”PerkuatPencegahan, Penanganan dan Pemulihan Korban Perdagangan Manusia di Era Digital”
Jakarta, 30 Juli 2025
Dalam rangka memperingati Hari Internasional Menentang Perdagangan Manusia,Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkanbahwa bentuk, modus dan tujuan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terusberkembang, semakin kompleks, dan tidak selalu dikenali. Perkembangan modus,tujuan, dan cara kerja TPPO kian sulit dikenali karena terus bertransformasi,termasuk melalui teknologi digital. Untuk itu, Komnas Perempuan mendesak negaramemperkuat kebijakan dan layanan yang responsif, adaptif, dan berpusat padakorban.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020–2024 mencatat sedikitnya 267kasus TPPO yang melibatkan perempuan sebagai korban, mencakup berbagai bentukeksploitasi, seperti kerja paksa, eksploitasi seksual, penjualan organ,pengantin pesanan, hingga perekrutan sebagai kurir narkotika lintas negara.
Dalam dua tahun terakhir, muncul modus baru yang memanfaatkan teknologidigital, seperti pemaksaan menjadi operator judi daring dan pelaku penipuanonline (scammer). Perempuan kerap direkrut melalui media sosial, aplikasi pesaninstan, dan situs lowongan kerja palsu. Data pemantauan Komnas Perempuan jugamenunjukkan adanya interseksi antara TPPO dan penyelundupan narkotika lintasnegara, serta keterkaitannya dengan berbagai bentuk kekerasan terhadapperempuan.
Seluruh pengalaman ini memperlihatkan bahwa TPPO tidak bisa dilepaskan darikonteks ketimpangan relasi kuasa, kemiskinan struktural, dan diskriminasiberbasis gender yang memperbesar kerentanan perempuan terhadap eksploitasilintas batas.
“Perdagangan orang, termasuk perempuan, semakin tersembunyi di balik wajahbaru eksploitasi digital dan lintas negara. Negara tidak boleh abai. Responsharus adaptif terhadap modus, tujuan dan pola baru TPPO, serta harus berpihak pada korban, dibangun melalui pengalaman nyata perempuan yangtereksploitasi,” tegas Komisioner Yuni Asriyanti.
Komnas Perempuan menyoroti masih terjadinya praktik kriminalisasi terhadapkorban TPPO. Banyak perempuan korban justru dipermasalahkan dokumennya,dideportasi, atau dikriminalisasi akibat situasi eksploitasi yang dialaminya.
Padahal, Prinsip Non-Pemidanaan terhadap Korban TPPO (The Principleof Non-Punishment of Victims of Trafficking in Persons) yang tertera dalamberbagai instrumen HAM internasional, termasuk Konvensi ASEAN, menegaskan bahwanegara wajib melindungi korban, bukan menghukumnya.
“Kriminalisasi terhadap korban perdagangan orang adalah bentuk kekerasanlanjutan. Negara seharusnya menjadi pelindung, bukan justru memperparah lukakorban melalui pemidanaan atau deportasi,” tegas Komisioner Devi Rahayu.
Komnas Perempuan mengingatkan General Recommendation No. 38 dari KomiteCEDAW, yang menegaskan bahwa TPPO harus dipahami dalam kerangka keadilan gender,sebagai bagian dari ketimpangan struktural dan kekerasan terhadap perempuan.
Negara wajib mencegah TPPO melalui regulasi pasar kerja, perlindungansosial, pendidikan, literasi digital, serta menjamin pemulihan yang bermartabattanpa diskriminasi, termasuk bagi korban yang tidak berdokumen. Pendekatanpenanganan TPPO harus berbasis pengalaman korban, partisipatif, serta tidakhanya fokus pada penindakan pelaku. Komnas Perempuan juga mendorong pemulihankorban harus menekankan padapemenuhan hak-hak korban secara komprehensif.
KomisionerIrwan Setiawan, Ketua Gugus Kerja Perempuan Pekerja Komnas Perempuan,menegaskan sudah saatnya dilakukan pengkajian ulang terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak PidanaPerdagangan Orang, agar mampu merespons perkembangan modus, tujuan, dan carakerja perdagangan orang yang semakin kompleks dan tidak konvensional.
“Negara perlubergeser dari pendekatan semata represif ke arah kebijakan pencegahan danpemulihan yang komprehensif termasuk pembaruan UU TPPO agar selaras dengandinamika eksploitasi yang semakin canggih dan tak konvensional,” pungkasnya.
Narahubung: Elsa Faturahmah(081389371400)