Dialog Multipihak Komnas Perempuan di NTB Soroti Ruang Aman dan Implementasi Hukum Perlindungan Korban Kekerasan

todayRabu, 10 Desember 2025
10
Des-2025
15
0

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan Dialog Multipihak di Nusa Tenggara Barat pada Rabu (10/12/2025) sebagai bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP). Ketua Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Daden Sukendar, mengatakan kegiatan ini bertujuan menggali perspektif berbagai pemangku kepentingan, memperkuat sinergi lintas sektor, serta mendorong komitmen aksi nyata untuk menciptakan ruang aman dan bebas dari kekerasan bagi perempuan.

Menurut Daden, rendahnya angka pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan di NTB tidak dapat dimaknai semata-mata sebagai rendahnya tingkat kekerasan. Dari total pelaporan nasional, NTB mencatat 6.618 kasus kekerasan terhadap perempuan, atau sekitar 2 persen dari total kasus nasional. Angka tersebut jauh di bawah provinsi dengan pelaporan tertinggi seperti Jawa Barat yang mencapai 55.660 kasus.

“Kasus kekerasan terhadap perempuan di NTB bersifat multilapis,” kata Daden. Ia menyebut kekerasan terjadi dalam lingkup domestik, berbasis komunitas yang berkaitan dengan adat dan tradisi—termasuk praktik sunat perempuan—di institusi pendidikan formal maupun berbasis asrama, hingga perdagangan orang yang kerap berkaitan dengan pekerja migran Indonesia. Di sisi lain, hambatan yang dialami korban serta keterbatasan lembaga layanan turut memengaruhi rendahnya angka pelaporan. Karena itu, ia menekankan pentingnya pendekatan pencegahan dan penanganan yang sensitif terhadap konteks sosial dan budaya lokal.

Dalam dialog tersebut, Direktur LBH APIK NTB, Nuryanti Dewi, menyoroti hambatan berlapis yang dihadapi korban kekerasan seksual sejak sebelum proses hukum dimulai. Banyak korban, kata dia, tidak menyadari bahwa pengalaman yang dialaminya merupakan kekerasan seksual, cenderung menyalahkan diri sendiri, serta dibayangi rasa malu dan takut.

“Budaya menyangkal dan menyalahkan korban masih kuat. Korban sering kali dikucilkan, ditekan untuk diam, atau diminta menyelesaikan kasus secara damai,” ujar Nuryanti.

Hambatan semakin berat ketika terduga pelaku merupakan pejabat publik, tokoh masyarakat, atasan di tempat kerja, atau dosen. Ancaman kehilangan pekerjaan, tidak diluluskan, kriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik, serta minimnya alat bukti membuat banyak korban memilih tidak melapor atau mencabut laporan akibat tekanan sosial dan lingkungan.

Dari sisi aparat penegak hukum, Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB AKBP Ni Made Pujewati menyampaikan capaian penanganan kasus sebagai praktik baik. Namun, ia mengakui masih terdapat tantangan dalam kolaborasi lintas sektor untuk mewujudkan layanan terpadu perlindungan perempuan yang efektif dan berkelanjutan.

Isu kerentanan perempuan penyandang disabilitas turut menjadi sorotan. Wardah Bagis dari Komunitas Spina Bifida Indonesia (KSBI) menyebut hambatan akses keadilan bagi perempuan disabilitas masih sangat nyata, mulai dari layanan yang belum aksesibel, aparat yang belum memahami interaksi setara, hingga keterbatasan pendampingan dan informasi yang inklusif.

“Penguatan kapasitas aparat, layanan terpadu yang ramah disabilitas, serta komitmen anggaran dan pengawasan berkelanjutan menjadi kunci agar Undang-Undang TPKS benar-benar melindungi semua perempuan tanpa kecuali,” kata Wardah.

Sekretaris DP3AKB NTB Hamzan Wadi menambahkan tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dipengaruhi oleh faktor struktural, seperti kemiskinan, rapuhnya ketahanan keluarga, terbatasnya lapangan kerja bagi perempuan, serta belum optimalnya sistem pencegahan dan penanganan kekerasan. Keterbatasan tenaga ahli dan minimnya anggaran perlindungan perempuan dan anak juga menjadi tantangan utama pemerintah daerah.

Dalam dialog tersebut, Komnas Perempuan juga mendengar langsung pengalaman seorang perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terkait penanganan hukum yang ia alami. Korban mengungkapkan bahwa meskipun telah memahami mekanisme layanan dan prosedur pelaporan, proses hukum yang dijalaninya justru diwarnai tekanan dan perlakuan yang tidak berpihak pada korban. Ia mengapresiasi pendampingan hukum dari LBH APIK NTB, namun menilai aparat penegak hukum masih menggunakan pendekatan represif, termasuk menunjukkan perilaku victim blaming, yang memperberat beban psikologis korban.

Hal ini menegaskan bahwa persoalan penanganan kekerasan terhadap perempuan tidak berhenti pada keberadaan regulasi, seperti Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Undang-Undang TPKS, melainkan pada lemahnya implementasi hukum yang berperspektif korban.

Melalui forum ini, Komnas Perempuan berharap komitmen lintas sektor tidak berhenti pada diskusi, tetapi berujung pada penguatan kebijakan, layanan, serta praktik penegakan hukum yang adil dan berperspektif korban, khususnya bagi perempuan dalam kondisi rentan di Nusa Tenggara Barat.

 

Pertanyaan/Komentar
clear
clear
location_on
Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310
call
Nomor Telpon/Fax
+62-21-3903963
+62-21-3903922 (Fax)
mail
Surat Elektronik
public
Ikuti Kami
privacy_tip
Disclaimer
Semua materi didalam website komnasperempuan.go.id diperuntukan bagi kepentingan HAM khususnya dalam Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Copyright © 2023. Komnas Perempuan
accessibility_new
Menu Aksesibilitas