...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peringatan Hari Migran Sedunia 2024

Mewujudkan Pelindungan bagi Perempuan PMI  dalam Pengaturan Ketenagakerjaan  di Era Pemerintahan Baru

Jakarta, 18 Desember 2024

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpandangan bahwa pelindungan hak asasi manusia dalam tata kelola migrasi yang komprehensif bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI) terutama perempuan mendesak untuk diwujudkan segera. Memastikan pelindungan tersebut terwujud dalam kerangka pemenuhan hak mendapatkan pekerjaan dan kehidupan layak bagi pekerja, dalam hal ini PMI sebagaimana mandat konstitusi.

Hal ini sejalan dengan International Migrant Day 2024 yang mengusung tema Honouring the Contributions of Migrants and Respecting Their Rights” yang berupaya membantu mengingatkan tentang kontribusi positif yang diberikan migran kepada masyarakat dan negara yang menampung mereka. Tantangan yang mereka hadapi dalam mencapai potensi dan kemampuan penuh mereka, dan kebutuhan mendesak akan tindakan kolektif untuk memastikan migrasi yang seaman mungkin.

Selain itu, Komnas Perempuan juga berharap pembentukan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Kementerian P2MI) secara mandiri terpisah dengan Kementerian Ketenagakerjaan oleh pemerintahan baru dapat memperkuat implementasi UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), utamanya perempuan, sekaligus untuk peningkatan kualitas pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

“Jika dicermati, implementasi UU PPMI masih belum optimal dan mengalami banyak tantangan, khususnya bagi perempuan PMI sebagai kelompok pekerja dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi,” kata  Komisioner Tiasri Wiandani.

Lebih lanjut Komisioner Tiasri Wiandani menjelaskan bahwa Komnas Perempuan mengharapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan Klaster Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dengan memandatkan untuk membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru menjadi peluang besar untuk membuat ketentuan ketenagakerjaan baru mengenai pekerja migran Indonesia. Hal ini mengingat pengaturan ketenagakerjaan baru mengenai pekerja migran Indonesia harus menguatkan pelindungan, mencegah impunitas pelaku yang meningkatkan kerentanan perempuan PMI mengalami eksploitasi, kekerasan berbasis gender, perbudakan modern dan perdagangan orang.

“Mengingat  UU Cipta Kerja memuat pasal yang berpotensi melonggarkan pengawasan dan perizinan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atau P3MI yang sejauh ini menjadi salah satu aktor yang turut berkontribusi signifikan dalam sengkarut eksploitasi dan kekerasan terhadap pekerja migran,” sambung Komisioner Satyawanti Mashudi. 

Hingga saat ini, PMI masih mengalami berbagai bentuk eksploitasi, kekerasan, dan menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan ancaman hukuman mati di luar negeri. Hingga Juni 2024, berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, terdapat 165 orang  jumlah Warga Negara Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri. PMI juga saat ini kerap menjadi korban kerja paksa dan perekrutan ilegal serta berbagai eksploitasi dan kekerasan yang dihasilkan dari kerentanan termasuk akibat berstatus PMI non prosedural. 

Data CATAHU 2023 Komnas Perempuan bahkan menunjukkan kasus kekerasan terhadap perempuan PMI yang dihimpun oleh 7 organisasi masyarakat sipil di Indonesia terdokumentasi sebanyak 314 kasus, yang terdiri dari jenis kasus kekerasan ekonomi, kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual. CATAHU 2023 juga mencatatkan total jumlah pengaduan kasus Perempuan PMI sebanyak 391 pengaduan ke Focal Point for Labour (FPL), Komnas Perempuan, dan  217 dari lembaga lainnya. Kasus-kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan juga lebih banyak adalah perempuan yang berstatus PMI non prosedural di wilayah Timur Tengah. Dalam laporan pemantauan penampungan perempuan Calon Pekerja Migran Indonesia  (CPMI), juga masih ditemukan kekerasan berbasis gender (KBG) pada perempuan PMI serta kekerasan seksual misalnya pemaksaan kontrasepsi.

Kerentanan ini tampaknya memiliki keterkaitan dengan kebijakan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah yang telah mendorong lonjakan PMI non prosedural. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat sebanyak 110.640 orang PMI non prosedural  yang dideportasi sejak tahun 2020, dan sebanyak 2.597 orang dipulangkan dalam kondisi meninggal dunia. Akan tetapi wacana dibukanya moratorium tidak serta merta akan memberikan peluang bagi para PMI jika tidak disertai dengan mekanisme dan sistem pelindungan bagi PMI yang dapat diandalkan. 

Di samping itu, dalam dokumen Indikator Tata Kelola Migrasi Republik Indonesia 2024/Migration Governance Indicators (MGI), disebutkan bahwa masih terdapat beberapa aspek yang masih lemah dan membutuhkan perbaikan dalam tata kelola pekerja migran Indonesia, di antaranya terkait: Perlindungan hukum dan implementasinya, kurangnya dukungan konsuler dan pengawasan di luar negeri, sistem perekrutan yang tidak transparan, kurangnya pengawasan dan regulasi di sektor informal, minimnya perlindungan sosial dan kesejahteraan, koordinasi kebijakan nasional dan daerah, dan perlindungan khusus bagi pekerja migran perempuan yang rentan terhadap kekerasan berbasis gender (KBG).

“Tujuan peningkatan kesejahteraan bagi PMI akan sulit tercapai jika tata kelola migrasi yang ada belum dapat memenuhi indikator, serta tidak dibangun dengan berperspektif HAM, kesetaraan gender dan semangat menghapus kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan,” tutup Komisioner Satyawanti Mashudi.

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)


Pertanyaan / Komentar: