...
Kabar Perempuan
Memperkuat Perspektif Gender dalam Kebijakan Transisi Energi di Indonesia


Komnas Perempuan hadir sebagai ahli dalam diskusi terfokus multipihak yang diselenggarakan oleh Asosiasi LBH APIK dalam kerjasamanya dengan Yayasan Kalyanamitra dengan dukungan Oxfam bertajuk “Memperkuat Perspektif Gender dalam Kebijakan Transisi Energi di Indonesia”. Chatarina Pancer Istiyani, Ketua Resource Center Komnas Perempuan menyampaikan pandangannya bahwa terdapat hukum internasional yang memandatkan kesetaraan gender, misalnya Paris Agreement (2015). Pada lampirannya, Paragraf 103 menyoroti pentingnya gender-responsive climate action. Selain itu Gender Action Plan menjadi panduan untuk mengintegrasikan gender dalam mitigasi, adaptasi, dan pendanaan iklim. Dimensi gender dan perubahan iklim juga diusung dalam CEDAW pada rekomendasi umum No. 37 Tahun 2018. Selain itu, isu gender diarusutamakan di seluruh SDGs. Pada SDG 5 yang paling eksplisit, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan. Ada 9 target spesifik di dalamnya, yaitu termasuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menghapus kekerasan terhadap perempuan, menghilangkan praktik berbahaya seperti perkawinan anak, perkawinan paksa, dan female genital mutilation.

Kebijakan nasional, misalnya RPJMN 2020-2024 yang memasukkan pengarusutamaan gender dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk energi. Peraturan No. 11 Tahun 2023 tentang Urgensi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 yang mengakui perlunya keterlibatan semua pihak secara inklusif, termasuk kelompok rentan dan perempuan.

Namun demikian, dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait sektor energi, subsektor panas bumi, tidak ada kata “gender” yang tentu tidak ada pula kata “kesetaraan gender”, apalagi kata “perempuan”. Yang ada hanya kata masyarakat setempat atau masyarakat lokal. Hal tersebut bisa dicermati dalam UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, dan Permen ESDM Np. 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. 



Dari realitas-realitas di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada tataran ideasional, hak perempuan dan kesetaraan gender telah mendapatkan ruang jaminannya. Hal ini termaktub pada hukum internasional maupun nasional. Namun pada sektor energi yang secara lebih khusus subsektor panas bumi tidak memperhatikan hak perempuan atau kesetaraan gender.

Dalam FGD kesempatan yang juga dihadiri oleh perwakilan Bappenas RI, Dewan Energi Nasional, Kementerian PPPA, dan CSO-CSO, Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dari kajian 21 tahun Catahu Komnas Perempuan dari tahun 2001-2021, terdapat 115 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terkait konflik sumber daya alam (SDA). Disampaikan juga adanya kasus penggusuran yang mencapai 974 kasus. Untuk setahun terakhir pada tahun 2024 terdapat 9 kasus kekerasan terkait konflik SDA yang di dalamnya terdapat 3 kasus terkait energi baru dan terbarukan (EBT). Jika tim peneliti dari Asosiasi LBH Apik menemukan bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam proyek panas bumi di Ijen, Jawa Timur, maka diyakini bahwa kekerasan terhadap perempuan terkait EBT jumlahnya lebih besar dari jumlah yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. 

Kerentanan yang dialami perempuan dalam konflik SDA terkhusus dalam kaitannya dengan EBT antara lain adalah kekerasan fisik, non-fisik, seksual, dan sosial. Pengeboran panas bumi menimbulkan getaran-getaran dan juga suara-suara gemuruh yang membuat masyarakat, terutama para perempuan cemas. Belum lagi sumber-sumber air yang mengering membuat para perempuan semakin berat bebannya. Sementara itu, para perempuan petani yang selama ini menggantungkan mata pencahariannya pada lahan-lahan pertanian, pada sungai-sungai kehilangan sumber hidupnya.

Untuk itu, Chatarina menyampaikan usulan untuk diperhatikan dalam pembuatan setiap kebijakan transisi energi sebagai berikut. 

  1. Setiap kebijakan yang dibuat harus melalui analisis dampak gender. Untuk itu data terpilah penting disediakan agar dapat mendesain kebijakan yang inklusif. 
  2. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Ada perwakilan dan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan.
  3. Adanya akses ekonomi dan peluang kerja yang setara pada proyek-proyek transisi energi.
  4. Mitigasi dampak negatif pada perempuan
  5. Pendidikan dan kesadaran gender
  6. Kolaborasi dengan organisasi perempuan


Pertanyaan / Komentar: