“Komnas
Perempuan Tegaskan Urgensi Pengesahan RUU PPRT dalam RDPU Bersama Baleg DPR RI”
Jakarta, 24 Mei 2025
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai langkah krusial dalam menjawab ketimpangan perlindungan hukum yang telah berlangsung puluhan tahun. Hal tersebut disampaikan saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Selasa, 20 Mei 2025. RDPU ini bertujuan menjaring masukan masyarakat sipil dalam proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menjelaskan bahwa draf RUU PPRT saat ini merupakan hasil kerja DPR periode 2019–2024 dan telah tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Ia menegaskan bahwa RUU PPRT menjadi salah satu RUU prioritas yang akan diselesaikan dalam waktu 3-4 bulan sebagaimana amanat Presiden. Selain itu, penting untuk menjalankan prinsip meaningful public participation dalam penyusunan RUU ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 128 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
“Kami memerlukan masukan dari para narasumber agar RUU ini dapat memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang layak bagi PRT,” ujarnya.
Dalam paparannya, Komnas Perempuan menyoroti bahwa kekerasan terhadap PRT masih terjadi secara sistematis dan meluas. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 mencatat 56 kasus kekerasan terhadap PRT, sementara JALA PRT melaporkan lebih dari 2.600 kasus sepanjang 2017–2022, atau sekitar 10–11 kasus per hari.
Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, menyampaikan bahwa PRT tidak terlindungi oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena status kerja mereka yang informal. “Oleh karena itu, perlindungan PRT harus diatur dalam undang-undang tersendiri yang mencerminkan karakteristik hubungan kerja yang khas dan kompleks,” ujarnya.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) menghadapi tingkat kerentanan yang tinggi akibat sifat kerjanya yang kerap dipandang sebagai invisible dan bersifat personal. Pekerjaan ini sering dianggap “tidak produktif,” dipengaruhi oleh bias gender, dan menimbulkan beban berganda, terutama bagi PRT perempuan. Untuk itu, diperlukan mekanisme pengakuan sosial-politik serta redistribusi hak ekonomi yang lebih adil dan spesifik guna menjamin upah layak, jaminan sosial, dan perlindungan kerja yang setara bagi PRT.
Lebih jauh pekerjaan rumah tangga memiliki peran penting dalam mendukung perekonomian nasional melalui kerja di sektor care economy, yang mencakup pekerjaan domestik, perawatan anggota keluarga, serta menopang produktivitas rumah tangga dan negara secara keseluruhan. Namun, tanpa perlindungan hukum yang memadai, Pekerja Rumah Tangga (PRT) tetap berada dalam situasi rentan terhadap diskriminasi, kekerasan, dan berbagai bentuk eksploitasi. Negara perlu mengakui dan menjamin hak-hak PRT sebagai bagian dari pengakuan atas kerja perawatan yang menopang kehidupan sehari-hari dan pembangunan berkelanjutan.
Sebagai bagian dari rekomendasi strategis, Komnas Perempuan mengusulkan empat langkah utama untuk memperkuat perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pertama, negara harus memastikan adanya kebijakan, pengawasan, dan implementasi perlindungan yang efektif. Kedua, masyarakat didorong untuk meningkatkan dukungan terhadap upaya pencegahan kekerasan dan pemulihan korban. Ketiga, komunitas PRT dan pemberi kerja perlu diperkuat melalui akses yang lebih luas terhadap hak-hak dasar serta pembangunan kemitraan yang setara. Keempat, media berperan penting dalam menyuarakan isu ini melalui peliputan yang etis dan kampanye publik yang mendorong perlindungan dan pengakuan kerja PRT.
Komnas Perempuan memandang pengesahan RUU PPRT sebagai langkah mendesak dan krusial dalam menjawab persoalan yang telah lama dihadapi Pekerja Rumah Tangga. Setelah lebih dari 20 tahun dinantikan, saatnya RUU ini disahkan. RUU PPRT telah mengatur berbagai aspek penting, mulai dari asas, tujuan, ruang lingkup, hubungan kerja, hak dan kewajiban para pihak, hingga mekanisme pengawasan dan sanksi pidana serta pengaturan kontrak kerja secara tertulis serta perlindungan terhadap praktik eksploitasi oleh penyalur, seperti larangan menahan dokumen pribadi dan pungutan biaya kepada PRT.
RUU PPRT perlu menjadi instrumen hukum yang adil dan berimbang, dengan mempertimbangkan relasi kuasa yang tidak setara antara PRT dan pemberi kerja. Komnas Perempuan menekankan pentingnya perlindungan menyeluruh yang bersifat partisipatif dan non-diskriminatif, serta memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak—baik PRT maupun pemberi kerja. Untuk itu, Komnas Perempuan mendesak DPR RI agar segera menetapkan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif dan bersama pemerintah mengesahkannya demi perlindungan yang setara dan bermartabat.
“Pengakuan dan perlindungan terhadap PRT tidak hanya merupakan mandat konstitusi, tetapi juga pemenuhan hak asasi manusia. Sudah saatnya PRT dihormati sebagai pekerja dan warga negara yang memiliki hak atas penghidupan layak, keadilan, dan keamanan,” tegas Maria Ulfah.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)