"Prioritaskan Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Sumber Daya Alam, serta Hentikan Pembangunan yang Eksploitatif"
Jakarta, 9 Desember 2025
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan duka cita mendalam dan empati penuh kepada seluruh penyintas bencana banjir, longsor, dan kerusakan ekologis yang melanda sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan kepala keluarga, serta kelompok rentan lainnya menjadi pihak yang paling terdampak dan menghadapi risiko berlapis pada situasi ini. Komnas Perempuan juga menyampaikan apresiasi kepada pemerintah daerah setempat, relawan, jaringan masyarakat, serta organisasi lokal yang telah berupaya maksimal pada masa tanggap darurat. Meski demikian, Komnas Perempuan memandang bahwa penanganan yang dilakukan dari berbagai pihak masih perlu diperkuat dengan pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dan perspektif gender agar pemenuhan hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya benar-benar menjadi bagian dari respons bencana, baik pada masa tanggap darurat maupun pemulihan jangka panjang.
Berdasarkan informasi awal, bencana ini berdampak pada setidaknya 17 kabupaten/kota di Aceh, 17 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, dan 11 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat, sehingga menyebabkan kerusakan signifikan pada pemukiman, infrastruktur, fasilitas publik, hingga lahan pertanian. Situasi ini mengakibatkan terganggunya akses terhadap pangan, air bersih, layanan kesehatan, dan layanan publik lainnya yang sangat penting bagi keberlanjutan hidup masyarakat. Pada sejumlah temuan Komnas Perempuan terkait bencana, perempuan kerap menghadapi tantangan lebih besar, mulai dari keterbatasan akses kebutuhan spesifik seperti pembalut, popok bayi, obat-obatan, layanan kesehatan reproduksi, hingga beban ganda yang kerap menjadi tanggung jawab perempuan seperti pengasuhan keluarga hingga kerja domestik, bahkan mengalami kerentanan berisiko kekerasan seksual.
Komnas Perempuan menyerukan kepada semua pihak untuk terus memperkuat solidaritas, empati, dan perhatian penuh perlu diberikan kepada seluruh masyarakat terdampak, terutama perempuan yang menghadapi keterbatasan akses dan risiko kekerasan berbasis gender. Negara memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan di setiap fase penanganan baik pada tahap jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.
Bencana yang terjadi saat ini, seperti luapan banjir, longsor di kawasan pegunungan, kerusakan lingkungan, serta kerugian harta benda yang sangat besar, merupakan peringatan keras bagi pemerintah terkait kebijakan tata kelola lingkungan, kerusakan ekologis akibat aktivitas ekstraktif, serta dampak krisis iklim yang semakin intens. Seluruh kondisi ini menimbulkan kerugian besar bagi kehidupan warga negara dan bagi bangsa secara keseluruhan. Data dari Badan Penanggulangan Bencana mencatat bahwa hingga 7 Desember, sebanyak 940 orang kehilangan nyawa, disertai kerugian harta benda serta potensi trauma yang mendalam dan berkepanjangan bagi para korban.
Data Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 mempertegas hubungan erat antara kerusakan ekologis, konflik sumber daya alam (SDA), dan meningkatnya kerentanan perempuan. Tercatat 50 kasus konflik lahan, termasuk sengketa perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, yang berdampak langsung pada perempuan dan komunitasnya. Selain itu, terdapat 33 kejadian bencana lingkungan hidup mulai dari banjir, longsor hingga krisis air di wilayah yang juga memiliki tingkat kerusakan ekosistem yang tinggi. Komnas Perempuan juga mencatat adanya 12 kasus perempuan pembela hak asasi manusia (PPHAM) tahun 2024 yang mengalami intimidasi atau kriminalisasi ketika memperjuangkan kelestarian lingkungan dan mempertahankan wilayah hidupnya. Temuan ini menunjukkan bahwa kerusakan ekologis, lemahnya pengawasan terhadap kegiatan ekstraktif, dan ketidakadilan tata kelola SDA memperburuk risiko bencana dan meningkatkan beban sosial, ekonomi, dan psikologis yang harus ditanggung perempuan.
Komnas Perempuan berpandangan bahwa bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara saat ini tidak dapat dipisahkan dari kerusakan hutan, ekspansi pertambangan dan perkebunan berskala besar, serta lemahnya perlindungan terhadap wilayah kelola masyarakat adat. Perempuan, terutama perempuan adat, mengalami dampak paling berat karena bergantung pada sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan penghidupan keluarga, serta memperoleh akses terhadap air, pangan, dan layanan kesehatan.
Dalam konteks ini, Komnas Perempuan menyoroti lambatnya pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sebagai salah satu faktor struktural yang memperburuk kerentanan perempuan adat. RUU ini penting untuk memastikan pengakuan atas wilayah kelola adat, mencegah konflik dan kriminalisasi, memperkuat fungsi ekologis wilayah adat sebagai benteng penahan bencana, serta menjamin perempuan adat berperan aktif sebagai pemegang hak dalam tata kelola sumber daya alam.
Komnas Perempuan mencatat dari berbagai sumber bahwa banyak perempuan saat ini mengalami kesulitan akses terhadap pangan, air bersih, dan layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan reproduksi. Sejumlah wilayah juga melaporkan meningkatnya risiko kekerasan berbasis gender akibat terbatasnya ruang aman dan tingginya kepadatan lokasi pengungsian.
Sementara itu, masyarakat adat menghadapi kesulitan berlapis karena hilangnya sumber-sumber penghidupan tradisional akibat kerusakan hutan dan ekosistem. Kondisi ini menegaskan urgensi respons bencana yang mengarusutamakan hak-hak masyarakat, termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya, guna memastikan keselamatan, keamanan, dan pemenuhan kebutuhan spesifik sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Selain itu, Komnas Perempuan juga menyayangkan pernyataan sejumlah pejabat publik yang tidak memberikan empati dan cenderung menyalahkan masyarakat atas terjadinya bencana. Narasi yang tidak berbasis bukti kerap memperkuat stigma, trauma, dan mengalihkan perhatian dari persoalan struktural seperti kerusakan ekosistem, tata kelola lingkungan, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA. Karena pemerintah bertanggung jawab memastikan bahwa komunikasi publik harus dilakukan secara empatik, akurat, dan tidak diskriminatif, serta tidak mengaburkan kewajiban negara dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warganya.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa negara berkewajiban memastikan akses perempuan terhadap bantuan, layanan kesehatan, layanan psikososial, dan informasi yang akurat, termasuk menyediakan ruang aman serta mekanisme pengaduan untuk menangani kekerasan berbasis gender. Perempuan hamil, menyusui, penyandang disabilitas, dan lansia harus menjadi kelompok yang diprioritaskan dalam distribusi bantuan dan pemulihan komprehensif, serta memastikan partisipasi perempuan dalam seluruh proses pemulihan, rekonstruksi, dan penentuan kebijakan setelah bencana.
Dengan demikian, Komnas Perempuan merekomendasikan sebagai berikut.
(1) Presiden RI
(2) Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan
(3) Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(4) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(5) Kementerian Sosial
(6) Kementerian Pekerjaan Umum
(7) BNPB dan BPBD
(8) DPR RI
(9) Pemerintah Daerah
(10) Para Penyelenggara Negara dan Pejabat Publik
Narasumber:
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)
