...
Siaran Pers
Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Aborsi Aman Internasional, 28 September (Jakarta, 29 September 2021)

Siaran Pers Komnas Perempuan

Memperingati Hari Aborsi Aman Internasional, 28 September

 

Mewujudkan Akses dan Layanan Aborsi Aman Legal bagi Perempuan Korban Perkosaan sebagai Upaya Pemenuhan HAM Perempuan

 

Jakarta 29 September 2021

 

 

Kriminalisasi terhadap perempuan korban perkosaan yang mengakses layanan aborsi, baik aman atau tidak, memperlihatkan bahwa, meskipun diperbolehkan menurut Undang-Undang Kesehatan, aborsi bagi korban perkosaan masih dipandang sebagai hal yang ditakuti, dikecam dan dilarang. Kedudukan perempuan sebagai korban perkosaan adalah pertimbangan utama untuk tidak diberlakukan pemidanaan. Korban harus menghadapi berbagai dampak perkosaan itu dan kehamilan akibat perkosaan dapat memperburuk kondisi korban. Belum lagi jika korban perkosaan adalah anak, yang kadang justru kehilangan hak atas pendidikan karena harus meneruskan kehamilannya. Memidanakan korban berarti menempatkan perempuan dalam posisi penderaan yang berlapis, yakni sebagai korban perkosaan dan perempuan yang dikriminalisasi.

 

Kriminalisasi pada korban perkosaan yang pernah terjadi di Jambi pada tahun 2018 dapat menjadi salah satu bukti. Seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri akhirnya justru dijatuhi hukuman 6 bulan oleh PN setempat karena melakukan aborsi. Potensi kriminalisasi korban terus ada mengingat KUHP masih mengategorikan aborsi sebagai kejahatan. Namun, data terkait aborsi oleh korban perkosaan nyaris tidak tersedia, terutama data dari Pemerintah. Akibatnya, juga tidak tersedia informasi mengenai intervensi lebih jauh untuk pemulihan korban, termasuk melalui aborsi aman.

 

Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU Komnas Perempuan) mendokumentasikan 24.786 kasus kekerasan seksual yang terjadi selama 2016-2020.[1] Di antara kasus kekerasan seksual tersebut, 7344 diantaranya merupakan kasus perkosaan atau 29,6% dari total kasus kekerasan seksual.  Di antara kasus perkosaan tersebut, ada korban yang kemudian melakukan aborsi dengan berbagai alasan. Meski mencatatkan kenaikan jumlah kasus perkosaan setiap tahunnya, CATAHU Komnas Perempuan belum mendapatkan data valid tentang jumlah perempuan korban perkosaan yang membutuhkan akses layanan aborsi aman.

 

Komnas Perempuan juga menerima pengaduan kasus pemaksaan aborsi, meski tidak hanya untuk kasus perkosaan saja. Berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan, tercatat 147 kasus pemaksaan aborsi dari 2016-2021. Pelaku pemaksaan aborsi ini beragam mulai dari orangtua, suami ataupun pacar.

 

Pada konteks Indonesia, berbasis pada data RISKESDAS 2010, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, dalam kajiannya (2012)[2] menemukan angka kejadian keguguran secara nasional adalah 4%. Dari semua kejadian keguguran, ada 6,54% di antaranya adalah aborsi. Aborsi lebih besar dilakukan oleh perempuan menikah berusia di atas 35 tahun, berpendidikan tamat SMA, tidak bekerja dan tinggal di perkotaan. Cara yang dominan digunakan untuk menghentikan kehamilan adalah kuret. Jamu, pil dan suntik merupakan tindakan alternatifnya. Terkait dengan kejadian kehamilan yang tidak direncanakan, kasus yang ditemukan berkisar antara 1,6% dan 5,8%. Dari semua kejadian kehamilan tidak direncakan, 6,71% di antaranya sengaja digugurkan. Sayangnya, data terkait aborsi, dengan variasi alasan, tidak mengalami pemutakhiran lebih jauh, sementara penelitian dan kajian yang dilakukan lebih bersifat sporadis.

