Jambi, 22 Mei 2025 — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan serangkaian kegiatan sosialisasi dan pemetaan implementasi kebijakan pencegahan praktik sunat perempuan (P2GP) di Kota Jambi pada Rabu–Kamis, 21–22 Mei 2025. Pemilihan Kota Jambi didasarkan pada data Riskesdas 2013 yang menempatkan Jambi di peringkat ke-9 dalam prevalensi praktik sunat perempuan di Indonesia.
Kegiatan dimulai dengan kunjungan ke Dinas Kesehatan dan UPTD Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan Perempuan dan Anak (DPMPPA) Kota Jambi. Dalam kunjungan tersebut, Komnas Perempuan melakukan dialog kebijakan terkait perkembangan program pencegahan sunat perempuan.
Pada hari yang sama, dialog dan sosialisasi kebijakan juga dilakukan bersama Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) dan Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) Kota Jambi, yang menjadi mitra strategis dalam penguatan dukungan dari ormas keagamaan.
Puncak kegiatan berlangsung pada Kamis, 22 Mei, melalui forum diskusi terfokus (FGD) yang melibatkan unsur pemerintah, organisasi keagamaan, akademisi, organisasi perempuan, tokoh adat, ulama, tenaga kesehatan, dan kelompok pemuda.
Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, dalam paparannya menegaskan bahwa sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia serta kesetaraan gender. “Penghapusan praktik sunat perempuan merupakan amanat konstitusi. Setiap warga negara berhak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan,” tegasnya.
Diskusi juga dihadiri oleh Nadiyah, Ketua TP-PKK Kota Jambi, yang juga menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Muhammad Azim (IAIMA) dan Ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kota Jambi. Ia menekankan bahwa sunat perempuan bukan tradisi yang harus dilestarikan. “Sunat perempuan bukan tradisi, tapi pelanggaran terhadap hak atas tubuh. Hormati perempuan, hargai dia,” ujarnya.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Jambi, Harnita, menyampaikan bahwa praktik sunat perempuan di Kota Jambi mengalami penurunan signifikan. “Kami telah memberikan penyuluhan kepada bidan dan tenaga kesehatan di puskesmas agar tidak menerima permintaan sunat perempuan,” jelasnya.
Meski demikian, tantangan masih ada. Sebagian masyarakat masih percaya bahwa sunat perempuan perlu dilakukan demi mengontrol perilaku anak perempuan. Hal ini disampaikan oleh Supardi, seorang tokoh adat Kota Jambi, yang mengatakan bahwa keluarganya masih meyakini anak perempuan harus disunat agar tidak menjadi ‘genit’ saat dewasa.
Namun, ada harapan dari kalangan ulama. Kiai Ridwan dari MUI Kota Jambi menyatakan kesiapan mendukung pencegahan sunat perempuan. “Kami siap bahu-membahu jika sudah ada aturan dari pemerintah,” katanya. Ia juga merekomendasikan agar Komnas Perempuan mendorong MUI Pusat mensosialisasikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 kepada MUI di daerah. PP tersebut memuat ketentuan dalam Pasal 102 yang secara tegas menghapus praktik sunat perempuan.
Komitmen juga datang dari berbagai pihak yang hadir. PKBI menyampaikan telah melakukan edukasi kepada tenaga kesehatan dan kelompok muda. Sementara itu, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jambi berkomitmen mensosialisasikan isu ini melalui majelis taklim, kurikulum, dan menjadikan mahasiswa sebagai agen perubahan. Bappeda Kota Jambi menyatakan akan melakukan koordinasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait penganggaran program pencegahan sunat perempuan.
Tantangan
besar masih di depan mata. Praktik sunat perempuan masih kerap dijumpai di
daerah pedesaan di wilayah kabupaten lain di Provinsi Jambi, seperti di Sungai
Bahar dan Muaro Jambi. Oleh karena itu diperlukan koordinasi lintas OPD di
tingkat provinsi agar pencegahan dapat menjangkau wilayah-wilayah yang masih
mempertahankan praktik ini,” ujar Tini Sastra, Koordinator Divisi Pendidikan
Komnas Perempuan.
Penulis:
Tini
Sastra -Koordinator Divisi Pendidikan