Siaran Pers Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan Memperingati Hari Anti Penyiksaan

todayKamis, 26 Juni 2025
26
Jun-2025
39
0

“#NoJusticeInPain:Mengakhiri Penyiksaan sebagai Prasyarat Keadilan”

Jakarta,25 Juni 2025

Peringatan Hari Anti PenyiksaanInternasional secara resmi disebut InternationalDay in Support of Victims of Torture yang jatuh setiap tanggal 26 Juni,enam lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasamauntuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP), yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia(Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KomnasPerempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga PerlindunganSaksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi NasionalDisabilitas (KND) menyuarakan kembali komitmen bersama untuk mencegah danmenghapuskan praktik penyiksaan di seluruh wilayah Indonesia.

Tema kampanye tahun ini, “Indonesia tanpa Penyiksaan: #NoJusticeInPain”, menegaskan bahwatidak ada keadilan yang dapat dibangun di atas penderitaan. Penyiksaan bukanhanya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tetapi jugamenghancurkan fondasi kepercayaan publik terhadap sistem hukum, keamanan, dankeadilan. Dalam konteks ini, KuPP mendorong negara untuk memastikan bahwaseluruh institusi penegak hukum dan lembaga pemasyarakatan terbebas daripraktik penyiksaan, kekerasan, atau perlakuan yang merendahkan martabatmanusia.

KuPP menegaskan bahwa pencegahanpenyiksaan hanya dapat dicapai melalui langkah-langkah yang komprehensif danberkesinambungan, antara lain dengan memastikan adanya transparansi danpengawasan independen—termasuk pemberian akses bagi lembaga pengawas ke tempat-tempatpenahanan atau tempat-tempat serupa tahanan—serta penegakan hukum yang tegasterhadap para pelaku penyiksaan. Di samping itu, negara juga wajib menjaminpemulihan dan perlindungan bagi korban melalui penyediaan layanan psikologisdan bantuan hukum, mendorong pendidikan serta pelatihan hak asasi manusia bagiaparat penegak hukum, dan memperkuat partisipasi aktif masyarakat dalammemantau serta melaporkan berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi.

Lebih lanjut, keenam lembaga yangtergabung dalam KuPP menyampaikan sorotan, temuan, dan rekomendasi berdasarkanmandat masing-masing, sebagai bagian dari komitmen bersama untuk mencegah danmenghapus praktik penyiksaan, sebagai berikut:

KomnasHAM: Praktik PenyiksaanMasih Sering Terjadi

Selama tahun 2024, Komnas HAM masihmenerima 17 aduan terkait Penyiksaan. Jumlah ini menambah angka pengaduan sejak2020 menjadi 282 aduan/kasus. Korban perorangan, tahanan, dan masyarakatmenjadi korban yang diduga mengalami penyiksaan. Beberapa praktik penyiksaanditemukan dalam isu pengungsi dalam negeri (IDPs), kelompok minoritas agama,pengungsi luar negeri (refugees), konflik SDA, femisida, korban TPPO danpenderita kusta.

Adapun wilayah aduan peristiwa tersebarhampir di seluruh wilayah di Indonesia, namun wilayah terbanyak dilaporkanterjadi di Sumatera Utara (47 aduan), DKI Jakarta (25 aduan), Sumatera Selatan(21 aduan), Sumatera Barat (19 aduan), dan Jawa Tengah (18 aduan). Dugaanpelanggaran atas hak rasa aman menjadi tertinggi dari peristiwa yang diadukanke Komnas HAM sebanyak 152 aduan (total periode), hak memperoleh keadilan (74aduan) dan hak untuk hidup (52 aduan)

Terkait aduan ini, pihak POLRI menjaditerbanyak yang diadukan dalam dugaan penyiksaan (15 aduan pada 2024 dengantotal 176 aduan sejak 2020-2024), disusul TNI (2 kasus dengan total 15 kasus)dan lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan (10 kasus).

