...
Siaran Pers
Siaran Pers Refleksi Satu Tahun Kanjuruhan Komnas HAM, KPAI, Komnas Perempuan, KND, LPSK, Ombudsman RI


Prolog

 

1 Oktober 2022 menjadi hari yang paling memilukan dalam sejarah sepak bola Indonesia dan juga internasional. Pertandingan sepak bola antara Arema FC vs Persebaya menimbulkan kericuhan yang menewaskan 135 orang dan melukai lebih dari 500 orang lainnya. Tragedi ini juga menjadi laga sepak bola dengan korban jiwa terbanyak kedua di dunia setelah tragedi Peru pada 24 Mei 1964.

 

Satu tahun tragedi Kanjuruhan berlalu dan putusan sidang telah ditetapkan, namun masih banyak korban dan keluarga korban yang belum mendapat hak-haknya. bahkan proses hukum belum memberikan ruang keadilan bagi korban dan belum menyentuh pihak-pihak (yang seharusnya) bertanggung jawab pada pelaksanaan pertandingan.

 

LNHAM (Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia) yang terdiri dari Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan), Komisi Nasional Disabilitas (KND), LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), dan Ombudsman Republik Indonesia telah melakukan berbagai upaya bagi korban dan keluarga korban. Hal ini dilakukan sebagai bentuk keseriusan dan komitmen LNHAM untuk mendukung pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban/keluarga korban tragedi Kanjuruhan.

 

Catatan Komnas HAM

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti beberapa aspek penting terkait Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan. Dalam proses penegakan hukum, Komnas HAM menemukan bahwa fakta kejadian di Pintu 13 Stadion Kanjuruhan belum diungkap secara mendalam. Sebagaimana fakta yang ditemukan oleh Komnas HAM adalah bahwa gas air mata ditembakkan ke tribune 13, dan amunisi gas air mata jatuh di ujung samping tangga 13. Akibatnya, asap masuk ke lorong tangga dan keluar melalui pintu 13. Hal ini menciptakan kepanikan di antara penonton, menyebabkan mereka berdesakan untuk keluar stadion dalam kondisi mata perih, kulit panas, dan dada sesak. Kepanikan ini menyebabkan penumpukan di pintu 13, yang mengakibatkan banyak penonton terjepit, terjatuh, dan terinjak-injak. Pada pintu inilah, para penonton banyak jatuh, pingsan, bahkan meninggal dunia.

 

Komnas HAM juga menyoroti belum tuntasnya pemenuhan berkas tersangka mantan Direktur PT LIB, Ahmad Hadian Lukita sehubungan adanya perbedaan pendapat antara pihak kejaksaan dan kepolisian terkait pemenuhan unsur terhadap pasal yang disangkakan terhadap tersangka. Komnas HAM RI berharap perbedaan pendapat ini dapat segera diatasi dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.

 

Selain itu, Komnas HAM menemukan persoalan dalam pemulihan korban Tragedi Kanjuruhan antara lain: putusan pengadilan tidak mengatur atau menegaskan tanggung jawab pelaku dalam restitusi/rehabilitasi korban; layanan dan bantuan untuk pemulihan korban belum merata dan cenderung tidak tepat sasaran, termasuk layanan pemulihan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi; mekanisme penerimaan dan penyaluran bantuan terhadap korban masih sporadis, tidak terkonsolidasi, dan tergantung pada kelompok, organisasi, atau lembaga tertentu. Beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan ini adalah ketiadaan data korban yang terkonsolidasi dan terintegrasi, termasuk data jumlah korban, tipologi kerugian korban, dan layanan atau bantuan yang diperlukan dan telah diterima oleh masing-masing korban. Selain itu, belum ada leading sector yang mengkoordinir pemulihan korban, sehingga tidak ada mekanisme yang jelas dalam penerimaan dan penyaluran layanan kepada para korban, komunikasi dan koordinasi antar lembaga dan organisasi, pengawasan penggunaan anggaran, dan pertanggungjawaban.

 

Catatan KPAI


Tercatat 44 anak meninggal dunia dan 212 anak mengalami luka berat, sedang, dan ringan dari tragedi Kanjuruhan. Data tersebut belum mencakup anak-anak yang menjadi korban tidak langsung, misalnya orang tua atau saudaranya meninggal/terluka akibat tragedi Kanjuruhan. Mereka kemudian menjadi anak yatim piatu. Kondisi demikian mengakibatkan mereka berada dalam situasi rentan sehingga membutuhkan dukungan rehabilitasi psikososial yang berkelanjutan, serta pemenuhan hak dasarnya seperti pendidikan, hidup layak, dan kesehatan.

