Laporan ini merekam pengalaman perempuan adat dalam menghadapi konflik pembangunan Bendungan Mbay/Lambo di Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bagi mereka, tanah bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan ruang hidup yang sakral, tempat identitas, sejarah, dan kehidupan komunitas berakar.
Pembangunan yang minim konsultasi telah menyingkirkan suara perempuan dari proses pengambilan keputusan, sekaligus memperdalam ketimpangan dan kekerasan simbolik yang mereka alami. Melalui laporan ini, suara perempuan adat diangkat sebagai pengingat bahwa pembangunan sejati harus berpihak pada keadilan, partisipasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.