Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas
Perempuan) memandang penting Pemilu 2024 sebagai salah satu mekanisme
mewujudkan demokrasi suatu negara dan melanjutkan kepemimpinan
bangsa, baik di DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi/kota/kabupaten dan presiden serta
wakil presiden. Secara khusus Presiden dan wakil presiden akan menjadi cerminan
dari kehadiran negara, termasuk dalam menghormati (to respect),
melindungi (to protect) mempromosikan (to promote) dan memenuhi (to
fulfill) hak-hak asasi setiap warganya, termasuk hak Perempuan. Mengingat Indonesia telah meratifikasi
konvensi-konvensi utama dan perjanjian internasional terkait HAM dan telah menjadikannya sebagai hak konstitusional.
Komnas Perempuan berpandangan bahwa untuk mencapai visi Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yaitu “Negara
Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan” atau Indonesia Emas, masih terdapat
sejumlah tantangan dan rekomendasi dalam upaya mewujudkan pemajuan, pelindungan
dan pemenuhan hak-hak perempuan. Untuk menjawab tantangan hak asasi perempuan,
Komnas Perempuan telah menetapkan beberapa isu isu strategis 2025-2030 yang
merupakan upaya pencapaian Indonesia Emas perlu mendapat kepedulian perhatian pemimpin
bangsa utamanya capres/cawapres, yaitu:
1. Kelembagaan
Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM)
Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM) adalah Lembaga independen dengan tugas memantau,
memberikan saran dan masukan terkait pemajuan, pelindungan dan pemenuhan HAM kepada eksekutif, legislatif,
yudikatif dan organisasi masyarakat sipil. Komnas Perempuan dan tiga LNHAM
lainnya (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia/KPAI dan Komisi Nasional Disabilitas/KND) perlu diperkuat agar mampu menjalankan
mandatnya secara optimal dalam melakukan check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
2. Kekerasan
terhadap Perempuan dalam Konteks Konflik, Perubahan Iklim dan Bencana
Perempuan, anak, penyandang disabilitas, lansia
dan masyarakat hukum adat merupakan kelompok yang paling terdampak buruk dalam konflik,
perubahan iklim maupun bencana. Budaya patiarki meneguhkan kerentanan dan beban
berlapis pada perempuan dalam konteks konflik, perubahan iklim dan bencana. Konflik
dapat bersumber dari persoalan politik termasuk politik identitas, krisis ekonomi,
konflik sumber daya alam dan tata ruang, dan kesenjangan sosial dalam
masyarakat. Persoalan kekerasan berbasis gender juga dapat beririsan dengan
konflik sosial akibat kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang
diskriminatif terhadap perempuan. Para pemimpin terpilih perlu menghadirkan
pengaturan kebijakan pembangunan yang lebih mumpuni untuk mencegah konflik.
Juga, memberikan dukungan lebih kuat agar kelompok kerja (Pokja) antar kementerian/lembaga
yang meninjau ulang berbagai peraturan daerah diskriminatif dapat membuat terobosan
baru untuk membatalkan dan mencegah peraturan dan kebijakan daerah
diskriminatif, termasuk melalui fungsi Mahkamah Agung.
Pemanasan
global dapat berakibat bencana lingkungan yang menyebabkan krisis ekonomi yang
disertai kelangkaan sumber pangan dan air bersih, ancaman penyakit, kehilangan tempat tinggal,
pemiskinan dan menimbulkan gejolak sosial dan pengungsi internal. Pemerintah penting memastikan adanya kebijakan
dan perundangan-undangan serta pelaksanaannya untuk menjamin pembangunan berkelanjutan
termasuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim dan RUU
Masyarakat Hukum Adat.
3. Penyiksaan,
Penghukuman, atau Perlakuan yang Kejam atau Tidak Manusiawi lainnya Berbasis Gender
terhadap Perempuan
Hak untuk
bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi
apa pun. Meski pemerintah Indonesia telah meratifikasi CAT, pengaduan-pengaduan
langsung ke lembaga-lembaga HAM yang tergabung dalam Kerjasama untuk
Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas
Perempuan, KPAI, Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK), Ombudsman RI
(ORI) dan KND, kunjungan ke tempat-tempat tahanan dan serupa tahanan serta
pemberitaan luas media massa menunjukkan bahwa praktik penyiksaan dan perlakuan
tidak manusiawi, termasuk yang berbasis gender terhadap perempuan, anak dan
disabilitas seperti kekerasan seksual masih banyak dilakukan oleh aparat
penegak hukum, petugas lapas, danaktor-aktor negara lainnya. Para pemimpin bangsa
perlu memastikan uji tuntas untuk pencegahan tindak penyiksaan dan
perlakuan atau penghukuman tidak manusiawi terhadap siapa pun sebagaimana
diamanatkan Konvensi Menentang Penyiksaan, a.l. dengan meratifikasi protokol
opsional Konvensi Menentang Penyiksaan, memperkuat kapasitas aparat penegak
hukum dan mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mencegah terjadinya
penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.