 

Untuk itu KPAI memberikan beberapa rekomendasi, di antaranya: (1) Kepada PSSI, agar ke depan terdapat regulasi tentang pembedaan antara tiket dewasa dan anak-anak, hal ini sebagai upaya perlindungan terhadap anak dan jika terjadi kondisi yang tidak bisa dikendalikan, akan lebih memudahkan dalam pendataan. (2) Kepada PSSI, agar membuat mitigasi situasi darurat yang berlaku di seluruh Indonesia agar mencegah jika terjadi kondisi yang tidak dapat dikendalikan ataupun kerusuhan saat pertandingan berlangsung dan/atau pascapertandingan. Hal ini sebagai upaya meminimalisir dan sekaligus mencegah terjadinya kondisi darurat. (3) Kepada Kepolisian Republik Indonesia, agar melakukan upaya investigasi ulang dengan menerima kembali laporan korban dengan lebih terbuka, terutama bagi korban anak-anak yang memerlukan Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai payung hukumnya dan sebagai bukti penegakan terhadap hak anak dan kepentingan terbaik bagi anak. (4) Kepada Kepolisian Republik Indonesia, agar meninjau kembali Perkapol Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian pada penggunaan gas air mata, di mana hal ini menjadi salah satu penyebab meninggalnya korban anak-anak. (5) Kepada Kementerian Sosial, agar korban anak diberikan bantuan sosial yang sesuai dengan tingkat kerugian yang dialami korban maupun keluarga korban. (6) Kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam hal ini terdapat 72 korban dari 135 korban meninggal dunia adalah perempuan dan anak-anak, dan terdapat 379 korban perempuan dan anak yang mengalami luka berat, sedang, dan ringan yang hingga saat ini masih ada yang menjalani pengobatan. Sejatinya, mereka berada pada situasi darurat sehingga perlu mendapatkan pendampingan psikososial dan juga pendampingan tingkat lanjut sehingga di kemudian hari mereka bisa tetap melanjutkan hidup.

 

Catatan Komnas Perempuan

 

Komnas Perempuan telah menemui sejumlah komunitas keluarga Korban Kanjuruhan di bulan Agustus 2023 untuk memetakan kebutuhan penanganan pemulihan korban, setahun setelah peristiwa Kanjuruhan terjadi. Sejumlah komunitas korban termasuk para perempuan yang terdiri dari istri dan ibu keluarga korban hadir dalam pertemuan tersebut. Keluarga korban menyampaikan agar hukum ditegakkan seadil-adilnya, dan ada jaminan ketidakberulangan. Dalam hal penyelesaian –yang juga menjadi bagian dari pemulihan mereka, keluarga korban meminta dilibatkan untuk duduk bersama dengan berbagai pihak seperti dengan Presiden, PSSI, DPR, serta Manajemen Arema, termasuk dalam hal renovasi stadion Kanjuruhan yang perlu dibuatkan memorialisasi untuk menghormati korban yang telah meninggal dunia. Mereka juga mempertanyakan soal pemulihan yang luas untuk para korban dan menjadikan peristiwa ini sebagai sejarah yang perlu diperingati. Di dalam pertemuan tersebut, Komnas Perempuan mendapatkan informasi bahwa perempuan keluarga korban sempat mengalami stigma janda yang mengakibatkan terjadinya pelecehan seksual secara verbal, seperti pernyataan diminta untuk menikah lagi dan melupakan mendiang suaminya serta peristiwa tersebut. Informasi lainnya, seorang ibu korban mengalami dampak stres hingga berkeinginan bunuh diri. Untuk mencari keadilan ia berkeliling dari Pasuruan ke Malang. Setiap teringat anak, ia berkendara motor mengelilingi Kota Malang. Banyak orang tua korban yang kehilangan semangat hidupnya seperti mencari nafkah dan bekerja, bahkan hanya untuk memasak. Akibatnya kehidupan sehari-hari dan perekonomian keluarga terganggu. Para korban rata-rata mengalami masalah mental yang serius dan memerlukan bantuan psikis dan pemulihan lainnya.

