...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Saran dan Masukan Kepada Calon Pemimpin Bangsa 2024-2029 Menuju Indonesia Emas

Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) memandang penting Pemilu 2024 sebagai salah satu mekanisme mewujudkan demokrasi suatu negara dan melanjutkan kepemimpinan bangsa, baik di DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi/kota/kabupaten dan presiden serta wakil presiden. Secara khusus Presiden dan wakil presiden akan menjadi cerminan dari kehadiran negara, termasuk dalam menghormati (to respect), melindungi (to protect) mempromosikan (to promote) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak asasi setiap warganya, termasuk hak Perempuan. Mengingat Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi utama dan perjanjian internasional terkait HAM dan telah menjadikannya  sebagai hak konstitusional.

Komnas Perempuan berpandangan bahwa untuk mencapai visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yaitu “Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan” atau Indonesia Emas, masih terdapat sejumlah tantangan dan rekomendasi dalam upaya mewujudkan pemajuan, pelindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan. Untuk menjawab tantangan hak asasi perempuan, Komnas Perempuan telah menetapkan beberapa isu isu strategis 2025-2030 yang merupakan upaya pencapaian Indonesia Emas perlu mendapat kepedulian perhatian pemimpin bangsa utamanya capres/cawapres, yaitu:

 

1.     Kelembagaan Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM)

Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM) adalah Lembaga independen dengan tugas memantau, memberikan saran dan masukan terkait pemajuan, pelindungan dan pemenuhan HAM kepada eksekutif, legislatif, yudikatif dan organisasi masyarakat sipil. Komnas Perempuan dan tiga LNHAM lainnya (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI dan Komisi Nasional Disabilitas/KND) perlu diperkuat agar mampu menjalankan mandatnya secara optimal dalam melakukan check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

 

2.     Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konteks Konflik, Perubahan Iklim dan Bencana

Perempuan, anak, penyandang disabilitas, lansia dan masyarakat hukum adat merupakan kelompok yang paling terdampak buruk dalam konflik, perubahan iklim maupun bencana. Budaya patiarki meneguhkan kerentanan dan beban berlapis pada perempuan dalam konteks konflik, perubahan iklim dan bencana. Konflik dapat bersumber dari persoalan politik termasuk politik identitas, krisis ekonomi, konflik sumber daya alam dan tata ruang, dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Persoalan kekerasan berbasis gender juga dapat beririsan dengan konflik sosial akibat kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan. Para pemimpin terpilih perlu menghadirkan pengaturan kebijakan pembangunan yang lebih mumpuni untuk mencegah konflik. Juga, memberikan dukungan lebih kuat agar kelompok kerja (Pokja) antar kementerian/lembaga yang meninjau ulang berbagai peraturan daerah diskriminatif dapat membuat terobosan baru untuk membatalkan dan mencegah peraturan dan kebijakan daerah diskriminatif, termasuk melalui fungsi Mahkamah Agung. 

Pemanasan global dapat berakibat bencana lingkungan yang menyebabkan krisis ekonomi yang disertai kelangkaan sumber pangan dan air bersih, ancaman  penyakit, kehilangan tempat tinggal, pemiskinan dan menimbulkan gejolak sosial dan pengungsi internal. Pemerintah penting memastikan adanya kebijakan dan perundangan-undangan serta pelaksanaannya untuk menjamin pembangunan berkelanjutan termasuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Hukum Adat.

 

3.     Penyiksaan, Penghukuman, atau Perlakuan yang Kejam atau Tidak Manusiawi lainnya Berbasis Gender terhadap Perempuan

Hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Meski pemerintah Indonesia telah meratifikasi CAT, pengaduan-pengaduan  langsung ke lembaga-lembaga HAM yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari  Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK), Ombudsman RI (ORI) dan KND, kunjungan ke tempat-tempat tahanan dan serupa tahanan serta pemberitaan luas media massa menunjukkan bahwa praktik penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, termasuk yang berbasis gender terhadap perempuan, anak dan disabilitas seperti kekerasan seksual masih banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum, petugas lapas, danaktor-aktor negara lainnya. Para pemimpin bangsa perlu memastikan uji tuntas untuk pencegahan tindak penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman tidak manusiawi terhadap siapa pun sebagaimana diamanatkan Konvensi Menentang Penyiksaan, a.l. dengan meratifikasi protokol opsional Konvensi Menentang Penyiksaan, memperkuat kapasitas aparat penegak hukum dan mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.