4. Kekerasan Seksual
Komnas Perempuan mencatat dalam rentang 22 tahun,
diperkirakan lebih dari 60 ribu kasus
kekerasan seksual dilaporkan ke Komnas Perempuan dan pengada layanan, baik di
ranah personal (24,480 kasus) dan di ranah publik (36,446 kasus). Kekerasan seksual
yang dimaksud terutama perkosaan, pelecehan seksual dan
eksploitasi seksual yang terjadi dalam kondisis sehari-hari. Belum lagi yang
terjadi dalam situasi khusus, seperti Tragedi Mei
1998 dan beragam kondisi konflik di berbagai daerah. Tragedi Mei 1998 menjadi
pemicu lahirnya berbagai lembaga layanan
bagi perempuan korban kekerasan di
lingkungan gerakan masyarakat melalui women crisis centre, fasilitas
kesehatan melalui Pusat Krisis Terpadu (PKT) maupun di lingkungan
kepolisian yang kini menjadi Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), serta Pusat Pelayanan Terpadu Untuk
Perlindungan Perempuan Dan anak (P2TP2A). Komnas Perempuan juga ikut membidani lahirnya
Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK) sebagai salah satu upaya
strategis penanganan kasus KBG. Keberanian perempuan korban untuk bersuara mendorong
lahirnya UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pemimpin bangsa
utamanya presiden dan wakil presiden ke depan, berkewajiban untuk mengakui dan menyelesaikan dugaan kekerasan
seksual dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk perkosaan masal
Tragedi Mei 1998; memastikan
peraturan pelaksana UU TPKS diterbitkan, serta menyediakan alokasi anggaran dan
infrastruktur yang memadai untuk penanganan kasus KBG termasuk perempuan
penyandang disabilitas di setiap jenjang pemerintahan. Juga, merevisi Perpres No.
82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan agar korban tindak pidana (KDRT, TPKS,
TPPO) dapat mengakses layanan kesehatan darurat dan layanan lanjutan untuk
pemulihan atau menyediakan peraturan agar korban tindak pidana mendapatkan
layanan kesehatan pertama dan lanjutan.
5. Ruang
Aman Perempuan dalam Keluarga dan Dunia Kerja
Selama 22
tahun CATAHU Komnas Perempuan, kekerasan di ranah personal selalu
menempati urutan tertinggi, atau selalu lebih dari 70% dari total pengaduan
kasus. Ini menunjukkan bahwa keluarga, perkawinan dan rumah tangga bukan merupakan
ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan. Membangun “keluarga tanpa kekerasan”
dengan mengedepankan relasi gender yang setara dan adil antara laki-laki dan perempuan
dan kemajemukan model keluarga perlu dipastikan menjadi perhatian para pemimpin
2024. Untuk itu, pemimpin bangsa, utamanya presiden dan wakil presiden, perlu mengoreksi elemen
diskriminatif berbasis gender dan disabilitas pada UU Perkawinan, memastikan penguatan
kapasitas aparat penegak hukum dan lembaga layanan tentang UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT), UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mengembangkan program
rehabilitasi dan membangun instrumen deteksi dini untuk mencegah KDRT berakhir
dengan femisida.
Komnas
Perempuan mencatat, pembagian peran gender juga telah mengakibatkan subordinasi
atas kerja-kerja di sektor domestik dan keperawatan (caring work).
Pekerjaan kerumah-tanggaan termasuk perempuan pekerja migran Indonesia dinilai tidak
setara dengan pekerjaan lainnya. Hal ini menyebabkan pekerjaan di sektor rumah tangga,
pekerjaan perawatan dan pengasuhan seperti caregiver untuk lansia, bayi,
disabilitas atau orang sakit, menjadi kurang diakui, berupah rendah dan tanpa pelindungan
dari negara. Di sisi lain, untuk
menjembatani keluarga di mana kedua orang tua bekerja dan/atau dalam masa
pemberian ASI, dibutuhkan ketersediaan day-care, pemenuhan hak
maternitas perempuan pekerja dan ruang laktasi yang memadai serta aman dari kekerasan
berbasis gender. Pemimpin bangsa utamanya presiden dan wakil presiden karenanya berkewajiban untuk mendorong
pembahasan dan pengesahkan RUU Perlindungan PRT (PPRT) sebagai bentuk pelindungan
dan pengakuan pada PRT, memperkuat implementasi UU Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia dan mengsinkronisasikan Ratifikasi
KILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dengan UU TPKS.
