Kertas kebijakan ini disusun sebagai respons atas dua persoalan mendasar yang perlu segera diatasi dalam rangka memastikan pelaksanaan KUHP 2023 sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan keadilan substantif. Pertama, belum adanya kepastian hukum terkait penerapan Pasal 100 dan 101 terhadap perempuan yang telah dijatuhi pidana mati sebelum berlakunya KUHP baru dan masih berada dalam masa tunggu eksekusi. Situasi ini menimbulkan ketidakjelasan dalam perlindungan hak atas hidup dan menghambat akses terhadap peluang perubahan hukuman sebagaimana diatur dalam ketentuan yang baru. Kedua, ketiadaan mekanisme yang sensitif gender dan berbasis pemenuhan hak korban dalam proses evaluasi perubahan hukuman bagi terpidana mati, khususnya bagi mereka yang telah menjalani masa tunggu lebih dari satu dekade, termasuk perempuan yang menghadapi kondisi kerentanan fisik, mental, dan sosial.
Kertas kebijakan ini terdiri dari enam (6) bagian yang saling melengkapi yaitu bagian pertama, menggambarkan situasi terkini pidana mati di tingkat global dan nasional, termasuk kondisi perempuan terpidana mati yang menghadapi kerentanan ganda. Bagian kedua mengkaji kerangka hukum internasional terkait hak atas pengubahan hukuman (komutasi) sebagai bagian integral dari perlindungan hak asasi manusia, serta menelaah proses legislasi dan kesiapan implementasi KUHP 2023. Bagian ketiga menyoroti praktik deret tunggu sebagai bentuk pelanggaran HAM yang berdampak jangka panjang, terutama bagi perempuan, dan dikaji dalam perspektif keadilan gender. Bagian keempat menelaah praktik deret tunggu di Indonesia, dengan fokus pada kondisi spesifik perempuan yang menjalani masa tunggu hukuman mati dan urgensi pemberian komutasi. Dan terakhir, bagian kelima menegaskan bahwa perempuan terpidana mati yang telah menjalani masa tunggu lebih dari 10 tahun memiliki dasar hukum dan kemanusiaan yang kuat untuk memperoleh perubahan hukuman menjadi penjara seumur hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 100 dan 101 KUHP 2023.