...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Terkait Peringatan 38 Tahun Pengesahan CEDAW

Siaran Pers Komnas Perempuan

Peringatan 38 Tahun Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (CEDAW)

Memastikan Pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan, Pelibatan Bermakna Perempuan dalam Penanganan Konflik Sumber Daya Alam serta Pengakuan dan Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Jakarta, 24 Juli 2022

Negara Indonesia sebagai negara Pihak dari Kovenan Penghapusan segala Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) berkewajiban melakukan upaya komprehensif pada semua bidang khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya untuk menjamin pemenuhan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki. Dalam memperingati pengesahan CEDAW ke-38 pada tahun 2022, Komnas Perempuan mengingatkan 3 isu yang perlu menjadi prioritas ke depan, yaitu kekerasan seksual, konflik sumber daya alam, dan perempuan pekerja rumah tangga.

Pertama, tindak lanjut pengesahan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang merupakan langkah maju dalam mendorong penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. UU TPKS diharapkan dapat memperbaiki respon negara dalam memenuhi hak korban kekerasan seksual atas penanganan, perlindungan dan pemulihan. Untuk pelaksanaan undang-undang ini masih dibutuhkan berbagai upaya seperti pembentukan peraturan pelaksana, sinkronisasi UU TPKS dengan RKUHP maupun kebijakan internal Aparat Penegak Hukum dan lembaga layanan, pembentukan dan peningkatan kapasitas UPTD PPA dan lembaga layanan berbasis komunitas dan sosialisasi UU TPKS ke setiap lapisan masyarakat.

Kedua, pemastian pelibatan bermakna perempuan dalam penanganan konflik sumber daya alam (SDA), Tata Ruang dan agraria. Situasi perempuan di pusaran konflik tersebut menjadi perhatian Catatan Tahunan (CATAHU) 2022. CATAHU masa pandemi (2020-2021) merekam 10 pengaduan terkait konflik SDA, agraria dan tata ruang, menambahkan 49 kasus yang diadukan selama 2003-2019 yang belum sepenuhnya dapat terselesaikan. Komnas Perempuan mencatat, konflik SDA, tata ruang dan agraria merupakan konflik terbanyak di Indonesia di sepuluh tahun terakhir. Konflik berlangsung dalam hitungan satu dasawarsa lebih dan mengakibatkan pelanggaran sejumlah hak-hak dasar warga setempat khususnya perempuan. Pemetaan dampak konflik terhadap perempuan di antaranya (1) aspek budaya-spiritual berupa pelenyapan peran-peran perempuan sebagai pengampu dan pengelola pengetahuan lokal, seperti pemuliaan benih, obat-obatan herbal, ritual dan nilai-nilai pertanian masyarakat adat; (b) aspek ekonomi, termasuk kehilangan pekerjaan dan pemiskinan (c) dampak buruk berantai akibat hilangnya hak-hak dasar, seperti air bersih, pangan, kesehatan, rasa aman, lingkungan hidup yang sehat, dll; (d) rentan kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT), perdagangan orang maupun kekerasan seksual; (e) hak politik berupa minim pelibatan warga setempat termasuk perempuan dalam pencegahan di antaranya penilaian analisa dampak lingkungan (AMDAL), pengabaian persetujuan bebas (Free, Prior and Informed Consent) dan solusi konflik; dan (f) Perempuan Pembela HAM juga mengalami kekerasan berupa intimidasi dan kriminalisasi agar mereka surut dalam mendampingi dan membela hak-hak warga dan perempuan setempat.

Komnas Perempuan mencatat, konflik SDA, tata ruang dan agraria kerap bertautan dengan pelanggaran hak-hak perempuan adat dan perempuan pedesaan. RUU Masyarakat Adat yang dibutuhkan sebagai payung pelindungan dan pengakuan akan masyarakat adat serta hak-haknya hingga kini belum disahkan. Padahal, Pengamatan Kesimpulan (Concluding Obeservation) Komite CEDAW 2022 telah merekomendasikan kepada pemerintah RI untuk a) mengambil langkah-langkah meningkatkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik dan publik pada semua tingkatan dengan mengadopsi tindakan-tindakan khusus sementara, seturut Rekomendasi Umum No. 25 Pasal 4 ayat (1); dan b) secara sistematis mengumpulkan data untuk memantau kemajuan representasi perempuan dalam kehidupan politik dan publik, khususnya dalam tingkatan pengambilan keputusan. Sedangkan terkait perempuan adat pedesaan (indigenous rural women), Komite merekomendasikan (a) mempercepat upaya pelindungan hak perempuan adat untuk menggunakan SDA dan tanah, termasuk dengan memperluas cakupan Masyarakat Hukum Adat dan mencabut atau mengubah undang-undang yang melemahkan hak perempuan adat atas penggunaan tanah, termasuk UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja; (b) Melakukan kajian gender pada konteks semua penilaian dampak lingkungan dan memastikan bahwa perempuan pedesaan dan masyarakat adat dapat berkontribusi penuh dalam pembangunan, dengan memperhatikan persetujuan bebas tanpa tekanan (free, prior and informed consent) untuk setiap proyek pembangunan di atas tanah adat dan juga pembagian keuntungan, dan menyediakan bagi perempuan adat terdampak mata pencaharian alternatif yang layak sejalan dengan Konvensi ILO No. 169 tentang Masyarakat Adat dan Suku, 1989; dan (c) Menghilangkan praktik adat yang mendiskriminasi perempuan adat dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah dan memastikan akses perempuan adat terhadap layanan dasar, air bersih dan sanitasi yang memadai.