Dalam konteks
hukum keluarga, masih ada perkawinan yang belum tercatat dan yang tidak dapat
dicatatkan, pemaksaan perkawinan termasuk perkawinan anak dan menikahkan perempuan
korban kekerasan seksual dengan pelaku; kejahatan terhadap perkawinan seperti perzinahan, poligami serta
dampak perceraian yang memiskinkan perempuan atau menjadi sumber konflik baru keluarga
berupa perebutan hak asuh anak atau tidak dapat dilaksanakannya putusan pengadilan.
Semua ini memberikan kerugian yang tidak proporsional bagi perempuan. Dibutuhkan
intervensi negara untuk membangun hukum keluarga yang berkeadilan bagi perempuan,
di antaranya mendorong pemenuhan hak perempuan yang melakukan pernikahan yang
belum tercatat atau pernikahan adat, perkawinan campur, dan perkawinan beda
agama, memfasilitasi pendampingan
psikis, sosial dan ekonomi kepada perempuan korban perkawinan anak agar tetap
dapat mengakses hak atas pendidikan lebih lanjut dan kehidupan keluarga yang
adil dan sejahtera.
6. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konteks
Perkembangan Digitalisasi dan TIK
Kemajuan teknologi digital dan internet berpotensi
memperburuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kerentanan perempuan
di ruang luring bermigrasi ke ruang digital berupa (1) Kekerasan Siber Berbasis
Gender (KSBG); (2) Layanan keuangan digital merentankan perempuan menjadi
sasaran pinjaman online ilegal karena tekanan ekonomi sehari-hari; (3) Meskipun digitalisasi membuka peluang kerja baru,
namun perempuan mengalami risiko pemutusan hubungan kerja karena adanya kecerdasan
buatan atau kesenjangan dalam akses dan pemanfaatan teknologi. Pemimpin bangsa
berkewajiban mengintegrasikan program penguatan literasi
digital dan keamanan digital bagi perempuan dan memperkuat kapasitas berbagai
pemangku kepentingan dalam pengembangan keamanan digital berperspektif keadilan
gender. Selain itu, perlu ada pengembangan mekanisme penghapusan konten
digital dan n dukungan pemulihan kepada
korban.
Pelaksanaan
Pemilu 2024
Sebagai
catatan akhir, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa afirmasi kepemimpinan
perempuan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 akan mempengaruhi daya para pemimpin
terpilih dalam memastikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis
gender terhadap perempuan. Sementara tidak ada perempuan dalam lapis calon
presiden dan wakil presiden, kepemimpinan perempuan dalam parlemen perlu
menjadi perhatian khusus. Hasil Pemilu anggota DPR RI sejak reformasi
menunjukkan bahwa jumlah anggota
perempuan parlemen belum pernah mencapai kuota 30%. Pada Pemilu 2004 jumlah
perempuan yang berhasil duduk di DPR RI adalah 65 orang (11,82%), yang kemudian
meningkat 7% pada Pemilu 2009 (100 orang atau sekitar 17,86%). Jumlah ini menurun
pada Pemilu 2014 menjadi 97 perempuan (17,32%) dan naik Kembali pada Pemilu
2019 dengan 120 perempuan (20,87%).
Pada
Pemilu 2024, keengganan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan Putusan
Mahkamah Agung (MA) dan Bawaslu tentang perhitungan ke atas bagi suara di bawah
0,50 menunjukkan pengerdilan dan tidak dipahaminya dasar tindakan afirmasi
khusus kepemimpinan perempuan. Apalagi KPU juga meloloskan DCT Parpol yang
tidak memenuhi 30 % keterwakilan perempuan. Minimnya keterwakilan perempuan juga
terlihat pada pemilihan Penyelenggara Pemilu di pusat dan daerah juga pada
pemilihan lembaga negara lainnya.
Berdasarkan
hal tersebut, Komnas Perempuan berpandangan bahwa KPU penting memastikan
terpenuhinya kuota 30 % perempuan sebagai calon terpilih sebagai anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten / Kota. Juga kepada para pemimpin terpilih
untuk mendukung kepemimpinan perempuan di Kementerian dan Lembaga-Lembaga
Negara.
Narasumber:
1. Alimatul Qibtiyah
2. Siti Aminah Tardi
3. Rainy M Hutabarat
4. Olivia Chadidjah Salampessy
5. Maria Ulfa Anshor
6. Veryanto
Sitohang
Narahubung: Elsa (+62 813-8937-1400)