Siaran
Pers Komnas Perempuan
Tentang Peringatan 23 Tahun Tragedi Mei 98
Menyalakan Ingatan Tragedi Mei 98 untuk Pemenuhan Hak
Korban
Jakarta,
13 Mei 2021
Upaya merawat ingatan tentang Tragedi Mei 98 yang digagas oleh masyarakat sipil perlu mendapatkan dukungan yang lebih konkrit dari negara guna memajukan pemenuhan hak korban dan memastikan peristiwa serupa tidak berulang. Selama 23 tahun, tak pernah alpa dan dengan daya kreativitas berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk kelompok perempuan, anak muda dan praktisi seni budaya menghadirkan cara dan media baru untuk mengajak lebih banyak lagi pihak mengenali dan terlibat dalam upaya ini. Sementara itu, dukungan negara masih terbatas dan hambatan kronik untuk penuntasan pelanggaran HAM masa lalu terus bergeming.
Berkaitan dengan itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresi inisiatif Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong (BHT) atau dikenal dengan Perkumpulan Rasa Dharma, Semarang. Pada peringatan Tragedi Mei 1998 tahun 2021 ini, BHT meletakkan sinci Ita Martadinata Haryono di altar yang dikhususkan bagi para leluhur yang dihormati. Ita Martadinata Haryono adalah seorang relawan kemanusiaan yang pada saat itu masih duduk dibangku SMU. Ita diduga menjadi korban pembunuhan dan perkosaan akibat aktivitasnya dalam membantu para korban Mei 98 pada masa itu. Peletakan sinci Ita Martadinata Haryono karenanya merupakan bentuk memorialisasi dan momentum menolak lupa atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia secara khusus perempuan korban kekerasan dalam Tragedi Mei 98, sekaligus penghormatan pada perempuan pembela HAM.
Komnas Perempuan mengenali bahwa Tragedi Mei 1998 adalah wujud nyata keterkaitan antara rasisme dan diskriminasi berbasis gender. Di tengah kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya yang diarahkan kepada komunitas Tionghoa, tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual terjadi. Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 1998 mengonfirmasi bahwa sekurangnya terjadi 85 tindak kekerasan seksual yang diarahkan kepada perempuan Tionghoa, 52 di antaranya adalah perkosaan. Sejarah juga mencatat bahwa kerusuhan berbasis ras yang diarahkan ke komunitas Tionghoa di Indonesia telah berulang kali terjadi tanpa proses hukum yang jelas serta komitmen politik untuk mencegahnya berulang. Akibatnya, ketakutan pada peristiwa Mei 98 menyebabkan gelombang eksodus dan sikap membungkam dengan tidak ada satu pun perempuan korban yang tampil di hadapan publik. Kondisi ini justru dijadikan asupan menguatkan prasangka berbasis ras yang juga dikaitkan dengan nasionalisme serta asupan bagi budaya penyangkalan pada kekerasan seksual terhadap perempuan.
Menyikapi persoalan ini, Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang menjadi tonggak berakhirnya diskriminasi terhadap Tionghoa di Indonesia dan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi berbasis Ras yang diperkuat dengan UU No. 40 tahun 2008 untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi berbasis ras dan etnis adalah bagian dari langkah koreksi yang diambil negara. . Demikian juga dengan mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai lembaga nasional hak asasi manusia dengan mandat khusus pada pewujudan kondisi yang kondusif untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan juga pemajuan hak-hak perempuan, dan UU dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Semua ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan mandat konstitusional, khususnya dalam menjamin penikmatan pada hak atas rasa aman dan bebas dari diskriminasi, atas dasar apa pun.
Namun, upaya untuk menuntaskan kasus Tragedi Mei 1998 maupun berbagai pelanggaran HAM berat lainnya masih dirasakan berjalan di tempat. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memiliki celah hukum yang gampang digunakan untuk mengukuhkan impunitas, terutama di masa komitmen politik yang lemah. Belum lagi proses legislasi pasca pembatalan Mahkamah Konstitusi pada UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berjalan pelan dan bahkan ditengarai lebih cenderung digunakan untuk memeti-eskan kasus. Sebagaimana diungkap dalam pemantauan Komnas Perempuan pada 2008, seputuh tahun setelah Tragedi Mei 98, semua ini menyebabkan komunitas korban Tragedi Mei 1998, terutama perempuan korban kekerasan seksual, memilih untuk terus membungkam.
Dalam situasi inilah, merawat ingatan publik pada Tragedi Mei 1998 menjadi penting. Agenda ini, terutama melalui integrasi dalam pendidikan nasional, telah disampaikan oleh Komnas Perempuan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di akhir 2019 dan Presiden Joko Widodo di tahun 2011, dimana keduanya menyatakan dukungan. Hanya saja, langkah lebih konkrit masih dinanti. Sementara itu, pada tahun 2014-2015, dengan dukungan dari pemerintah DKI Jakarta telah didirikan Prasasti Mei 1998 di TPU Pondok Rangon, lokasi makam masal dari sekurangnya 113 korban kerusuhan Mei 1998 yang tidak dapat diidentifikasi. Pemerintah DKI Jakarta juga memastikan pembebasan biaya makam bagi keluarga korban dan mendukung upaya mengintegrasikan upaya merawat ingatan publik ini melalui pendidikan. Namun, program lanjutan belum ada dan dukungan untuk memorialisasi juga belum diikuti oleh pemerintah daerah di lokasi lain Tragedi Mei 1998 terjadi.
Karenanya, dalam peringatan 23 Tahun Tragedi Mei 98 di tahun 2021 ini Komnas Perempuan mengambil tema “Menyalakan Ingatan Tragedi Mei 98 untuk Pemenuhan Hak Korban”. Tema ini digulirkan untuk mengajak publik merawat ingatan kolektif atas tragedi kemanusiaan dalam Tragedi Mei 98 dan berinteraksi dalam merefleksikan perjalanan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terutama kekerasan seksual dan berbasis rasialisme, sebagai bentuk dukungan terhadap keberlanjutan pemulihan korban dan upaya untuk mencegah tragedi yang sama berulang. Sementara negara tetap memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemenuhan hak korban melalui mekanisme peradilan, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa komitmen untuk memastikan peristiwa serupa tidak berulang perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh tanpa menunggu proses peradilan itu sendiri.
Melalui tema ini, peringatan Tragedi Mei 1998 juga diharapkan dapat berkontribusi dalam menjaga kebhinekaan Indonesia dan nilai-nilai Pancasila yang telah menjadi perekat bangsa. Serta, dalam melawan seluruh bentuk politisasi agama dan identitas yang digunakan untuk memecah belah bangsa, dengan berkaca pada buruknya kehancuran akibat Tragedi Mei 98.
Mari nyalakan dan menjaga ingatan kolektif Tragedi Mei
98 agar pemenuhan hak-hak korban dapat terwujud!
Narasumber:
1. Veryanto Sitohang
2. Satyawanti Mashudi
3. Andy Yentriyani
4. Mariana Amiruddin
Narahubung:
Chris (chris@komnasperempuan.go.id)