Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Merespons Pemberian Gelar Pahlawan terhadap Soeharto

today2 jam yang lalu
10
Nov-2025
83
0

“Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto Dapat Berdampak Mencederai Hak Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Gerakan Perempuan Indonesia”

 

Jakarta, 10 November 2025

Pada momentum Hari Pahlawan Nasional, Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan keprihatinan dan menegaskan posisi keberatan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Upaya ini tidak hanya mengabaikan fakta sejarah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru, tetapi juga mengancam memori kolektif bangsa, melanggengkan impunitas dan mengingkari perjuangan para korban dan penyintas, terutama perempuan yang menjadi korban kekerasan di tengah konflik dan represi politik pada masa itu.

Komnas Perempuan berdiri dari latar belakang Tragedi Mei 98 yang terjadi di ujung keruntuhan pemerintahan Orde Baru. Pada peristiwa tersebut, konflik sosial politik memakan banyak korban termasuk kasus kekerasan seksual dan perkosaan massal. Data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 98 mencatat 1.190 korban tewas di Jakarta, belum lagi juga terjadi di daerah lainnya seperti Medan, Palembang, Tangerang, Solo, Semarang, Surabaya dan kota lainnya. Serta setidaknya terdapat 85 kasus kekerasan seksual termasuk 52 diantaranya adalah kasus perkosaan.

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa dokumentasi pelanggaran HAM berat yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto telah banyak diterbitkan oleh lembaga dan organisasi HAM dan penelitian. Komnas Perempuan sendiri telah menerbitkan seri dokumen kunci yang memuat catatan kekerasan terhadap perempuan dalam situasi pelanggaran HAM berat, antara lain Tragedi Mei 1998, Tragedi 1965-1966, Tanjung Priok, Talangsari, serta konflik di Aceh, Papua, dan Timor Timur.

Selain itu, lima laporan eksekutif Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) yang dibentuk Komnas HAM pada kurun 1999-2001 menunjukkan bukti-bukti kuat atas dugaan pelanggaran HAM berat selama masa Orde Baru. KPP HAM dibentuk sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap dugaan pelanggaran HAM yang terjadi akibat konflik politik dan sosial di Indonesia di bawah pemerintah Suharto. Publikasi-publikasi tersebut menegaskan bahwa setiap konflik juga membawa dampak terhadap perempuan, termasuk pelanggaran HAM perempuan. KPP HAM sebagai mekanisme penyelidikan resmi berperan penting dalam mengungkap kebenaran, mendokumentasikan kekerasan yang dialami perempuan, serta mendorong pemenuhan hak mereka atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan.

Laporan-laporan HAM tersebut menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukanlah tindakan individual, melainkan bagian dari kebijakan dan praktik kekuasaan yang sistematis, melibatkan aparat negara dan struktur politik yang represif. Namun hingga kini, negara belum menuntaskan pertanggungjawaban hukum, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan sebagaimana diamanatkan oleh prinsip keadilan transisional.

Komnas Perempuan mengingatkan kembali bahwa selama masa Orde Baru, kekerasan terhadap perempuan berlangsung tidak hanya melalui represi fisik dan seksual, tetapi juga melalui kebijakan dan ideologi negara yang meminggirkan perempuan. Melalui kajian Kita Bersikap, Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan (2009), Komnas Perempuan mencatat bahwa pemerintahan Orde Baru menggunakan tubuh dan peran sosial perempuan sebagai alat stabilitas politik dan pembangunan, sambil menyingkirkan mereka dari ruang publik dan politik. Kekerasan seksual pasca-1965, kontrol tubuh melalui program Keluarga Berencana yang koersif, serta kekerasan di wilayah operasi militer seperti Aceh, Timor Timur, dan Papua, mencerminkan bagaimana kekerasan terhadap perempuan dijadikan strategi kekuasaan yang sistematis.

Dalam waktu yang sama, penghancuran gerakan perempuan melalui pembubaran organisasi progresif dan pembentukan organisasi binaan seperti Dharma Wanita dan PKK, telah memutus kesinambungan politik perempuan dan membatasi peran mereka hanya pada ranah domestik. Proses ini bukan hanya penghapusan sejarah gerakan perempuan, namun juga bentuk kekerasan struktural dan simbolik yang masih meninggalkan jejak hingga kini, menandakan pentingnya mengingat kebenaran sejarah dan menghormati perjuangan perempuan sebagai bagian dari upaya kolektif bangsa untuk menolak impunitas dan membangun keadilan yang sejati.

Dampak panjang dari peminggiran perempuan hingga kini masih tersisa dalam bentuk minimnya partisipasi politik perempuan terutama masih kurang 30 persen perempuan dalam parlemen, bias gender dalam kebijakan publik, dan lemahnya pengakuan terhadap sejarah gerakan perempuan maupun tokoh-tokoh perempuan yang masih minim diajukan sebagai Pahlawan Nasional.  Dengan demikian, menempatkan Suharto sebagai pahlawan berarti mengabaikan sejarah kelam penghancuran ruang demokrasi dan partisipasi perempuan di Indonesia serta memperpanjang impunitas itu sendiri.

Komnas Perempuan menegaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak sejalan dengan semangat keadilan dan penghormatan terhadap prinsip HAM. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, kriteria Pahlawan Nasional mencakup unsur“tidak pernah melakukan perbuatan tercela.” Namun, fakta sejarah dan berbagai laporan HAM menunjukkan bahwa masa kekuasaan Soeharto diduga kuat bertanggung jawab atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM dan pembungkapan kebebasan berekspresi termasuk pembredelan media.  Usulan pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan pengingkaran terhadap fakta sejarah yang telah didokumentasikan dalam berbagai laporan resmi lembaga HAM Nasional dan bentuk reviktimisasi bagi para penyintas yang masih menanggung beban psikologis, sosial, dan politik hingga hari ini.

Oleh karenanya dalam merespons wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto Komnas Perempuan menyerukan agar:

  1. Negara menindaklanjuti rekomendasi lembaga resmi seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK dan Lembaga HAM lainnya dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, termasuk pemulihan korban perempuan.
  2. Lembaga pendidikan dan media massa menjaga integritas sejarah dengan menolak narasi pemutihan terhadap fakta sejarah pelanggaran HAM.
  3. Masyarakat sipil, akademisi, dan generasi muda memperkuat literasi sejarah, menolak lupa, dan terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.

Narasumber:

  1. Chatarina Pancer Istiyani
  2. Daden Sukendar
  3. Yuni Asriyanti
  4. Dahlia Madanih

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)

Pertanyaan/Komentar
clear
clear
location_on
Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310
call
Nomor Telpon/Fax
+62-21-3903963
+62-21-3903922 (Fax)
mail
Surat Elektronik
public
Ikuti Kami
privacy_tip
Disclaimer
Semua materi didalam website komnasperempuan.go.id diperuntukan bagi kepentingan HAM khususnya dalam Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Copyright © 2023. Komnas Perempuan
accessibility_new
Menu Aksesibilitas