Hal lainnya, Komnas Perempuan menemukan pendataan korban yang masih tumpang tindih yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal layanan, sehingga kurang terjangkau ke semua pihak. Dalam hal ini Komnas Perempuan telah menyampaikan langkah-langkah yang perlu dilakukan yaitu a) membenahi databased agar lebih komprehensif dan tidak lagi terdapat double data, b) kebutuhan asesmen dengan mengunjungi ke rumah-rumah korban c) membangun dan melaksanakan program pemberdayaan dan perlindungan korban dan keluarga korban d) Monitoring dan evaluasi, khususnya tentang data layanan pemulihan yang sudah dijalankan. Komnas Perempuan juga menemukan informasi tentang kesimpangsiuran dana bantuan yang tidak dikelola dengan baik, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, terutama dari pihak swasta.

 

Catatan Komisi Nasional Disabilitas

 

TGIPF Tragedi Stadion Kanjuruhan 2022 melaporkan korban sebanyak 712 orang (132 orang meninggal dunia, 96 orang luka berat, 484 orang luka ringan) korban diantaranya berpotensi mengalami hambatan fisik maupun non-fisik secara jangka panjang sehingga menjadi Penyandang Disabilitas seperti patah tulang, motorik, mobilitas, trauma, cemas, dan lain-lain. Tidak hanya korban, keluarga korban juga mengalami dampak dari kejadian tersebut seperti suami/istri dan anak-anak yang kehilangan orang tua. Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan terhadap setiap warga negara yang mengalami disabilitas dalam tragedi Kanjuruhan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas selain juga Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil And Political Rights(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).


Dari berbagai proses penanganan oleh Pemerintah dalam rangka pemulihan korban tragedi Kanjuruhan dan keluarganya karena menjadi disabilitas, KND merekomendasikan beberapa hal penting yaitu: (1) Adanya jaminan cakupan intervensi khusus Pemerintah (pembiayaan dan jenis intervensi) dalam aspek kesehatan termasuk di dalamnya rehabilitasi medis, konseling, penyediaan alat bantu, dan terapi secara berkelanjutan; (2) Adanya jaminan intervensi aspek sosial dan ekonomi termasuk rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, program kembali bekerja, pemulihan kemampuan ekonomi keluarga, dan program jaminan sosial; (3) Adanya jaminan khusus keberlanjutan akses pendidikan inklusif sesuai kebutuhan dan perkembangan terbaik mereka termasuk dukungan alat bantu, media belajar, transportasi, dan pendampingan; dan (4) Melanjutkan proses evaluasi menyeluruh, transparan, dan akuntabel atas tragedi Kanjuruhan termasuk upaya preventif, tersedianya aturan penanganan situasi darurat, serta jaminan pemenuhan hak-hak ketika menjadi Penyandang Disabilitas (hak Kesehatan, pendidikan, pekerjaan, alat bantu, dan lain-lain). Tragedi ini juga tidak terlepas dari sarana dan prasarana stadion yang tidak memadai. sebagaimana temuan TGIPF mengatakan bahwa tidak ditemukan adanya ketentuan untuk penanganan penonton kelompok rentan (perempuan, ibu hamil, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas). Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kejadian serupa, KND meminta agar setiap stadion memiliki mekanisme penanganan darurat, dibangun dengan semangat desain universal, serta aman dan nyaman dikunjungi oleh semua pihak termasuk Penyandang Disabilitas.

 

Catatan LPSK

 

Sehari setelah terjadinya tragedi Kanjuruhan, LPSK menemui para korban di rumah sakit tempat mereka dirawat dan beberapa orang keluarga korban yang meninggal dunia untuk menawarkan perlindungan dan bantuan. Selain itu LPSK juga menemui Pemerintah Kota Malang dan aparat penegak hukum yang menangani kasus ini. Selanjutnya LPSK memutuskan untuk memberikan perlindungan kepada 23 orang saksi dan korban dalam proses penegakan hukum pidana dan memfasilitasi 58 orang korban atau keluarga korban untuk mengajukan hak atas restitusi. Selama perlindungan yang diberikan LPSK terdapat hal-hal yang menjadi temuan yakni : Pertama, Adanya intimidasi baik dari anggota kepolisian maupun orang tak dikenal, berupa: (1) intimidasi kepada keluarga korban dengan cara mendatangi keluarga korban (DA) untuk mencabut persetujuan dialkukannya eksumasi dan autopsi terhadap jenazah kedua anaknya. (2) Kediaman rumah keluarga korban (DA dan CN) kerap kali didatangi oleh oknum anggota kepolisian yang berusaha untuk berkomunikasi dengan tujuan tertentu. Hal ini dilakukan secara rutin bahkan pada waktu hampir tengah malam yang membuat keluarga korban terseut tidak nyaman. (3) Terdapat potensi ancaman terhadap CN yang sehari setelah memberikan kesaksian di Polres Malang, pagi harinya ban mobil miliknya dilumuri “gemuk”(zat yang licin seperti oli) oleh orang tidak dikenal. Kedua, adanya dugaan upaya pengkondisian dari oknum aparat kepolisian dengan menyampaikan jika ada pengusaha di Kabupaten Malang yang akan memberikan modal usaha kepada para keluarga korban dan hal ini disampaikan oleh anggota Polres Malang, yang juga berjanji akan memfasilitasi pertemuannya di Polres Malang. Ketiga, pada saat melakukan pendampingan terhadap Pelapor DA untuk gelar perkara khusus di Polres Malang terkait Laporan model B (dugaan tindak pidana pembunuhan dan/atau pembunuhan berencana), LPSK tidak diijinkan untuk masuk mendampingi DA di ruang gelar perkara khusus dengan alasan tidak masuk dalam daftar undangan peserta gelar, sementara LPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pendampingan bagi saksi dan korban tindak pidana dalam setiap proses peradilan pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 12A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Keempat, berkas pengajuan restitusi untuk 41 orang keluarga korban yang telah dilakukan penghitungan oleh LPSK tidak dimasukan pada berkas tuntutan, sehingga LPSK mengajukan permohonan restitusi melalui mekanisme pasca putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ke Pengadilan Negeri Surabaya pada 4 Oktober 2023. Kelima, masih terdapat banyak keluarga korban yang membutuhkan pemulihan psikologis atas peristiwa yang dialaminya.

 

Catatan Ombudsman RI

 

Ombudsman RI telah melihat kondisi lapangan dan bertemu dengan banyak pihak berkenaan dengan kejadian Kanjuruhan. Dalam kerangka pelayanan publik bidang penyelenggaraan keolahragaan terdapat banyak sisi permasalahan, pertama terkait dengan teknis tempat penyelenggaraan kegiatan, dalam hasil pemeriksaan Ombudsman, tidak terdapat kepastian mengenai kapasitas Stadion Kanjuruhan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan tentang standar sarana dan prasarana yang mengatur mengenai daya tampung. Selain itu hasil pemeriksaan Ombudsman menunjukkan bahwa tidak terdapat pihak yang merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan jumlah penonton sesuai dengan daya tampung stadion. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa pada Stadion Kanjuruhan belum memiliki Sertifikat Laik Fungsi yang menjadi salah satu persyaratan bangunan, dan syarat menyelenggarakan kegiatan bagi Masyarakat. Kedua berkenaan dengan Perizinan, Ombudsman memandang tidak jelasnya tahapan dan persyaratan perizinan dalam rangka persiapan pelaksanaan pertandingan. Ombudsman menemukan dalam beberapa perizinan merujuk pada perizinan/rekomendasi lain, namun rekomendasi tersebut dibuat bersamaan atau belakangan. bahkan persetujuan penyelenggaraan telah terbit sementara permohonan sedang berproses. Ketiga, tidak berjalannya SOP dan standar keamanan pada saat pertandingan, termasuk didalamnya aparat keamanan tidak melaksanakan penugasan yang telah ditetapkan. Aparat keamanan telah membagi anggota dengan menempatkan pada titik-titik tertentu sesuai strategi dan rencana pengamanan. Namun petugas tidak menjalankan tugas sesuai rencana yang telah ditentukan, mengingat fakta dilapangan tidak terjadi peristiwa sebagaimana dijabarkan dalam rencana pengamanan. Keempat, kebijakan pemenuhan hak korban kurang terkoordinasikan, dimana hasil pertemuan Ombudsman dengan beberapa simpul kelompok Masyarakat aremania menyatakan melakukan pengumpulan sumbangan sukarela karena terdapat beberapa keluarga korban yang mendapat bantuan tidak sebagaimana yang lain. Termasuk dalam hal ini layanan Kesehatan jiwa dan trauma healing yang terkonsentrasi di Malang Raya, maka bagi korban yang berada di daerah jauh membutuhkan beberapa bentuk dukungan lain seperti akomodasi maupun jemput bola, sebagai bentuk layanan prima.

 

  1. Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
  2. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
  3. Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan)
  4. Komisi Nasional Disabilitas (KND)
  5. LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
  6. Ombudsman Republik Indonesia

Link foto


https://drive.google.com/drive/folders/1xvPJYro9Fvxmujww-RrNsbyBX-hQPeEx?usp=sharing 


Link rekaman


https://drive.google.com/file/d/1CuBWxf_sumUndJQV6Ue8nat7dj_IXhsb/view?usp=sharing  


Pertanyaan / Komentar: