Siaran
Pers Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Memperingati Hari Agraria, 24
September 2021
Percepat Pembaruan
Agraria Berkeadilan Gender
Jakarta, 24 September 2021
Komnas Perempuan dalam rangka memperingati Hari Agraria 2021 mengingatkan
bahwa perempuan masih terhambat penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan,
dan pemeliharaan terhadap sumber daya agraria/sumber daya alam. Padahal UU
Pokok Agraria serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah menjamin prinsip keadilan termasuk
kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Pembaharuan agraria yang
dicanangkan belum mampu memenuhi dan melindungi hak perempuan atas tanah dan
sumber daya alam.
Sertifikat hak atas tanah saat ini menjadi sangat penting sebagai
legitimasi kepemilikan seseorang atau badan usaha terhadap sebidang tanah yang
diakui atau disebutkan di dalamnya. Namun, berdasarkan data Badan Pertanahan
Nasional (BPN) tercatat dari 44 juta bidang lahan, hanya 15,88 persen terdaftar
atas nama perempuan (2014). Minimnya kepemilikan tanah atas nama perempuan
tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki
sebagai pencari nafkah utama, dan perempuan tergantung terhadapnya. Perempuan
tidak mendaftarkan kepemilikan asetnya diantaranya disebabkan oleh: (i)
keterbatasan informasi mekanisme pendaftaran tanah, (ii) pembagian waris yang
belum selesai dan mengutamakan anak laki-laki, (iii) peran suami sebagai kepala
keluarga dan pencari nafkah sehingga pendaftaran aset dilakukan atas nama
suami. Ketika perempuan tidak memiliki akses dan kepemilikan atas tanah yang setara
dengan laki-laki, perempuan terjebak dalam kemiskinan, dan tidak memiliki akses
pada program dukungan usaha produktif, khususnya dalam industri pertanian.
Perempuan pun menjadi lebih rentan mengalami pemiskinan karena kehilangan hak
kepemilikannya ketika terjadi perceraian maupun sengketa hak waris.
Subordinasi peran-peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya
alam/agraria juga terjadi dalam pembakuan pekerjaan-pekerjaan berdasarkan jenis
kelamin. Pekerjaan sebagai “petani” atau “nelayan” merujuk pada jenis kelamin
laki-laki. Padahal dalam pengelolaan pertanian, perempuan terlibat dalam
keseluruhan siklus pertanian, maupun pengolahan dan pemasaran hasil laut.
Dampaknya kembali perempuan tidak mendapatkan akses, manfaat, kontrol dan
partisipasi yang setara terhadap pengelolaan sumber daya alam/agraria. Termasuk
ketika terjadi pengambilalihan sumber daya alam dan tata ruang yang menimbulkan
konflik agraria.
Komnas Perempuan, sepanjang 2020-2021 yang merupakan masa pandemi Covid-19
telah menerima pengaduan terkait konflik sumber daya alam dan tata ruang
sebanyak 10 (sepuluh) kasus, meliputi kasus tambang (2), hutan adat (1),
penggusuran (5), kebisingan (1) dan hak atas air (1). Penerimaan kasus tersebut
menambah 49 kasus yang diadukan selama 2003-2019 yang belum sepenuhnya dapat
terselesaikan. Komnas Perempuan menemukan bahwa perampasan tanah berdampak
buruk dan berantai terhadap perempuan yakni hilangnya sumber ekonomi, pangan,
air bersih yang merentankan perempuan dan anak-anak terhadap kekerasan berbasis
gender seperti kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang, maupun
kekerasan seksual. Perampasan tanah juga melenyapkan ilmu pengetahuan dan
peran-peran khas perempuan terkait kearifan lokal dan spiritualitas seperti
pemuliaan benih, obat-obatan herbal serta ritual pertanian. Konflik sumber daya
alam/agraria dan tata ruang ini merentankan perempuan untuk dikriminalisasi,
mengalami pemiskinan dan kehilangan rasa aman terlebih ketika konflik
menyebabkan segregasi sosial akibat pro kontra dalam masyarakat.
Komnas Perempuan mencatat, tingginya konflik sumber daya alam/agraria dan
tata ruang terutama disebabkan politik
dan prioritas pembangunan infrastruktur yang masif, terjadinya impunitas,
supremasi korporasi, pengabaian hak masyarakat adat, ketidaktaatan hukum dan
diskoneksi kebijakan pusat dengan daerah. Juga, tidak dipatuhinya uji tuntas
pemberian izin terkait pembangunan, seperti memenuhi hak informasi dan
partisipasi publik bagi masyarakat terdampak khususnya perempuan dalam
pemberian ijin lingkungan ataupun analisa dampak lingkungan. Hal ini ditunjang
dengan ketidakajekan perundang-undangan dan kebijakan pertanahan serta tata
ruang. Hukum sebagai dasar penyelenggaraan agraria nasional menjadi sumber
konflik akibat pengaturan yang tidak saling selaras atau tumpang tindih serta
keluar dari tujuan awal UU Agraria untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat
Indonesia, khususnya petani. UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan
Omnibus Law yang memberi kemudahan luas bagi investasi, semakin menjauhkan
warga negara khususnya perempuan dari keadilan agraria. Juga hukum yang
mendefinisikan hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat
adat (Pasal 1 huruf f UU No. 41/1999 tentang Kehutanan) tidak selaras dengan
hak-hak masyarakat adat (Putusan MK No. 35/PUU-X/2012).
Namun, dalam penyelesaian konflik maupun program reforma agraria,
kepentingan perempuan tidak menjadi perhatian serius. Begitu pula dengan
kepentingan masyarakat adat. Pembentukan GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria)
sebagai penyelenggara pelaksanaan Reforma Agraria yang dibentuk dari pusat
sampai ke daerah, belum sepenuhnya menjadikan kepentingan strategis perempuan
dalam program-program legalisasi asset, redistribusi tanah dan penyelesaian
sengketa dan konflik agraria. Dalam peringatan Hari Agraria 2021, Komnas
Perempuan merekomendasikan:
1. Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional
a. Mendiseminasikan informasi
pendaftaran tanah dan hak perempuan yang
setara dengan laki-laki dalam kepemilikan aset, termasuk harta bersama;
b. Membangun strategi
pengintegrasian prinsip dan pendekatan yang berkeadilan gender dalam reformasi
agraria;
c. Memastikan dalam
keanggotaan GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria) terdapat perwakilan perempuan dan masyarakat adat agar legalisasi
asset, redistribusi tanah dan penyelesaian sengketa dan konflik agraria tidak
meninggalkan perempuan dan kelompok rentan lainnya;
d. Mengimplementasikan Rencana
Aksi Nasional Pelindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial yang menjamin
kehadiran negara dalam memberikan upaya perlindungan dan pemberdayaan perempuan
dalam konflik sosial;
e. Mengimplementasikan
Rekomendasi Umum No. 34 tahun 2016 Komite CEDAW tentang Perempuan Pedesaan yang
mewajibkan negara wajib mempertimbangkan kerentanan diskriminasi yang dialami
perempuan pedesaan terkait dengan lahan dan sumber daya alam.
2. Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
a. Memastikan partisipasi
publik yang bermakna (meaningfull
consultation) dengan membentuk forum konsultasi khusus untuk perempuan
dilakukan dalam proses pemberian ijin lingkungan;
b. Membangun strategi
pengintegrasian prinsip dan pendekatan yang berkeadilan gender di sektor
kehutanan agar tetap lestari dan menguatkan pengetahuan perempuan;
c. Mengimplementasikan
Rekomendasi Umum No. 34 tahun 2016 Komite CEDAW tentang Perempuan Pedesaan yang
mewajibkan negara wajib mempertimbangkan kerentanan diskriminasi yang dialami
perempuan pedesaan terkait dengan lahan dan sumber daya alam;
d. Menetapkan adanya
keterwakilan perempuan dalam Komisi Amdal yang dibentuk.
3. Aparat Penegak Hukum
a. Menilai secara komprehensif
kasus-kasus konflik sumber daya alam/agraria dan tata ruang dengan
mengedepankan pendekatan yang humanis;
b. Menghentikan kriminalisasi
terhadap pegiat agraria dan lingkungan hidup, termasuk Perempuan Pembela HAM
yang mempertahankan tanah dan haknya atas sumberdaya alam;
c. Menggunakan cara-cara non
kekerasan dalam penanganan konflik dan menjamin perlidungan perempuan dan anak
dalam konflik agraria.
4. Organisasi Tani/Nelayan/Organisasi
Masyarakat Sipil
a. Mendorong pengakuan
perempuan sebagai pekerja di sektor pertanian, perikanan dan kelautan oleh
komunitas maupun negara;
b. Mendorong penyelesaian
konflik agraria dan tata ruang dengan melibatkan keterwakilan perempuan dan
masyarakat adat sebagai bagian dari perwakilan masyarakat sipil:
c. Memperkuat perempuan dengan
hak asasi perempuan khususnya hak atas tanah, hak kepemilikan (properti), dan
akses terhadap keadilan.
Narasumber
Rainy Hutabarat
Siti Aminah Tardi
Olivia Ch. Salampessy
Narahubung
Chrismanto
Purba (chris@komnasperempuan.go.id)