 

Dari sisi legal formal, berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pengaturan aborsi yang dapat dilakukan berbasis pada dua keadaan, yaitu pada ibu hamil dengan indikasi kedaruratan medis atau korban perkosaan. Khusus pada kasus perkosaan, pasal 75 Ayat (2) b menyebutkan bahwasetiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban”. UU ini juga telah diturunkan dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3 tahun 2016 tentang Pelatihan Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis Dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

 

Permenkes tersebut menyebutkan pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab harus diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan Menteri. Fasilitas yang dimaksud ialah puskesmas, klinik pratama, klinik utama atau yang setara, dan rumah sakit. Namun hingg kini, tidak ada fasilitas kesehatan yang ditegaskan atau ditunjuk sebagai pengampu layanan sesuai dengan Peraturan dimaksud. Hal ini kemudian menghambat pemenuhan hak perempuan korban perkosaan memperoleh layanan yang komprehensif. Dalam kasus kehamilan akibat pemerkosaan, meskipun peraturan per-UU tidak menetapkan persyaratan khusus, dalam praktiknya petugas kesehatan masih  meminta persetujuan hakim untuk melegalkan aborsi. Proses legalisasi ini dapat memakan waktu lebih lama dari usia kehamilan yang diperbolehkan aborsi sesuai UU.

 

Mengacu pada UU Kesehatan dan peraturan pelaksananya, maka pertama, seharusnya pemerintah dapat menyediakan/menunjuk layanan Kesehatan penyedia layanan aborsi aman khusus untuk korban perkosaan. Apabila  korban karena berbagai hal meneruskan kehamilan, maka kedua, menjadi urgen bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban atas perawatan selama kehamilan, kelahiran bahkan hingga proses adopsi apabila diperlukan. Apabila kedua hal tersebut tidak dapat dipenuhi maka hal ini menunjukkan pengabaian negara terhadap kebutuhan perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KtD). Situasi ini tentunya bertentangan dengan mandat Konstitusi RI Pasal 28I Ayat (4) yang mengatur bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama Pemerintah. Amanah ini kemudian diperkuat oleh Rekomendasi Umum No 19, 24 dan 35 dari Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW); Konvensi yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984.

 

Mempertimbangkan situasi kondisi di atas dan menggunakan momentum Hari Aborsi Aman Internasional, Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya mewujudkan akses dan layanan aborsi aman bagi perempuan korban perkosaan. Hari Aborsi Aman Internasional pertama kali dirayakan sebagai hari dekriminalisasi aborsi di Amarika Latin dan Karibia tahun 1990. Pada 2011, Womens Global Network for Reproductive Rights (WGNRR) bergabung serta menetapkan 28 September sebagai tanggal untuk aksi dan kampanye dalam rangka memperingati dua instrumen hukum yang menandai penghapusan perbudakan di Brazil. Pertama, UU Rio Branco yang disahkan pada 28 September 1871 dan UU Saraiva-Cotegipe yang disahkan pada 28 September 1885. Kesepakatan itulah yang kemudian menjadi momentum global untuk aborsi aman legal.

 

Berkaitan dengan itu, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi pada:

  1. DPR RI untuk mempercepat proses pembahasan dan segera mengesahkan RKUHP untuk menjamin agar perempuan korban perkosaan dalam mengakses layanan aborsi aman dan tidak dikriminalisasi;
  2. Kementerian Kesehatan untuk mempercepat pelatihan tenaga medis dan menunjuk fasilitas kesehatan penyedia layanan aborsi aman dalam rangka memenuhi hak perempuan korban perkosaan;
  3. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk segera menghadirkan kebijakan nasional tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) SPPT PKKTP agar lembaga penegak hukum dan lembaga layanan dan pemulihan dapat lebih optimal dalam bekerja sama dan berkoordinasi dengan cepat untuk membantu korban perkosaan;
  4. Media dan masyarakat luas untuk turut serta dalam mengawal dan memastikan kebijakan terkait akses dan layanan aborsi aman bagi korban perkosaan segera terwujud serta dalam upaya menghapus stigma dan diskriminasi pada perempuan korban perkosaan yang ingin mengakses layanan aborsi aman.

 

 

 

Narasumber:

 

Retty Ratnawati

Satyawanti Mashudi

Theresia Iswarini

Maria Ulfah Anshor

Andy Yentriyani

 

Narahubung

Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)



[1] CATAHU 2019 Komnas Perempuan: Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018. Diunduh dari https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021

[2] Setia Pranata & FX. Sri Sadewo. 2012. Kejadian Keguguran, Kehamilan Tidak Direncanakan Dan Pengguguran Di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


Pertanyaan / Komentar: