Dalam rangka Peringatan Hari Migran Internasional yang bertepatan dengan penutupan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) dan rangkaian Kampanye 24 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (24HAKtP), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menghadiri kegiatan yang diselenggarakan Jaringan Safe Migrant, Peduli Perempuan dan Anak Batam, serta berbagai pemangku kepentingan menyelenggarakanDiskusi Panel di Wisma PIH Batam, Kamis (18/12). Kegiatan ini mengusung tema umum “Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman” dengan subtema “Ruang Aman untuk Perempuan Pekerja Migran Indonesia: Perlindungan, Pemulihan, dan Harapan.”
Kegiatan ini menghadirkan Romo Paschal dari Jaringan Safe Migrant selaku pemapar, Komisioner Komnas Perempuan Devi Rahayu, Badan Kerja Sama Organisasi Wanita dari perwakilan BKOW, Ika Lasdianawati, Kepala BP3MI Kepulauan Riau KombesPol. Imam Riyadi, dan Wakil Kapolda Riau yang diwakili oleh Kombes Pol. Zahwani Pandra Arsyad selaku penanggap.
Dalam forum ini juga dipaparkan Catatan Tahunan Jaringan Safe Migrant Batam yang disampaikan oleh Romo Paschal. Sepanjang tahun 2025, Jaringan Safe Migrant Batam mencatat dan menangani sedikitnya 340 kasus kekerasan, mencakup tindak pidanaperdagangan orang, kekerasan seksual, eksploitasi ekonomi, kekerasan fisik, penelantaran, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kasus pekerja migran nonprosedural, dengan korban anak sebanyak 132 orang dan korban dewasa 316 orang. Peningkatanpenanganan ini tidak hanya mencerminkan bertambahnya kasus, tetapi juga meningkatnya keberanian korban untuk melapor serta semakin dikenalnya jaringan layanan.
Romo Paschal juga menegaskan bahwa penanganan dilakukan melalui pendampingan langsung dan mekanisme rujukan antar lembaga, termasuk penyediaan rumah aman, pemulangan korban, layanan kesehatan, konseling, pendampingan hukum, sertapemenuhan kebutuhan dasar. Namun demikian, penanganan masih menghadapi hambatan serius, antara lain sulitnya menjangkau pelaku utama TPPO, belum optimalnya pendekatan berbasis korban dan penggunaan UU TPKS, keterbatasan akses restitusi, serta kendala anggaran dan sumber daya manusia, diperparah oleh trauma korban, ketergantungan pada pelaku, budaya victim blaming, dan minimnya alat bukti. Pada anak, kerentanan semakin meningkat dalam pola pengasuhan non-orang tua kandung dan lingkungan yang menormalisasi kekerasan, diperparah oleh faktor sosial seperti maraknya judi online.
Komisioner Komnas Perempuan melihat dua hal penting dalam catatan tahunan tersebut. Pertama, meningkatnya jumlah kasus yang terlaporkan menunjukan meningkatnya kesadaran korban dalam melaporkan kekerasan. Kedua, masih tingginya kasuskekerasan terhadap pekerja migran menunjukan sinyal yang berbahaya yang harus segera ditanggapi secara serius oleh pemerintah.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa bekerja adalah hak dasar yang dijamin UUD 1945, termasuk bagi pekerja migran. Namun 66% PMI adalah perempuan (KP2MI 2024) dan mayoritas bekerja di sektor informal seperti pekerja domestik dan caregiver, sehingga rentan mengalami kekerasan, jam kerja panjang, dan perdagangan orang. Komnas Perempuan mencatat 501 kasus pada 2024, hampir dua kali lipat dibanding 2023 (129 kasus), mencakup kekerasan di tempat kerja, penipuan agen, modus magangluar negeri, dan penelantaran. Kerentanan ini diperparah oleh maraknya TPPO berbasis digital dengan tujuan Kamboja, Myanmar, dan Thailand, di mana kasus PMI nonprosedural di Kamboja melonjak dari 56 kasus (2020) menjadi 3.310 kasus (2024)—kenaikan sekitar 60 kali lipat—termasuk korban perempuan yang mengalami eksploitasi dan pemaksaan kerja sebagai online scamming, sehingga menuntut negara memperkuat pencegahan dan perlindungan tanpa membedakan status prosedural. Namunpeningkatan angka ini menjadi penting karena hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa semakin banyak korban yang melapor.
Kegiatan ini terdiri dari rangkaian berupa Talkshow dan pemaparan Catatan Tahunan, aksi simbolik Ropes of Hopes, serta Konferensi Pers deklarasi komitmen bersama. Penutupan kampanye ini menjadi momentum penting bagi Jaringan Safe Migrant Batam, jaringan masyarakat sipil yang berdiri sejak 2017 dan berfokus pada pemenuhan hak perempuan dan anak, pekerja migran, serta korban tindak pidana perdagangan orang. Selama ini, jaringan ini secara konsisten melakukan kerja pencegahan, penanganankasus, pendampingan korban, dan advokasi kebijakan.
Pada tahun 2025, Kampanye 24HAKtP dikembangkan sebagai “24 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak: Rangkaian Penuh Kasih Sayang” yang berlangsung sejak 25 November hingga 18 Desember. Perpanjangan periode kampanye inimemiliki makna khusus karena Hari Migran Internasional dipandang sebagai pengingat atas kerentanan perempuan dan anak dalam konteks migrasi, termasuk risiko kekerasan, eksploitasi, dan perdagangan orang yang masih terus terjadi. Kampanye inisekaligus menjadi ruang dialog antara pemerintah, masyarakat sipil, komunitas migran, lembaga keagamaan, media, dan penyintas untuk menegaskan kembali tanggung jawab bersama dalam menciptakan migrasi yang aman, bermartabat, dan berkeadilangender.
