Pengakuan dan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan bentuk nyata komitmen negara terhadap keadilan sosial dan penghormatan atas kerja perawatan yang selama ini diabaikan. Hal tersebut ditegaskan Komnas Perempuan dalam Diskusi Publik Hari PRT Internasional 2025 bertajuk “Kerja Perawatan: Merawat Keadilan dan Kehidupan, Akui dan Lindungi PRT”, yang diselenggarakan pada Selasa, 17 Juni 2025 di Jakarta.
“PRT selama ini menjadi tulang punggung kerja domestik dan perawatan di banyak rumah tangga, tetapi justru menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan dan belum diakui sebagai pekerja oleh hukum,” tegas Yuni Asriyanti, Komisioner Komnas Perempuan.
Menurut Yuni, perjuangan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) merupakan bentuk pengakuan bahwa kerja perawatan adalah kerja yang bernilai, yang mesti dihargai dan dilindungi secara hukum.
Komitmen Legislator dan Dorongan Percepatan
Diskusi ini juga menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari lembaga legislatif dan eksekutif. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan, menyampaikan bahwa seluruh fraksi telah menyatakan kesepakatan untuk menyetujui RUU PPRT. Ia berharap RUU ini dapat diundangkan secepatnya.
“Kita jadwalkan di pertengahan Bulan Juli RUU PPRT sudah menjadi RUU inisiatif DPR. Lalu, di akhir Juli turun Surat Presiden (Surpres), DIM tersedia, dan akan segera kita bahas. Dengan demikian, di Bulan September RUU PPRT dapat disahkan,” jelasnya.
Menanggapi pertanyaan publik mengenai belum terbentuknya Panitia Kerja (Panja), Bob menjelaskan bahwa substansi naskah tidak mengalami perubahan berarti, sehingga yang terpenting saat ini adalah mendorong percepatan pengesahan. Saat ini, Baleg tengah menyelesaikan sinkronisasi RUU PPRT dengan beberapa regulasi lain, seperti UU Ketenagakerjaan, hukum pidana, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ia menekankan bahwa meskipun sinkronisasi sebelumnya telah dilakukan, proses ini tetap memerlukan kehati-hatian dan partisipasi publik yang kuat, terutama untuk memastikan suara PRT tetap menjadi pusat perjuangan ini.
Dukungan Pemerintah
Dukungan pemerintah disampaikan oleh Plt. Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan, Anna Kurnianingsih, dan Asisten Deputi Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Prijadi Santoso, yang menyarankan penggunaan kembali Naskah Akademik (NA) lama. Mereka menilai NA tersebut telah memuat perspektif berbagai pemangku kepentingan dan substansinya masih sangat relevan.
"Kami berharap tidak ada perubahan agar proses bisa lebih cepat," ujar mereka dalam diskusi.
Senada dengan itu, Syska Hutagalung dari Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan jika panggung ini adalah sebuah momen, setelah sekian lama, bagi DPR dan Pemerintah berada pada barisan yang sama terkait pengesahan RUU PPRT ini. Lebih lanjut, Ia menyatakan jika KSP akan terus mengawal dan mendorong pengesahan RUU ini.
"Kami selalu siap mendukung, karena RUU ini penting dan mendesak," tegasnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Veronica Tan Setiawan, yang hadir melalui rekaman videonya, juga turut mengungkapkan dukungannya terhadap pengesahan RUU PPRT. Menurutnya, kerja-kerja perawatan adalah kerja yang penting dan strategis.
“Oleh karena itu, pengesahan RUU PPRT adalah pijakan hukum yang sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum dan martabat bagi pekerja rumah tangga yang selama ini masih abu-abu,” ucapnya.
Suara PRT untuk Perubahan
Misgiyati, perwakilan dari JALA PRT, menutup sesi paparannya dengan menegaskan bahwa pengesahan RUU PPRT bukan sekadar formalitas hukum, melainkan wujud keberpihakan negara terhadap mereka yang selama ini berada dalam bayang-bayang kekerasan dan eksploitasi.
“PRT adalah pekerja, bukan pembantu. Kami menuntut negara hadir, bukan hanya mendengar,” ujarnya.
Instalasi Seni: Memori, Luka, dan Perjuangan PRT
Sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari PRT Internasional 2025, Komnas Perempuan juga menyelenggarakan instalasi seni bertajuk “Memori, Luka, dan Perjuangan PRT” yang berlangsung pada 17–20 Juni di Ruang Persahabatan, Komnas Perempuan.
Instalasi ini mengangkat narasi visual dan arsip tentang Linimasa sejarah perlindungan PRT dari masa kolonial hingga mandeknya RUU PPRT, Potret kekerasan terhadap PRT perempuan selama dua dekade terakhir, Koleksi data, publikasi, dan dokumen advokasi dari berbagai jaringan, dan Penghormatan kepada Pekerja Perempuan Pembela HAM (PPHAM).
Pameran ini menjadi penanda penting bahwa tubuh dan kerja PRT telah lama menanggung beban kekerasan struktural dan ketiadaan pengakuan hukum. Namun, mereka juga adalah subjek perlawanan dan perubahan.