Dua puluh lima tahun setelah Indonesia meratifikasi Convention against Torture (CAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998, praktik penyiksaan dan perlakuan kejam masih ditemukan dalam berbagai konteks penghukuman. Temuan Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP)—yang melibatkan Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, LPSK, ORI, dan KND—menggambarkan bahwa penyiksaan masih terjadi dalam proses hukum, dalam tahanan, maupun dalam praktik serupa tahanan. Temuan ini sebagian besar bersumber dari aduan masyarakat, visitasi, dan pemantauan pemberitaan media .
Dalam konteks hukuman mati, laporan Background Study 25th CAT (2022) yang disusun Komnas Perempuan bersama AJAR, STHI Jentera, dan Departemen Kriminologi UI menunjukkan bahwa hukuman mati tidak hanya mengandung unsur kejam, tetapi memuat dimensi penyiksaan yang sistematis. Tiga aspek utama menguatkan temuan tersebut:
Penyiksaan di awal proses hukum. Penangkapan dan pemeriksaan sering disertai pemaksaan, kekerasan fisik, dan tekanan untuk mengakui perbuatan.
Fenomena deret tunggu (death row phenomenon). Ketidakpastian eksekusi, kondisi sel yang tidak manusiawi, serta minimnya akses kesehatan memperburuk penderitaan fisik dan mental terpidana.
Risiko kesalahan peradilan (judicial error). Ketidaksempurnaan proses hukum menutup ruang koreksi, menandai hukuman mati sebagai bentuk perampasan nyawa yang berpotensi sewenang-wenang (extrajudicial killings) .
Komnas Perempuan memandang bahwa hukuman mati, terlebih dalam pengalaman perempuan, memuat lapisan persoalan tambahan, termasuk kerentanan gender, ketidakadilan struktural, relasi kuasa, serta kemungkinan keterlibatan dalam sindikat narkotika akibat situasi ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, studi kasus ini menjadi penting untuk menegaskan bahwa hukuman mati tidak dapat lagi dipandang sebagai sekadar penghukuman legal, tetapi sebagai praktik yang melanggengkan penyiksaan.