 

4.     Kekerasan Seksual

Komnas Perempuan mencatat dalam rentang 22 tahun, diperkirakan  lebih dari 60 ribu kasus kekerasan seksual dilaporkan ke Komnas Perempuan dan pengada layanan, baik di ranah personal (24,480 kasus) dan di ranah publik (36,446 kasus). Kekerasan seksual yang dimaksud terutama perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual yang terjadi dalam kondisis sehari-hari. Belum lagi yang terjadi dalam situasi khusus, seperti Tragedi Mei 1998 dan beragam kondisi konflik di berbagai daerah. Tragedi Mei 1998 menjadi pemicu  lahirnya berbagai lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan  di lingkungan gerakan masyarakat melalui women crisis centre, fasilitas kesehatan  melalui Pusat Krisis Terpadu (PKT) maupun di lingkungan kepolisian yang kini menjadi  Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), serta Pusat Pelayanan Terpadu Untuk Perlindungan Perempuan Dan anak (P2TP2A). Komnas Perempuan juga ikut membidani lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK) sebagai salah satu upaya strategis penanganan kasus KBG. Keberanian perempuan korban untuk bersuara mendorong lahirnya UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Pemimpin bangsa utamanya presiden dan wakil presiden ke depan, berkewajiban untuk mengakui dan menyelesaikan dugaan kekerasan seksual dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk perkosaan masal Tragedi Mei 1998; memastikan peraturan pelaksana UU TPKS diterbitkan, serta menyediakan alokasi anggaran dan infrastruktur yang memadai untuk penanganan kasus KBG termasuk perempuan penyandang disabilitas di setiap jenjang pemerintahan. Juga, merevisi Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan agar korban tindak pidana (KDRT, TPKS, TPPO) dapat mengakses layanan kesehatan darurat dan layanan lanjutan untuk pemulihan atau menyediakan peraturan agar korban tindak pidana mendapatkan layanan kesehatan pertama dan lanjutan.

 

5.     Ruang Aman Perempuan dalam Keluarga dan Dunia Kerja

Selama 22 tahun CATAHU Komnas Perempuan, kekerasan di ranah personal selalu menempati urutan tertinggi, atau selalu lebih dari 70% dari total pengaduan kasus. Ini menunjukkan bahwa keluarga, perkawinan dan rumah tangga bukan merupakan ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan. Membangun “keluarga tanpa kekerasan” dengan mengedepankan relasi gender yang setara dan adil antara laki-laki dan perempuan dan kemajemukan model keluarga perlu dipastikan menjadi perhatian para pemimpin 2024. Untuk itu, pemimpin bangsa, utamanya presiden dan wakil presiden, perlu mengoreksi elemen diskriminatif berbasis gender dan disabilitas pada UU Perkawinan, memastikan penguatan kapasitas aparat penegak hukum dan lembaga layanan tentang UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mengembangkan program rehabilitasi dan membangun instrumen deteksi dini untuk mencegah KDRT berakhir dengan femisida.

Komnas Perempuan mencatat, pembagian peran gender juga telah mengakibatkan subordinasi atas kerja-kerja di sektor domestik dan keperawatan (caring work). Pekerjaan kerumah-tanggaan termasuk perempuan pekerja migran Indonesia dinilai tidak setara dengan pekerjaan lainnya. Hal ini menyebabkan pekerjaan di sektor rumah tangga, pekerjaan perawatan dan pengasuhan seperti caregiver untuk lansia, bayi, disabilitas atau orang sakit, menjadi kurang diakui, berupah rendah dan tanpa pelindungan dari negara. Di sisi lain, untuk menjembatani keluarga di mana kedua orang tua bekerja dan/atau dalam masa pemberian ASI, dibutuhkan ketersediaan day-care, pemenuhan hak maternitas perempuan pekerja dan ruang laktasi yang memadai serta aman dari kekerasan berbasis gender. Pemimpin bangsa utamanya presiden dan wakil presiden karenanya berkewajiban untuk mendorong pembahasan dan pengesahkan RUU Perlindungan PRT (PPRT) sebagai bentuk pelindungan dan pengakuan pada PRT, memperkuat implementasi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan mengsinkronisasikan Ratifikasi KILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dengan UU TPKS.

