Siaran Pers
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Memperingati Hari Internasional Perempuan Pembela HAM
“Lindungi Perempuan Pembela HAM dari Berbagai Upaya Kriminalisasi”
Komnas Perempuan, 29 November 2021
Merespon situasi penuh resiko Perempuan Pembela HAM (PPHAM) dan dalam rangka Peringatan Hari
Internasional Perempuan Pembela HAM,
29 November 2021 ini,
Komnas Perempuan memberikan apresiasi dan terima kasih untuk PPHAM yang terus
berjuang mempromosikan hak perempuan dalam berbagai situasi sulit dan terbatas. Kerja-kerja PPHAM termasuk dalam kategori kerja dengan risiko berbahaya
karena rentan mengalami ancaman,
kekerasan bahkan kriminalisasi.
PPHAM menghadapi ancaman dan serangan yang berbeda dibandingkan dengan lelaki. Pemantauan Komnas Perempuan menemukan terdapat 19 bentuk kerentanan dan kekerasan yang menimpa Pembela HAM. Terdapat 10 (sepuluh) bentuk kerentanan dan kekerasan hanya khusus dialami oleh PPHAM dan 9 (sembilan) lainnya juga dialami oleh pembela HAM yang laki-laki. PPHAM berhadapan dengan kerentanan dan kekerasan khusus yang muncul dalam dua bentuk. Pertama, serangan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan yang merupakan elemen utama penilaian kesucian dan harga diri perempuan di dalam masyarakat yang patriarki. Karenanya tubuh dan seksualitas ini tidak henti-hentinya dijadikan sebagai obyek kekerasan. Kedua, serangan terhadap perempuan atas dasar stereotip dan atas dasar peran jendernya (https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/perempuan-pembela-ham-berjuang-dalam-tekanan)
Komnas Perempuan mendefinisikan PPHAM sebagai setiap orang, baik laki-laki
maupun perempuan, yang bekerja untuk mengadvokasi hak-hak perempuan maupun
perempuan yang bekerja untuk mengadvokasi HAM pada umumnya. Mereka berjuang
tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk keluarga, masyarakat bahkan
negara. Dalam realitanya, perjuangan mereka tidak lepas dari berbagai upaya
pembungkaman bahkan penghentian pembelaan. Konstitusi Indonesia UUD 1945 28C ayat (2), menyatakan: setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Jaminan hak konstitusional ini melingkupi pula
kerja-kerja untuk memajukan dan memperjuangkan hak asasi perempuan di
komunitas, masyarakat dan negara. Namun demikian, para Perempuan Pembela HAM berpotensi untuk mendapatkan kekerasan (fisik, psikis atau seksual) dan kriminalisasi atas kerja-kerja pembelaan HAM. Oleh
karena itu, saatnya negara membangun mekanisme perlindungan
terhadap PPHAM sebagai bagian dari pemenuhan hak konstitusional warga negara
perempuan.
Komnas
Perempuan mencatat sepanjang 2018-2021 terdapat 15 kasus kriminalisasi terhadap
PPHAM, atas kerjanya baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dalam komunitas dalam memperjuangkan hak asasi manusia termasuk hak asasi perempuan. Kriminalisasi terjadi di berbagai segi yaitu sumber daya alam, gerakan anti korupsi, kekerasan berbasis gender,
buruh, dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination). Mereka
bekerja sebagai advokat, pendamping korban, aktivis buruh, ibu rumah tangga,
mahasiswa, guru SMA, dan Ketua RT. Pasal-pasal yang disangkakan diantaranya
adalah tindak pidana melakukan kekerasan terhadap barang (Pasal 170 KUHP),
penganiayaan (pasal 351 KUHP), penghasutan (Pasal 160 KUHP), makar (Pasal 107
KUHP), dan
penyebaran kabar bohong, penghinaan atau pencemaran nama baik melalui ITE (UU
ITE). Secara
khusus UU ITE digunakan untuk mengkriminalkan upaya para pendamping korban
kekerasan seksual yang menyuarakan hambatan keadilan kasus kekerasan seksual
yang didampinginya. Kondisi ini telah menyebabkan korban maupun pendamping
bungkam sehingga mengakibatkan terhambatnya akses keadilan dan pemulihan korban.
Dampak kriminalisasi lainnya
misalnya menyebabkan sejumlah anak putus sekolah/ kuliah, hilangnya rasa aman
keluarga, teralihkannya kasus pelanggaran hak asasi-nya dan menjauhkan akses
keadilan dan pemulihan korban dan keluarganya. Dalam kasus kriminalisasi akibat
kerja-kerja advokasi lingkungan dan sumber daya alam dampaknya adalah terjadi
pemiskinan terhadap perempuan dari sumber daya produksi yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Sesungguhnya, pada tingkat internasional, Deklarasi
tentang Pembela Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 telah mengakui peran penting dari pembela
HAM, termasuk PPHAM. Hal ini diperkuat melalui Deklarasi Marakesh yang memandatkan
kepada Negara Pihak untuk terus memajukan narasi positif tentang HAM dan peran
sah Pembela HAM khususnya PPHAM. Demikian pula berbagai laporan pelapor khusus
kekerasan terhadap perempuan maupun rekomendasi umum Komite CEDAW mengingatkan
pentingnya perlindungan PPHAM dari kekerasan baik yang dilakukan pelaku perorangan,
organisasi yang mengatasnamakan agama, atau negara sendiri, baik yang dilakukan
secara langsung maupun melalui ruang siber.
Sedangkan pada tingkat nasional, kerja-kerja PPHAM
merupakan upaya membantu negara dalam memenuhi hak asasi perempuan yang dijamin
oleh UUD 1945 dan UU HAM. Secara sektoral, PPHAM yang memberikan bantuan hukum
dijamin dalam UU Advokat dan UU Bantuan Hukum, diisu sumberdaya alam dijamin melalui UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Meski demikian, masih terdapat kekosongan hukum untuk PPHAM yang tidak
berprofesi sebagai advokat termasuk saksi dan/atau korban yang tidak
terlindungi LPSK untuk dikrimininalisasi.
Terhadap hal-hal diatas, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada sejumlah institusi untuk melakukan dan mengupayakan langkah-langkah sebagai berikut:
1)
DPR RI untuk segera
mengusulkan RUU Perlindungan Pembela HAM sebagai RUU Prioritas Legislasi
Nasional;
2)
Panja DPR RI untuk
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual mempertahankan pasal yang memberikan
perlindungan kepada korban dan pendamping korban untuk tidak dikriminalisasi
atas upaya-upaya pembelaan yang dilakukannya
3)
Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan, untuk memperkuat pemahaman dan kapasitas terkait
penanganan terhadap PPHAM dan tidak menggunakan aturan-aturan hukum untuk
tujuan yang bertentangan dengan nilai keadilan dalam masyarakat.
4)
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk mensosialisasikan
peran penting Perempuan Pembela HAM dan mendorong adanya kebijakan yang
melindungi mereka.
5)
Komnas HAM, Komnas Perempuan dan LPSK membangun
mekanisme perlindungan terpadu bagi PPHAM untuk menjawab kekosongan payung
hukum nasional.
6)
Organisasi Profesi Advokat, Organisasi Bantuan
Hukum dan lembaga layanan korban melengkapi mekanisme kerja pembelaan hak asasi
perempuan dengan sistem keamanan pembela HAM sebagai bagian pencegahan
kekerasan dan kriminalisasi.
Narasumber:
1. Theresia Iswarini
2. Siti Aminah Tardi
3. Olivia Ch.
Salampessy
Narahubung :
Chrismanto Purba (chris@komnasperempuan.go.id)