“Tindakan Intolernasi yang terus berulang, berdampak padaPerempuan: Negara Wajib Memberikan Penanganan Secara Serius dan Berkelanjutan”
Jakarta, 5 Agustus 2025
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)mengecam terulangnya peristiwa intoleransi yang terjadi di sejumlah wilayah. Sepanjang tahun 2025, Komnas Perempuan telahmendokumentasikan sedikitnya 8 (delapan) kasus intoleransi. Setelah sebelumnyaterjadi di Sukabumi dan Depok, peristiwa serupa kembali terjadi di Padang pada27 Juli 2025. Insiden tersebut berupa persekusi terhadap jemaat Gereja KristenSetia Indonesia (GKSI) yang sedang beribadah di rumah doa yang berlokasi diKelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang.
Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar, mengingatkan Pemerintah danPemerintah Daerah akan kewajiban mereka untuk melakukan pembinaan kepada warga,terutama dalam menjaga kerukunan umat beragama sebagaimana diamanatkan dalamPasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerahdan pencegahan konflik, sehingga dapat melakukan langkah-langkah antisipasiterjadinya tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga.
Komnas Perempuan mendesak Negara, dalam hal ini Pemerintah, PemerintahDaerah, dan Aparat Penegak Hukum, dengan tugas dan fungsinya wajib melakukanlangkah-langkah penanganan yang diperintahkan oleh sejumlah Undang-Undang ditingkat Nasional antara lain rekonsiliasi dan pemulihan yang terencana, terpadudan berkelanjutan.
Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, juga mengingatkan bahwadalam langkah-langkah penanganan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sertaAparatur Penegak Hukum melibatkan perempuan dan mendengarkan suara sertapengalaman perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menyatakan bahwa KomnasPerempuan mencatat adanya pola berulang dalam kasus-kasus intoleransi. Seringkali, persoalan tersebut disederhanakan hanya sebagai akibat darikesalahpahaman atau ketiadaan komunikasi. Padahal, pendekatan seperti inijustru berisiko menjadikan persoalan ini sebagai masalah yang sepele dan remeh,serta mengabaikan akar masalah yang serius.
Oleh karena itu, menurutnya, kewajiban dalam melakukan langkah-langlahpencegahan seharusnya menjadi prioritas yang serius di setiap daerah, terutamadalam mengembangkan ruang perjumpaan untuk mengenal dan mempertemukan komitmenmenghargai keberagaman, dan penyelesaian persoalan tanpa kekerasan, tindakanmain hakim sendiri, atau pelanggaran hukum.
Dahlia juga mengingatkan bahwa dalam catatan Komnas Perempuan dalam konteksterjadinya pelanggaran hak kebebasan beragama yang dihadapi oleh komunitas,perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan dan terdepanmenghadapi dampak dan trauma-trauma berkelanjutan.
Dengan demikian, keseriusan setiap pemerintah daerah dalam memetakanpotensi konflik dan benturan yang potensial terjadi tidak dapat ditawar ataupunditunda.
Narahubung: ElsaFaturahmah (081389371400)