Komnas HAM memberikan atensi terhadapdugaan kekerasan dan/atau penyiksaan oleh aparat yang masih saja diadukan dalamkurun waktu 2020 - 2024. Dugaan penghilangan nyawa atau penganiayaan olehaparat menjadi peristiwa tertinggi yang dilaporkan kepada Komnas HAM dalam isuPenyiksaan (72 kasus). Selain itu, kekerasan terhadap tahanan dan/ataunarapidana masih kerap terjadi dan menjadi tertinggi ke-2 terkait tipologitindakan dalam Penyiksaan (61 kasus), disusul interogasi dalam tahapanpemeriksaan diduga masih saja menggunakan tindak penyiksaan (58 kasus).

Selama tahun 2025, Ketua Komnas HAMAnis Hidayah masih menemukan beberapa hal yang perlu diperbaiki diantaranyamasih ditemukan over kapasitas di ruang penahanan, pendampingan hukum sertakekerasan seksual tahanan perempuan oleh Aparat negara yang seharusnyapengemban kewajiban perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi warganegaranya.

Maka dari itu Komnas HAM RImerekomendasikan adanya program komprehensif peningkatan pemahaman hak asasimanusia kepada aparat penegak hukum, baik itu aparat kepolisian, Jaksa, Hakim,termasuk juga aparat yang berwenang menjaga tahanan atau serupa tahananlainnya.

Komnas HAM kembali menekankan peran dantanggung jawab Negara sebagai Negara pihak untuk menjamin bahwa tindakanpenyiksaan diatur dalam ketentuan hukum pidana. Negara harus mengambillangkah-langkah legislatif, administrasi, hukum dan langkah efektif lainnyauntuk mencegah penyiksaan. Negara harus mengawasi secara sistemik terhadapperaturan yang terkait potensi terjadinya penyiksaan, seperti interogasi,metode, kebiasaan, penahanan dan bentuk peraturan lainnya. Setiap bentuk tindakpenyiksaan harus diberikan hukuman yang setimpal dan memberi jaminan ganti rugiterhadap korban atas kompensasi yang adil dan layak dan tidak bolehdikurangi. 

Untuk itu, Komnas HAM mendorong langkah-langkah konkrit daripemerintah, seperti penguatan pengawasan internal dan eksternal terhadapaparat, reformasi pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dengan perspektifHAM, serta pengesahan Rancangan Undang-Undang Anti Penyiksaan yang hingga kinibelum menjadi prioritas legislasi. Selain itu, penting pula membuka ruang bagipartisipasi masyarakat sipil dalam memantau dan mengadvokasi upaya penghapusanpenyiksaan di Indonesia.

KomnasPerempuan: Soroti Penyiksaan Seksual dan Kekerasan Seksual oleh Aparat
KomnasPerempuan memberikan perhatian khusus terhadap praktik-praktik penghukuman atauperlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia,dengan menjadikan isu ini sebagai salah satu isu prioritas. Catatan TahunanKomnas Perempuan mencatat sebanyak 13 kasus penyiksaan seksual di tahun 2024,dan ditemukan praktik berupa kekerasan, pelecehan fisik dan verbal yangbersifat seksual dalam proses penangkapan, penyelidikan hingga penahanan olehaparat penegak hukum.

Pada saat aksi massa peringatan HariBuruh Internasional 1 Mei 2025 aparat tercatat melakukan pelecehan seksualverbal hingga fisik terhadap mahasiswa perempuan yang sedang menyuarakanpendapat. Ancaman dan teror terhadap para pembela HAM perempuan yang menyuarakanpendapatnya pada kasus Proyek Strategis Nasional (PSN)  di Merauke dan Mandalika, juga dilaporkan keKomnas Perempuan. 

“Praktik perlakuan yang kejam, tidakmanusiawi dan merendahkan martabat manusia bila dibiarkan akan menjadi situasiyang kondusif untuk menimbulkan praktek penyiksaan,” tegas Sondang Frishka,Komisioner Komnas Perempuan.

“Penyiksaan seksual merupakan bentukkekerasan berbasis gender yang sangat serius dan tidak dapat ditoleransi dalamnegara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Negara wajib hadir untukmenghentikan impunitas, membongkar praktik penyiksaan, dan memastikan bahwainstitusi penegak hukum tidak menjadi pelaku pelanggaran HAM terhadapperempuan,” tambah Sondang.

KPAI:Reviktimisasi Anak adalah Penyiksaan yang Tak Terlihat

KPAI menyoroti fenomena reviktimisasianak, yakni pengulangan penderitaan atau trauma korban, baik secara langsung,sistemik, maupun internal sebagai bentuk penyiksaan yang sering kali tidakkasat mata, namun berdampak sangat panjang bagi kehidupan anak.

“Reviktimisasi terjadi ketika anaktidak hanya menjadi korban kekerasan fisik, tapi juga dihadapkan pada sistemyang tidak berpihak. Misalnya, interogasi berulang, tatap muka dengan pelaku,hingga stigma sosial yang membuat anak merasa bersalah atas kekerasan yangdialaminya,” ujar Dian Sasmita, Anggota KPAI.

Sepanjang 2023 hingga Maret 2025, KPAImencatat setidaknya 8 kasus penyiksaan oleh aparat terhadap anak, serta 9 kasuskekerasan seksual oleh aparat kepolisian dan 4 kasus oleh pejabat publik. KPAImenyebut data ini hanyalah puncak gunung es dari praktik penyiksaan terhadapanak yang sering luput dari perhatian publik dan sistem keadilan.

KPAI menekankan bahwa pencegahanpenyiksaan terhadap anak harus dimulai dari: (1) Sistem hukum yang sensitifterhadap anak, dengan pelatihan aparat, (2) Layanan terpadu dan rehabilitasiberkelanjutan, agar anak tidak hanya pulih fisik tapi juga psikis dan sosial,(3) Peran aktif keluarga, masyarakat, dan sekolah dalam mendeteksi sertamencegah kekerasan, (4) Keterlibatan media untuk mengedukasi publik tanpamenyudutkan korban.

“Tidak ada keadilan dalam rasa sakit.Negara tidak boleh membiarkan satu anak pun menjadi korban penyiksaan baiksecara langsung maupun sistemik. Dalam negara hukum, setiap anak berhak untukhidup aman, bebas dari kekerasan, dan tumbuh dalam lingkungan yang melindungihak-haknya,” tegas Dian.

KPAI menyerukan kepada semua pihakpemerintah, aparat penegak hukum, lembaga layanan, masyarakat, dan media untukbersama-sama membentuk sistem perlindungan yang kuat, terpadu, dan berpihakpada korban.

“Penyiksaan terhadap anak adalahpelanggaran HAM berat. Sudah saatnya kita mengakhiri impunitas dan membangunekosistem perlindungan yang mencegah reviktimisasi,” tutup Dian.

KND:Penyandang Disabilitas Hadapi Risiko Tinggi Penyiksaan dalam Proses Hukum

Adapun KND menambahkan bahwaproses-proses rehabilitasi penyandang disabilitas sering menempatkan penyandangdisabilitas pada tempat-tempat serupa tahanan, pemasungan, serta proses delay justice karena ketidakpahamanaparat penegak hukum dalam penanganan penyandang disabilitas yang berhadapandengan hukum. Kondisi ini menyebabkan penyandang disabilitas mengalami multikerentanan terhadap penyiksaan atas kedisabilitasannya.