Dalam konteks hukum keluarga, masih ada perkawinan yang belum tercatat dan yang tidak dapat dicatatkan, pemaksaan perkawinan termasuk perkawinan anak dan menikahkan perempuan korban kekerasan seksual dengan pelaku; kejahatan terhadap  perkawinan seperti perzinahan, poligami serta dampak perceraian yang memiskinkan perempuan atau menjadi sumber konflik baru keluarga berupa perebutan hak asuh anak atau tidak dapat dilaksanakannya putusan pengadilan. Semua ini memberikan kerugian yang tidak proporsional bagi perempuan. Dibutuhkan intervensi negara untuk membangun hukum keluarga yang berkeadilan bagi perempuan, di antaranya mendorong pemenuhan hak perempuan yang melakukan pernikahan yang belum tercatat atau pernikahan adat, perkawinan campur, dan perkawinan beda agama, memfasilitasi pendampingan psikis, sosial dan ekonomi kepada perempuan korban perkawinan anak agar tetap dapat mengakses hak atas pendidikan lebih lanjut dan kehidupan keluarga yang adil dan sejahtera.

 

6.     Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konteks Perkembangan Digitalisasi dan TIK

Kemajuan teknologi digital dan internet berpotensi memperburuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kerentanan perempuan di ruang luring bermigrasi ke ruang digital berupa (1) Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG); (2) Layanan keuangan digital merentankan perempuan menjadi sasaran pinjaman online ilegal karena tekanan ekonomi sehari-hari; (3) Meskipun digitalisasi membuka peluang kerja baru, namun perempuan mengalami risiko pemutusan hubungan kerja karena adanya kecerdasan buatan atau kesenjangan dalam akses dan pemanfaatan teknologi. Pemimpin bangsa berkewajiban mengintegrasikan program penguatan literasi digital dan keamanan digital bagi perempuan dan memperkuat kapasitas berbagai pemangku kepentingan dalam pengembangan keamanan digital berperspektif keadilan gender. Selain itu, perlu ada pengembangan mekanisme penghapusan konten digital  dan n dukungan pemulihan kepada korban.

 

Pelaksanaan Pemilu 2024

          Sebagai catatan akhir, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa afirmasi kepemimpinan perempuan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 akan mempengaruhi daya para pemimpin terpilih dalam memastikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Sementara tidak ada perempuan dalam lapis calon presiden dan wakil presiden, kepemimpinan perempuan dalam parlemen perlu menjadi perhatian khusus. Hasil Pemilu anggota DPR RI sejak reformasi menunjukkan  bahwa jumlah anggota perempuan parlemen belum pernah mencapai kuota 30%. Pada Pemilu 2004 jumlah perempuan yang berhasil duduk di DPR RI adalah 65 orang (11,82%), yang kemudian meningkat 7% pada Pemilu 2009 (100 orang atau sekitar 17,86%). Jumlah ini menurun pada Pemilu 2014 menjadi 97 perempuan (17,32%) dan naik Kembali pada Pemilu 2019 dengan 120 perempuan (20,87%).

          Pada Pemilu 2024, keengganan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Agung (MA) dan Bawaslu tentang perhitungan ke atas bagi suara di bawah 0,50 menunjukkan pengerdilan dan tidak dipahaminya dasar tindakan afirmasi khusus kepemimpinan perempuan. Apalagi KPU juga meloloskan DCT Parpol yang tidak memenuhi 30 % keterwakilan perempuan. Minimnya keterwakilan perempuan juga terlihat pada pemilihan Penyelenggara Pemilu di pusat dan daerah juga pada pemilihan lembaga negara lainnya.

          Berdasarkan hal tersebut, Komnas Perempuan berpandangan bahwa KPU penting memastikan terpenuhinya kuota 30 % perempuan sebagai calon terpilih sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten / Kota. Juga kepada para pemimpin terpilih untuk mendukung kepemimpinan perempuan di Kementerian dan Lembaga-Lembaga Negara.

 

 

Narasumber:

1.     Alimatul Qibtiyah

2.     Siti Aminah Tardi

3.     Rainy M Hutabarat

4.     Olivia Chadidjah Salampessy

5.     Maria Ulfa Anshor

6.     Veryanto Sitohang

 

Narahubung: Elsa (+62 813-8937-1400)


Pertanyaan / Komentar: