Siaran Pers Komnas Perempuan
Tentang Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional 9 Agustus 2022
Perlindungan Perempuan Masyarakat Adat
Mendesak Menjadi Agenda Legislasi Nasional
11 Agustus 2022
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerukan untuk menjadikan peringatan hari masyarakat adat 2022 sebagai momentum bangsa Indonesia untuk segera mewujudkan agenda perlindungan terhadap perempuan adat, melalui RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Komnas Perempuan mengapresiasi keteguhan perempuan masyarakat adat dalam berjuang di garda terdepan merawat bumi dan menjaga kehidupan nusantara yang bhinneka. Komnas Perempuan mencatat, bahwa tanah, sawah/ladang, kerajinan tangan lokal bahkan ritual adalah bagian dari identitas perempuan adat. Penyemaian bibit, pengolahan dan perawatan sawah/ladang hingga panen dan pengolahan konsumsi pasca panen menjadi bagian dari siklus hidup perempuan. Oleh karena itulah, siklus kehidupan perempuan adat kuat melekat berelasi dengan perawatan alam, termasuk menjalankan spiritualitas dan budaya yang bertumpu pada tanah.
Sepanjang tahun 2020 hingga paruhan kedua 2022, Komnas Perempuan telah menerima 13 laporan pengaduan tentang kondisi perempuan adat dalam pusaran konflik sumber daya alam (SDA) di berbagai wilayah nusantara. Di dalam laporan-laporan tersebut maupun hasil pantauan di lapangan, Komnas Perempuan mengenali kerentanan perempuan adat pada kekerasan dan diskriminasi berbasis gender, lenyapnya lingkungan yang aman dan sehat, menghadapi polusi udara dan rusaknya tanah, sumber-sumber pertanian dan perkebunan sehingga kesulitan air bersih, kehilangan sumber penghidupan, berkurang istirahat berkualitas, terpapar penyakit seperti ispa, kulit gatal-gatal, depresi, dan lainnya. Kondisi ini menguatkan temuan inkuiri nasional oleh KHAM dan Komnas Perempuan (2016) berdasarkan pendalaman 40 kasus yang tersebar di tujuh wilayah di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Pola-pola kekerasan/pelanggaran hak asasi perempuan adat yang ditemukan dalam inkuiri tersebut terus berulang hingga saat ini, antara lain:
- Perampasan wilayah adat yang berkaitan erat dengan siklus kehidupan dan spritualitas perempuan adat. Perampasan ini antara lain ditemukan dalam bentuk ketiadaan pengakuan atas hutan adat akibat pengaburan tapal batas maupun perubahan fungsi hutan adat menjadi Taman Nasional, Cagar Alam, konsesi Hak Perambahan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Areal Penggunaan Lain (APL), atau wilayah pertambangan tanpa konsultasi (consent) terlebih dahulu dengan Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang hidupnya subsisten terhadap hutan.
- Perempuan adat mengalami beban berlapis ketika terjadi konflik SDA terjadi, termasuk beban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pangan keluarga ketika kehilangan sumber penghidupannya. Salah satu pola khas penghidupan perempuan adat adalah bertumpu pada ‘memungut’ hasil hutan yang tidak dapat lagi mereka lakukan ketika kehilangan hutan adat. Perempuan pun mengalami pelanggaran hak atas rasa aman akibat ancaman, pelecehan, stigma, pengusiran, penganiayaan, kriminalisasi, serta kehilangan hak atas informasi dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, kehilangan hak atas pekerjaan yang layak karena terpaksa beralih profesi menjadi buruh harian atau musiman dan menambang batu dan menjadi breadwinner atau pencari nafkah utama.
- Dampak berlapis penguasaan wilayah hutan oleh pihak pemegang hak konsesi untuk mengeksploitasi SDA juga dirasakan oleh MHA dalam aspek kesehatan masyarakat terkait kerusakan lingkungan dan pencemaran yang cukup serius. Ini terlebih pada kondisi kesehatan reproduksi perempuan saat melahirkan, asupan gizi yang kurang, potensi terpapar bahan kimia yang digunakan dalam pengelolaan tambang emas dan perkebunan sawit, juga musnahnya sumber kehidupan dan makanan dari hutan. Hilangnya mata pencaharian para orang tua masyarakat hukum adat telah mengakibatkan anak-anak kehilangan haknya atas pendidikan karena putus sekolah, berhenti sekolah untuk sementara, atau terpaksa bekerja di luar kampung untuk membantu orang tuanya.
- Selain itu, para perempuan pembela HAM (PPHAM) yang berjuang untuk masyarakat adat juga rentan mengalami kriminalisasi. Dalam rentang 2005-2022, Komnas Perempuan mencatat lebih dari 50 kasus yang melibatkan PPHAM yang menghadapi ancaman pidana hingga pembunuhan atas perjuangannya bersama masyarakat adat.
Komnas Perempuan mengingatkan, hak-hak perempuan sebagaimana diamanatkan Konstitusi Republik Indonesia dan instrumen-instrumen HAM internasional mencakup aspek hidup yang luas. Hak-hak dasar di antaranya air bersih dan sanitasi (UUD NRI 1945 Pasal 28A) dan lingkungan yang baik dan sehat (Pasal 28H Ayat (1)). Hak atas air merupakan bagian dari pemenuhan dan pelindungan hak atas hidup sebab air merupakan unsur penting dalam melindungi hidup seseorang; Hak berekspresi secara damai dan tanpa kekerasan serta atas informasi (UUD NRI 1945 Pasal 28E ayat (3) dan 28F; Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil Politik Pasal 19 ayat (2)). Hak berkumpul dan berorganisasi (UUD NRI 1945 Pasal 28E ayat (3); UU HAM No. 39/1999 Pasal 24 ayat (1)). Rekomendasi Umum CEDAW No. 34 memandatkan penghapusan diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan pada hak atas tanah dan SDA dan pada kebijakan pertanian maupun pertahanan. Juga ada hak atas identitas budaya, sebagaimana juga diamanatkan dalam Pasal 28I Ayat 3 UUD NRI 1945, maupun hak untuk turut serta dalam pemerintahan, yang dapat dimaknai termasuk hak politik berupa pelibatan perempuan dalam penyelesaian konflik SDA, konflik agraria dan konflik tata ruang. Hak ini juga bertautan dengan hak atas pekerjaan (DUHAM Pasal 23 ayat (1), Kovenan Ekosob Pasal 6 dan UUD NRI 1945 Pasal 28D ayat (2); Hak atas Kesejahteraan (UU HAM Pasal 36-42).
Oleh karenanya, dalam peringatan hari masyarakat adat internasional tahun 2022, Komnas Perempuan mendesak Pemerintah dan Legislatif untuk menyusun agenda perlindungan perempuan masyarakat adat melalui Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (UU MHA). Rekomendasi ini menimbang, antara lain:
- Bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat adalah mandat Konstitusi sehingga hadirnya UU khusus akan memastikan jaminan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Juga, sebagai momentum untuk penataan hubungan negara dan masyarakat adat dalam bingkai masa depan yang berpegang pada prinsip keadilan, termasuk di dalamnya keadilan gender, menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, perlakuan tanpa diskriminasi dan berpihak kepada lingkungan hidup guna memastikan jaminan keadilan antar generasi.
- UU MHA diharapkan dapat mengatasi problem sektoralisme di berbagai lembaga negara yang berhubungan dengan masyarakat adat, termasuk masalah perizinan dan konflik lahan adat;
- UU khusus masyarakat adat sesungguhnya sebagai bentuk regulasi afirmatif untuk memastikan masyarakat adat sebagai subjek hukum dapat diakui oleh negara secara mudah dan cepat, agar hak-hak lain terkait dapat dipenuhi oleh negara;
- UU MHA diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan bagi hak-hak perempuan adat secara utuh, baik sebagai individu maupun kolektif, yang menjadi kekhasan atau kekhususan yang melekat pada identitas perempuan adat. Pengaturan spesifik hak perempuan adat dalam UU MHA juga nantinya berfungsi untuk menegaskan pengakuan pada peran dan andil perempuan adat sebagai pemilik kekayaan pengetahuan tradisi dan spiritualisme yang dapat menjadi salah satu modalitas sosial, ekonomi dan budaya bangsa. Juga, menguatkan proses transformasi masyarakat patriarkis dalam memastikan penyelesaian adat untuk menghadirkan keadilan dan pemulihan perempuan korban kekerasan.
Lebih lanjut, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa pembahasan RUU MHA perlu melibatkan secara aktif masyarakat sipil khususnya mendengarkan dan menerima masukan perempuan masyarakat adat dan perempuan pembela hak asasi manusia yang berjuang di isu masyarakat adat.
Narasumber:
- Dewi Kanti
- Veryanto Sitohang
- Rainy M. Hutabarat
- Andy Yentriyani
Narahubung: +62 813-8937-1400