“negara dan representasinya harus pahamhambatan ragam disabilitas, agar penanganan penyandang disabilitas sesuaidengan prinsip-prinsip hak asasi manusia,” tegas Jonna Aman Damanik

LPSK:Perlindungan dan Pemulihan Korban Penyiksaan Harus Diberikan Sejak Dini

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksidan Korban (LPSK) Susilaningtias menekankan upaya perlindungan dan pemulihanbagi korban penyiksaan, harus dilakukan secara cepat dan sedini mungkin. Halitu perlu dilakukan karena berkaitan dengan kondisi fisik dan psikologisindividu. Begitu juga dengan saksi yang berkaitan dengan perkara penyiksaan,penting untuk diberikan perlindungan sejak awal terjadinya kasus.

Permohonan perlindungan kepada LPSKdalam tindak pidana penyiksaan tahun 2024 meningkat paling signifikan di antaratindak pidana lainnya, mencapai 204% dari 24 permohonan pada 2023, menjadi 73permohonan setahun setelahnya. Sedangkan perlindungan diberikan kepada 49 orangsaksi dan/atau korban dari kasus penyiksaan. Angka perlindungan ini jugameningkat dibandingkan 2023, yang hanya 10 orang, didominasi berstatus saksi.

“Negara wajib menjamin pemulihan danperlindungan bagi korban melalui penyediaan layanan psikologis dan bantuanhukum, mendorong pendidikan serta pelatihan hak asasi manusia bagi aparatpenegak hukum, dan memperkuat partisipasi aktif masyarakat dalam memantau sertamelaporkan berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi,” ungkap Susi.

Dalam pelaksanaan perlindungan, salahsatu bentuk perlindungan LPSK adalah pemenuhan hak prosedural terhadap saksidan/atau korban, berupa pendampingan dari LPSK saat saksi dan/atau korbanmemberikan keterangan pada setiap tahapan proses hukum.

Pengetahuan dan keberanian masyarakatmelaporkan kejadian penyiksaan, menjadi tantangan terkait jumlah permohonanperlindungan ke LPSK. Selain itu, adanya faktor intimidasi yang ditujukankepada keluarga korban agar tidak melakukan tuntutan hukum, juga merupakanfenomena yang kerap ditemukan, sehingga sebagian besar korban hanya bisa pasrahdengan kejadian yang menimpa mereka. Berdasarkan pengalaman dan kendala yangdihadapi, diperlukan pemahaman yang sama mengenai penyiksaan oleh semua pihak.

Selain itu, diperlukan keputusan atauperaturan presiden yang memastikan usaha pencegahan terhadap praktik penyiksaanserta program pemulihan bagi korban penyiksaan serta aturan khusus dalampenanganan perkara penyiksaan dengan memperhatikan hak korban serta efeksosial. Sebab, bisa saja dalam penanganannya, apabila dilakukan oleh oknum ditingkat daerah, penanganan perkaranya dapat dialihkan pada satu atau duatingkat lebih tinggi diatasnya, sehingga meminimalisir adanya konflikkepentingan di dalamnya.

Hal lain yang perlu diperhatikan, tahundepan, KUHP baru akan mulai diberlakukan. Dalam satu pasalnya mengatur mengenaipenyiksaan sebagai tindak pidana. Di sisi lain, para penyidik, aparat penegakhukum, dan/atau aparatur negara lainnya belum sepenuhnya memahami hal tersebut.

“Praktik penyiksaan dalam penyidikanuntuk mendapatkan keterangan dari pelaku kejahatan masih kerap terjadi.Diperlukan usaha bersama untuk memperkuat perspektif dan metode dalammendapatkan keterangan saat penyidikan melalui metode crime scientific investigation,tanpa harus melakukan penyiksaan,” lanjutnya seraya menambahkan, ke depan perluusaha lebih besar dari banyak pihak untuk melakukan sosialisasi mengenai tindakpidana penyiksaan yang mulai diterapkan pada KUHP baru tahun 2026 mendatang.