Ketiga, pelindungan bagi perempuan pekerja rumah tangga. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah 18 tahun diperjuangkan namun hingga kini belum disahkan. Pengesahan RUU PPRT penting untuk memastikan perempuan pekerja rumah tangga dipenuhi hak-hak asasinya sebagaimana diamanatkan CEDAW, termasuk seperti upah dan tempat kerja yang layak, pemenuhan hak maternitas dan cuti lainnya (Pasal 11 dan Pasal 12), kebebasan berserikat (Pasal 7), pelindungan dari diskriminasi berbasis gender (Pasal 2) dan dari kekerasan dan eksploitasi (Rekomendasi Umum No. 19 yang diperbarui dengan Rekomendasi Umum No. 35). RUU ini juga penting untuk menjamin relasi adil dan setara antara perempuan pekerja rumah tangga dan pemberi kerja.

Selanjutnya, Pengamatan Kesimpulan Komite CEDAW terkait perempuan pekerja rumah tangga menyatakan bahwa perempuan pekerja rumah tangga termasuk perempuan pekerja migran dan khususnya perempuan di daerah konflik, menghadapi risiko tinggi terhadap diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Risiko ini juga hadir akibat penundaan pengesahan perundang-undangan yang melindungi perempuan pekerja rumah tangga termasuk RUU PPRT dan Konvensi ILO 189, serta belum optimalnya implementasi UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran.

Bertolak dari persoalan-persoalan di atas, dalam memperingati 38 Tahun Pengesahan CEDAW pada 24 Juli 2022, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada:

  1. DPR RI agar
    • Mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai usul inisiatif DPR RI
    • Melakukan harmonisasi perundang-undangan yang ada terkait sumber daya alam, tata ruang dan agraria untuk memastikan perempuan adat dan pedesaan tidak mengalami pemiskinan ekonomi dan kultural akibat kehilangan sumber daya tanah, menjamin lingkungan hidup yang sehat berkelanjutan dan damai, akses kepada air bersih dan sumber daya alam lainnya.
    • Mengoptimalkan pengawasan implementasi UU No. 18/20017 tentang Pekerja Migran.
    • Mengesahkan RUU PPRT untuk memastikan pelindungan dan pengakuan akan pekerjaan pekerja rumah tangga.
  2. Pemerintah RI agar
    • Memperluas ruang partisipasi pembentukan peraturan turunan dari UU TPKS bagi LNHAM, lembaga layanan korban, penyintas dan akademisi
    • Melaksanakan Kesimpulan Pengamatan Komite CEDAW tentang perempuan adat dan pedesaan
    • Memastikan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pelindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) tentang pelibatan substantif perempuan dalam pencegahan dan pasca konflik dan memastikan pemulihan psikis, fisik dan ekonomi. Pelaksanaan juga merupakan amanat Resolusi 1325 PBB tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (Women, Peace and Security) dan Rekomendasi Umum CEDAW no 30 tentang Perempuan dalam Konteks Pencegahan Konflik, Situasi Konflik dan Pasca Konflik.
    • Memastikan pengakuan dan pelindungan PPHAM seturut amanat Deklarasi PHAM PBB dengan mengesahkan revisi UU HAM.
    • Mengoptimalkan implementasi UU No. 18/20017 tentang Pekerja Migran
    • Mendorong pengesahan RUU PPRT


    Narasumber:

    1. Rainy Hutabarat

    2. Siti Aminah Tardi

    3. Andy Yentriyani

    Narahubung: +62 813-8937-1400


    Pertanyaan / Komentar: