatif serta adanya kekosongan hukum yang mampu melindungi hak-hak perempuan, seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang tidak kunjung disahkan.
Komnas
Perempuan berpendapat pemenuhan hak perempuan dengan prinsip tanpa kekerasan
juga perlu diimplementasikan melalui pendidikan, baik formal maupun pendidikan
publik. Hal ini seturut dengan Resolusi Majelis Umum PBB untuk menyebarkan
pesan anti kekerasan melalui pendidikan dan kesadaran publik melalui peringatan
Hari Tanpa Kekerasan Internasional. Setiap tahunnya, peringatan ini dilakukan
pada tanggal 2 Oktober, tanggal kelahiran Mahatma Gandhi yang memperkenalkan
prinsip-prinsip perlawanan tanpa kekerasan. Prinsip tanpa kekerasan bukan upaya
untuk menghindari atau mengabaikan konflik, melainkan menjadi salah satu cara
dalam bertindak. Namun, perjuangan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya
hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya, adalah langkah memaknai kembali
budaya damai, toleransi, anti kekerasan dan non diskriminasi sebagai hutang
peradaban dunia terhadap gerakan perdamaian yang masih menjadi harapan
sepanjang zaman. Gerakan Sosial anti kekerasan sering dilakukan melalui
pendekatan kebudayaan dan aksi kemanusiaan sebagai ruang dalam mencairkan
ketegangan berbagai konflik sehingga perubahan sosial hadir menjadi lebih baik
tanpa cara-cara kekerasan.
Kehadiran
Komnas Perempuan pun tidak lepas dari wujud gerakan sosial untuk menghadirkan
negara dalam mengatasi peristiwa sejarah kekerasan terhadap perempuan yang amat
memilukan di tahun 1998. Disadari bahwa pengungkapan fakta sejarah kelam
kekerasan seksual penting dilakukan agar akses keadilan dan pemulihan korban
dapat terpenuhi. Perempuan sebagai aktor penggerak perdamaian juga menjadi
subjek yang penting dalam mendorong gerakan sosial di masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan. Kerap
aktivisme perempuan untuk perdamaian direkatkan juga dengan karakter ibu bumi
yang diidealkan selalu mencintai dan mengayomi anak-anaknya penuh kasih sayang.
Pada dasarnya, kekerasan di mana pun tidak akan menyelamatkan peradaban dengan
lebih baik. Karenanya, upaya merawat tindakan-tindakan tanpa kekerasan sejatinya
adalah menyemai benih-benih pohon kehidupan lebih unggul dalam tantangan zaman
karena memiliki akar spirit kasih dan kelembutan namun tetap kuat menapak ke
bumi.
Memahami
konteks kekerasan terhadap perempuan yang semakin kompleks dan juga berkait
pula dengan dampak pandemi Covid-19, serta dalam rangka Hari Tanpa Kekerasan
Internasional 2021, Komnas Perempuan merekomendasikan:
- Presiden RI dan DPR RI
menyegerakan perbaikan terhadap kebijakan diskriminatif di tingkat
nasional dan daerah, serta segera mengesahkan RUU terkait Penghapusan
Kekerasan Seksual dan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga;
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan
dan Ristek RI mengintegrasikan hak asasi manusia berbasis gender,
toleransi, keberagaman, non diskriminasi, anti kekerasan dan perdamaian
dalam kurikulum pendidikan nasional dan mengeluarkan peraturan untuk
mengembangkan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis
gender di lingkungan sekolah dan institusi pendidikan lainnya;
- Kementerian Komunikasi dan
Informasi menguatkan koordinasi dan dukungan bersama berbagai media mainstream dan media sosial
terhadap publikasi yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, keberagaman,
non diskriminasi, anti kekerasan dan perdamaian;
- Setiap Kementerian/Lembaga, BUMN,
perusahaan mengintegrasikan perspektif toleransi, keberagaman, non
diskriminasi, anti kekerasan dan perdamaian dalam setiap program dan
kebijakan;
- Organisasi keagamaan dan
organisasi kemasyarakatan lainnya meningkatkan peran serta dalam membangun
kesadaran untuk mewujudkan kehidupan yang anti kekerasan, non
diskriminasi, toleransi, keberagaman, dan perdamaian sebagai nilai-nilai
menghargai Hak Asasi Manusia.
Narasumber
Dewi
Kanti
Olivia
Ch. Salampessy
Tiasri
Wiandani
Rainy
M. Hutabarat
Andy
Yentriyani
Narahubung
Chrismanto
Purba (chris@komnasperempuan.go.id)