OmbudsmanRI: Penyiksaan Bukan Sekadar Maladministrasi, Tapi Kejahatan HAM Serius

Sementara itu, Perbuatan penyiksaan danpenghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yangdilakukan oleh atau sepengetahuan aparat penegak hukum, tidak sekedar tindakan“maladministrasi”, tapi benar-benar melanggar hukum dan hak asasi manusia.Mereka yang sedang berhadapan dengan hukum baik sebagai tersangka, terdakwa,maupun yang sudah berstatus narapidana, tetap melekat pada mereka hak-hakfundamental untuk diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabatnyasebagai manusia.

MenkoPolkam, Menkokumham Imipas,Kapolri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Menteri Imipas, Menteri HAM, Menteri Hukum,dan semua pimpinan K/L harus menunjukkan langkah yang konkrit dan serius dalamupaya pencegahan penyiksaan dan perlakuan yang kejam dan merendahkan martabatmanusia. Kapolri harus dapat memastikan jajarannya, khususnya penyidik, untukmeninggalkan cara-cara lama yang tidak relevan lagi (dan melanggar HAM) dalammengungkap suatu tindak kejahatan. Mengejar “pengakuan” tersangka dengan tindakkekerasan/penyiksaan adalah “peradaban masa lalu” yang justru merendahkanmartabat institusi penegakan hukum, sekaligus hal ini tidak memberikan hasilyang dapat diandalkan, dapat merusak upaya pengumpulan data/pemeriksaanselanjutnya, dan dapat mendorong tersangka untuk mengatakan apa pun yangmenurutnya ingin didengar oleh penyelidik. Ujung-ujungnya adalah ketidakadilanatau “peradilan yang sesat”.

Maka diperlukan ketegasan Penuntut Umumdan Pengadilan untuk dapat menghukum pelaku penyiksaan dan perlakuan yangkejam, seberat-beratnya; lebih-lebih ketika dilakukan oleh APH. Proses hukumterhadap mereka harus transparan dan akuntabel. Sudah saatnya instansi penegakhukum “membersihkan” diri dari APH yang merusak citra institusi penegak hukum.

Dari aspek tata kelola aduan, semuainstitusi penegakan hukum yang merampas kebebasan seseorang karena persoalanhukum, wajib untuk membuka akses seluas-luasnya bagi mereka,  keluarga dan masyarakat untuk menyampaikanaduan dan laporan ke Lembaga/Instansi pengawas, baik internal maupun eksternal,termasuk ke Ombudsman RI. Divisi Propam harus berani tegas dalam menindakanggotanya yang melanggar, apalagi tindakan yang dapat dikategorikan penyiksaanatau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Aduan tindak kekerasan aparatharus ditindaklanjuti secara profesional dan memenuhi rasa keadilan.

Ombudsman RI menanti lahirnya “wajahbaru” penegakan hukum yang adil, transparan, dan jauh dari tindakan-tindakanpenyiksaan, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabatmanusia. Cukuplah 27 tahun menanti, implementasi UNCAT secara konsisten.

Terakhir, Ombudsman RI mendorongpemerintah untuk segera merealisasikan pembentukan NPM sekaligus meratifikasiProtokol Opsional CAT (Opcat), agar langkah-langkah pencegahan penyiksaan dapatmakin jelas, kuat, dan berdampak.

KuPP mengajak seluruh pemangkukepentingan—pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, media, dan individu warganegara—untuk mengambil bagian dalam kampanye "Indonesia tanpaPenyiksaan". Hentikan praktik penyiksaan di semua lini. Karena tidak adakeadilan dalam rasa sakit.

Narahubung: 081389371400

Pertanyaan/Komentar
clear
clear
location_on
Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310
call
Nomor Telpon/Fax
+62-21-3903963
+62-21-3903922 (Fax)
mail
Surat Elektronik
public
Ikuti Kami
privacy_tip
Disclaimer
Semua materi didalam website komnasperempuan.go.id diperuntukan bagi kepentingan HAM khususnya dalam Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Copyright © 2023. Komnas Perempuan