Sinergi
dalam Upaya Mewujudkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
dan Sistem
Layanan Terpadu
24 Februari
2022
Kamis, 24
Februari 2022, Komnas Perempuan berdiskusi dengan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, mengenai Rancangan
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan isu-isu lainnya seputar
perlindungan perempuan dan anak di Indonesia. Pada pertemuan ini juga,
disampaikan Daftar Invetarisasi Masalah (DIM) Komnas Perempuan sebagai
tanggapan atas naskah RUU TPKS per 8 Desember 2021, untuk mendukung proses
pembahasan DIM antara Pemerintah bersama DPR RI.
Dari pihak
Komnas Perempuan, diskusi tersebut dihadiri oleh Olivia Salampessy (Wakil Ketua),
Siti Aminah Tardi (Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan), Maria Ulfah
Anshor (Anggota Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan), Hayati Setia Inten (Koordinator
Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan) serta Andi Misbahul Pratiwi (Asisten Koordinator
Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan). Sedangkan dari pihak KPPPPA, selain Ibu Menteri PPPA, pertemuan ini juga
dihadiri oleh Ratna Susianawati (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan), Ali Khasan (Asisten
Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan), beserta jajaran.
Pada
pertemuan ini, Siti Aminah Tardi menyampaikan bahwa Komnas Perempuan
mengapresiasi dan setuju pada usulan pemerintah untuk memasukkan perbuatan
pemaksaan perkawinan dan perbudakan seksual sebagai delik pidana dalam RUU
TPKS. Selain tindak pidana yang sudah disebutkan dalam naskah DPR dan usulan
pemerintah, menurut Siti Aminah ada beberapa bentuk tindak pidana lainnya yang
perlu juga diatur yakni, 1) rekayasa pornografi, dimana banyak menimpa
selebriti dan politisi perempuan dengan tujuan untuk mempermalukan dan
mengambil keuntungan dari konten pornografi; 2) pemaksaan aborsi, dimana
perempuan dan anak perempuan menjadi korban, sedangkan di sisi lain rentan
dipidana sebagai pelaku aborsi dalam hukum yang ada; 3) pemaksaan hubungan
seksual, yang merupakan perluasan dari tindak pidana perkosaan dalam KUHAP; dan
4) pemaksaan pelacuran, dimana perempuan dan anak korban perdagangan orang kerap
kali alami.
Kemudian,
Siti Aminah juga menyampaikan bahwa penting untuk memastikan pemenuhan hak-hak
korban dan keluarga korban kekerasan seksual, salah satunya melalui restitusi.
Ia menegaskan bahwa restitusi adalah kewajiban pelaku, sementara itu pemerintah
perlu hadir untuk memberikan kompensasi dan program pemberdayaan serta
pemulihan bagi korban. Selain itu, konsep restitusi dan sita restitusi ini
nantinya perlu dipahami oleh Aparat Penegak Hukum (APH) sebagai bagian dari
sistem peradilan pidana. Poin kunci lainnya yang disampaikan yakni mengenai
pentingnya penyelenggaraan sistem layanan terpadu yang di dalamnnya juga
mengintegrasikan kerja-kerja UPTD PPA dengan lembaga penyedia layanan lainnya.
Hayati
Setia Inten menambahkan bahwa penting untuk memastikan adanya pasal khusus yang
menjembatani penggunaan hukum acara dalam RUU TPKS ini. Sehingga nantinya jenis
tindak pidana lainnya yang ada di Undang-Undang lain dapat menggunakan hukum
acara di UU TPKS nantinya. Lebih jauh, Maria Ulfah Anshor menyampaikan bahwa Komnas
Perempuan sebagai sebuah komisi yang memang sejak pendiriannya amat terkait
dengan kasus-kasus kekerasan seksual, penting untuk memiliki peran pengawasan
dan pemantauan terhadap implementasi Undang-Undang ini nantinya.
Merespons
hal tersebut, Menteri Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI,
menyampaikan bahwa usulan pemerintah terhadap naskah RUU TPKS tidak jauh
berbeda dengan masukan Komnas Perempuan. Salah satu hal yang menjadi fokus
utama KPPPA yakni terkait penyelenggaraan sistem layanan terpadu. KPPPA sepakat
bahwa layanan terpadu yang dimaksud tidak terbatas pada UPTD PPA saja melainkan
seluruh elemen, termasuk penyedia layanan berbasis masyarakat, kepolisian, rumah
sakit, dan pemerintah daerah. Dengan demikian, sistem layanan terpadu dapat
memberikan layanan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual, mulai dari
pelayanan hukum, psikologis, kesehatan, pemulangan, hingga reintegrasi sosial. Dalam
hal penguatan layanan ini, Bintang Darmawati mengatakan bawah KPPPA telah
melakukan beberapa simulasi di daerah. Harapannya, setelah RUU TPKS ini
disahkan, sistem layanan terpadu tersebut sudah siap diimplementasikan.
Selanjutnya,
Ratna Susianawati menyampaikan
bahwa dalam proses penyusunan usulan pemerintah atas naskah RUU TPKS telah
melibatkan berbagai pihak termasuk elemen masyarakat sipil. Di dalam Daftar
Invetarisasi Masalah (DIM) yang disusun pemerintah, telah diusulkan sejumlah
hal termasuk di dalamnya pengaturan tentang kekerasan berbasis gender online,
pasal jembatan untuk hukum acara, dan sistem layanan terpadu. KPPPA juga
berkomitmen akan memastikan usulan Komnas Perempuan dimasukkan dalam proses
pembahasan antara DPR dan Pemerintah nantinya.
Pada
pertemuan ini, Olivia Salampessy selaku Wakil Ketua Komnas Perempuan
menyampaikan bahwa dibutuhkan penguatan kelembagaan Komnas Perempuan dalam
rangka melaksanakan mandatnya sebagai salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi
Manusia (LNHAM). Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan, angka kekerasan
terhadap perempuan dan anak meningkat dengan beragam bentuk. Hal ini juga
ditegaskan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa
kasus kekerasan seksual adalah masalah yang serius. “Tiada hari tanpa
pemberitaan kasus kekerasan seksual, payung hukum yang komprehensif harus
segera dihadirkan karena korban tidak bisa lagi menunggu,” ujar Bintang
Darmawati.
Diskusi ini
menjadi ruang dialog yang substantif antara dua lembaga yang telah lama bekerja
sama dan bersinergi dalam hal perlindungan perempuan dan penghapusan segala
bentuk kekerasan berbasis gender di Indonesia.
(AMP, HSI)