3 Juli 2023
Komnas Perempuan pada Senin (3/7/2023) menyampaikan pendapat hukumnya dalam bentuk keterangan tertulis sebagai sahabat pengadilan atau amicus curiae kepada Mahkamah Agung. Amicus Curiae ini diterbitkan berkaitan dengan permohonan uji materiil terhadap Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan tiga warga negara yaitu Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib.
“Kami memiliki kepentingan atas permohonan ini, karena salah satu batu ujinya adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang menjadi landasan kerja Komnas Perempuan. Putusan MA akan mempengaruhi pencapaian tujuan Komnas Perempuan dan merupakan kepentingan publik, berdampak terhadap hak sipil dan politik perempuan dan dapat menjadi preseden baik bagi keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik. Sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Perempuan, kami memiliki kewajiban untuk memastikan Hakim memahami dampak putusan terhadap penghapusan diskriminasi di Indonesia,” tegas Komisioner Siti Aminah Tardi, yang juga Advokat Publik ini menyampaikan kepentingan hukum Komnas Perempuan sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae).
Pilihan memberikan amicus curiae mengingat PERMA 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, tidak memungkinkan pihak-pihak di luar pemohon dan termohon terlibat dalam pemeriksaan perkara. Amicus Curiae ini juga sekaligus mengingatkan pentingnya pembaharuan terhadap hukum acara uji materiil di Mahkamah Agung. Tercatat Komnas Perempuan juga pernah memberikan amicus curiae untuk Uji Materiil permohonan pembatalan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Amicus ini juga didasarkan pada hasil kajian dan pemantauan Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa 30% keterwakilan perempuan belum terpenuhi. Masih terdapat penolakan dan hambatan-hambatan sosial, budaya dan politik baik di tingkatan partai politik, negara maupun masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan, seperti: intimidasi, pencurian suara, penyerangan seksual, pemecatan terhadap caleg perempuan terpilih, dan penolakan karena jenis kelamin perempuan. Ini menunjukkan perempuan Indonesia masih memiliki hambatan keterpilihan yang berbeda dibandingkan laki-laki. Karenanya tindakan khusus sementara atau affirmative action adalah sebagian kecil untuk mengatasi hambatan diskriminasi terhadap perempuan. Tindakan khusus sementara ini bukan diskriminasi terhadap laki-laki, melainkan langkah korektif untuk mencapai keadilan substantif juga kompensasi atas diskriminasi terhadap perempuan selama ini,” ujar Komisioner Olivia Salampessy mengingatkan situasi kepemimpinan perempuan di Indonesia dan hambatannya. Termasuk daerah-daerah yang tidak memiliki wakil perempuan di lembaga pengambil keputusan.
Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 menggantikan PKPU No. 20 Tahun 2018 yang mengubah pembulatan ke atas menjadi pembulatan ke bawah jika angka desimal di bawah 50. Penentangan PKPU ini oleh Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, Ketua DPR RI, Wakil Ketua MPR RI dan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa PKPU 10/2023 tidak mendapatkan keberterimaan dari pemangku kepentingan khususnya kelompok perempuan yang menjadi sasaran keberlakuannya.
“Dari simulasi keterwakilan perempuan yang diatur dalam PKPU ini menunjukkan bahwa dalam hal partai politik mengajukan bakal calon sebanyak 4, 7, 8, 11 di daerah pemilihan, maka pembulatan ke bawah mengakibatkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) tidak terpenuhi begitu pula dengan keterwakilan perempuan di DPR RI yang hanya mencapai 25%. Jadi PKPU ini bukan menguatkan afirmasi 30% justru mereduksinya, karenanya hal ini harus menjadi perhatian para partai politik dan caleg perempuan,” ujar Komisioner Maria Ulfa Anshor menggambarkan bagaimana dampak PKPU 10/2023 terhadap keterpilihan perempuan.
Di akhir konferensi pers, Komisioner Veryanto Sitohang mengingatkan dampak internasional pada kebijakanPKPU.
“Singkatnya kebijakan pembulatan ke bawah menjadi kebijakan diskriminatif karena menghalangi perempuan untuk terpilih sebagai anggota legislatif. Padahal UU HAM, CEDAW, UU Parpol dan UU Pemilu menyebutkan secara eksplisit 30% keterwakilan perempuan. Maka PKPU 10/ 2023 bertentangan dengan undang-undang tadi dan bertentangan dengan kewajiban negara yang dimandatkan CEDAW. PKPU ini langkah mundur dalam pemenuhan hak-hak perempuan khususnya dalam bidang politik yang akan di review oleh Komite CEDAW dan berdampak pada citra Indonesia di dunia internasional,” pungkas Very.
Narahubung: (Elsa) 0813-8937-1400