...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Keputusan Pemerintah Indonesia Melakukan Transfer of Prisoner pada Perempuan Terpidana Mati MJV ke Filipina

Jakarta, 18 Desember 2024

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut baik putusan Pemerintah Indonesia yang melakukan transfer of prisoner (ToP) bagi Perempuan Terpidana Mati Mary Jane Veloso (MJV) pada hari Rabu Tanggal 18 Desember 2024 dini hari. Komnas Perempuan berpendapat bahwa pemindahan ini merupakan langkah yang sesuai dengan amanat hukum nasional, terutama dalam mengatasi persoalan diskriminasi berbasis gender terkait kondisi perempuan berkonflik dengan hukum.  Juga, sebagai langkah penguat komitmen pemenuhan hak konstitusional atas hidup melalui upaya penghapusan hukuman mati.

 

Selama hampir satu dekade sejak kasus ini dilaporkan, Komnas Perempuan bersama jaringan masyarakat sipil di Indonesia dan Filipina terus mengupayakan agar MJV dapat memperoleh akses keadilan yang menjadi haknya sebagai korban perdagangan orang dan perempuan berkonflik hukum,” ujar Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan. 

 

Upaya ini termasuk untuk permohonan grasi dan penundaan eksekusi pidana mati, akses untuk memberikan keterangan pada kasus perdagangan orang yang menimpanya, serta pemindahan lokasi tahanan kembali ke negaranya. 

 

“Pemindahan ini berkesesuaian dengan Bangkok Rules, sebuah norma internasional mengenai aturan perlakuan terhadap tahanan perempuan, yang mendorong agar penempatan lokasi perempuan tahanan dekat dengan keluarga dengan memperhitungkan tanggung jawab pengasuhan dan/atau memperhitungkan  dukungan untuk rehabilitasinya,” ungkapnya. 

 

Dalam keterangan kepada publik mengenai kebijakan pemindahan tahanan atau transfer of prisoner (ToP) pemerintah Indonesia menegaskan bahwa pemindahan itu adalah mengembalikan seorang narapidana ke negara asalnya untuk menjalani sisa hukuman sesuai dengan putusan pengadilan. Hal ini berbeda dengan kebijakan exchange of prisoners atau pertukaran tahanan, terjadi barter narapidana antar negara. Pemindahan tahanan juga dilakukan dengan prinsip penghormatan pada kedaulatan hukum masing-masing negara. Dalam pemindahan MJV, pemerintah Filipina harus mengakui putusan pengadilan Indonesia yang menghukum mati MJV. Tanggung jawab hukum sudah diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Filipina, sehingga jika Pemerintah Filipina akan memberikan pengampunan untuk MJV dalam status hukumnya dapat dilakukan. 

 

Transfer narapidana dimungkinkan melalui Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, meski belum ada undang-undang yang spesifik mengatur perihal pemindahan tahanan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 45 ayat (2) UU 22/2022. Namun, pertimbangan kemanusiaan dan traktat ASEAN mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Perihal Pidana (2019) menjadi bagian dari pertimbangan pemerintah Indonesia untuk mengedepankan upaya pemindahan MJV.  

 

“Dalam kasus MJV, pidana yang dijatuhkan adalah hukuman mati sementara Filipina merupakan negara yang tidak menganut penjatuhan hukuman mati.  Hal ini memberikan harapan baik bagi MJV karena telah dipenjara selama 14 tahun di Indonesia, sehingga dipastikan akan melanjutkan hukumannya sesuai dengan ketentuan negara Filipina,” kata Komisioner Satyawanti Mashudi.

 

MJV ditangkap di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada 25 April 2010 setelah ditemukannya 2,6 kg heroin di dalam koper yang dibawanya dari Malaysia. MJV dijatuhi pidana mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman pada 22 Oktober 2010. Dari berbagai upaya hukum yang diajukan hingga Grasi dan PK, hukuman tersebut tidak berubah. 

 

“Setelah Komnas Perempuan melakukan pencarian fakta, diketahui bahwa MJV adalah korban dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan pada 29 April 2015 MJV mendapatkan penangguhan eksekusi mati di menit-menit terakhir,” sambung Komisioner Satyawanti Mashudi.

 

Terkait dengan kasus TPPO tersebut, pada tahun 2020, Mahkamah Agung (MA) Filipina sebenarnya telah mengizinkan MJV untuk memberikan kesaksian sebagai saksi korban. Namun, hingga proses pemindahan MJV, pengambilan kesaksian tersebut belum terjadi. Padahal, kesaksian ini sangat penting untuk menyingkap kebenaran bahwa MJV adalah korban tindak pidana perdagangan orang yang dimanfaatkan kerentanannya untuk dieksploitasi menyelundupkan narkotika. Keputusan MA Filipina ini juga diharapkan akan membuka jalan bagi MJV untuk mendapatkan keadilan mengingat Pasal 18 UU TPPO menyatakan secara tegas bahwa “korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”. 

 

Hal ini selaras dengan Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak (2015) yang menetapkan bahwa Negara-Negara Pihak (kesepuluh negara anggota ASEAN) harus mempertimbangkan untuk tidak meminta pertanggungjawaban korban secara pidana atau administratif atas tindakan yang melanggar hukum yang berkaitan langsung dengan tindak pidana perdagangan orang. 

 

Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan persilangan yang kuat antara tindak pidana perdagangan orang terhadap perempuan dan perdagangan narkotika. Persoalan kekerasan berbasis gender dan kemiskinan membuat perempuan rentan terjerat eksploitasi menjadi penyelundup narkotika. 

 

“Tindak pidana perdagangan orang dan penyelundupan narkotika juga memiliki karakter yang sama yaitu merupakan kejahatan terorganisir dan melintas-batas negara. Kasus MJV ini perlu menjadi pembelajaran bagi aparat penegak hukum di Indonesia untuk lebih berhati-hati atau bahkan menangguhkan penerapan hukuman mati dalam kasus narkotika karena berpotensi menyasar pada orang yang tidak bersalah, bahkan tren saat ini justru menyasar kelompok paling rentan yakni perempuan dan anak,” pungkas Komisioner Tiasri Wiandani.

 

Komnas Perempuan berharap, putusan progresif atas transfer of prisoner MJV dapat menjadi jalan baru bagi MJV atas pemenuhan keadilan, hak asasi manusia, dan pemulihan sebagai korban TPPO. Juga menjadi langkah baru bagi sistem hukum Indonesia yang lebih manusiawi dan berkeadilan serta adanya upaya pencegahan pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan berbasis gender terutama terhadap perempuan berkonflik dengan hukum yang rentan menjadi korban dan mengalami penghukuman yang kejam dalam bentuk hukuman mati dan penyiksaan dalam deret tunggu. Moratorium hukuman mati diharapkan juga dapat terus diteguhkan dengan praktik perubahan hukuman pidana mati menjadi perubahan pidana seumur hidup atau perubahan pidana penjara waktu tertentu.

 

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: