(Komnas Perempuan dan Lintas Gerakan Perempuan)
Masa Penjajahan BelandaGerakan perempuan Indonesia telah tercatat dalam sejarah sejak masa kolonial. Fokus utama gerakan pada periode ini adalah mendorong keterjangkauan dan perluasan akses pendidikan bagi perempuan.
Kontribusi penting gerakan perempuan pada masa ini antara lain:
Dorongan kuat terhadap pendidikan perempuan melalui berbagai organisasi pergerakan.
Perumusan ikrar Sumpah Pemuda di Majalah Isteri, yang ditetapkan oleh Kongres Perempuan Indonesia.
Kampanye memilih satu wakil perempuan dalam parlemen (Volksraad), yang diputuskan pada Kongres Perempuan Indonesia tahun 1938.
Pada masa pendudukan Jepang, gerakan perempuan mengalami kemunduran karena berbagai bentuk represi. Banyak perempuan dipaksa menjadi pekerja seksual militer Jepang (Jugun Ianfu).
Organisasi perempuan hanya diperbolehkan berdiri bila berada di bawah kendali pemerintah pendudukan, dengan tujuan mobilisasi tenaga untuk persiapan kemerdekaan.
Memasuki era kemerdekaan, fokus gerakan perempuan bergeser pada:
Keterwakilan perempuan dalam sistem pemerintahan.
Perjuangan pemenuhan hak-hak perempuan di ruang politik dan sosial.
Pada periode ini, lahir berbagai organisasi perempuan yang menjadi sayap partai politik serta organisasi perempuan di lingkungan kementerian dan lembaga pemerintah.
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)Pada masa ini, organisasi-organisasi perempuan tumbuh di lingkungan instansi pemerintah. Di antaranya:
Ikatan Wanita Antardepartemen (IKWANDEP) – berdiri pada 25 Mei 1961.
Badan Kerja Sama Dharma Pertiwi – berdiri pada 15 April 1964.
Selain itu, lahir pula korps perempuan dalam tubuh militer:
KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat) – 22 Desember 1961
KOWAL (Korps Wanita Angkatan Laut) – 1962
WARA (Wanita Angkatan Udara) – Agustus 1963
Pada masa Orde Baru, gerakan perempuan bergerak lebih aktif melawan sistem yang patriarkal dan otoriter.
Organisasi perempuan banyak berwujud lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang menjadi ruang aman bagi perempuan untuk memperjuangkan:
Kesetaraan gender
Hak-hak perempuan
Pembelaan terhadap kelompok rentan
Gerakan perempuan di akar rumput memainkan peran penting dalam menggerakkan proses Reformasi 1998.
1996: Lahirnya Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap PerempuanPada 1996, muncul gerakan aktivis demokrasi yang dipelopori oleh rohaniawan Katolik Romo Sandyawan Sumardi, yang kemudian dikenal sebagai Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Melalui pengumpulan data sepanjang 1996–1997, ditemukan banyak kasus kekerasan terhadap perempuan di berbagai daerah. Berdasarkan temuan tersebut, Ita Nadia bersama kelompok aktivis perempuan yang tergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan mendesak pembentukan tim khusus.
Akhirnya terbentuklah Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan, yang berkantor di Kalyanamitra.
1997: Demonstrasi Pra-ReformasiMenjelang Reformasi, gerakan perempuan menjadi salah satu motor kritik terhadap pemerintah.
Gerakan Suara Ibu Peduli (SIP) menggelar aksi protes di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, menuntut penurunan harga susu dan kebutuhan pokok. Aksi ini memberikan dampak besar dalam mendorong runtuhnya rezim Orde Baru.
Dalam momentum menjelang Reformasi pula, berbagai tokoh perempuan ikut menyuarakan penolakan terhadap kekerasan negara, termasuk Ibu Shinta Nuriyah Wahid, yang menyampaikan orasi pada demonstrasi menolak kekerasan terhadap perempuan pada peristiwa Mei 1998.
