Siaran Pers Komnas Perempuan Memastikan Ketidakberulangan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Pesantren

today4 jam dari sekarang
27
Okt-2025
42
0

Jakarta, 27 Oktober 2025

Lembaga Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk individu dan masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga pendidikan keagamaan (pesantren). Pesantren memiliki karakter khas dalam membentuk moral, spiritual, dan akhlak peserta didik. Pesantren tumbuh dari tradisi keilmuan yang cenderung lebih fokus pada ajaran agama Islam dan berlandaskan pada nilai-nilai keikhlasan, pengasuhan, penghormatan terhadap guru, serta penegakan kedisiplinan. Citra ini menjadikan pesantren menjadi alternatif jika dibandingkan sistem Pendidikan sekuler yang dinilai kurang menanamkan nilai moral dan karakter keislaman pada peserta didiknya.

Komnas Perempuan mencatat  dalam Catatan Tahunan (CATAHU), pengaduan kasus kekerasan seksual di ranah pendidikan sepanjang tahun 2020-2024 terdapat 97 kasus. Kekerasan seksual di perguruan tinggi menempati urutan pertama  sebanyak 42 kasus (43%), pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam menempati urutan kedua sebanyak 17 kasus (17,52 %) dan sekolah menengah (SMA/SMK) sebanyak 16 kasus (16,49 %).  Kekerasan seksual mendominasi jenis kekerasan berbasis gender (kbg) di lembaga pendidikan. Dalam data CATAHU 2020-2024, sekitar 83,62 % dari kasus kekerasan berbasis gender di pendidikan adalah kekerasan seksual (termasuk perkosaan, pencabulan, pelecehan). Pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di antaranya adalah guru, dosen, atau ustad/figur pengajar bahkan pengasuh yang memiliki otoritas atau hubungan sangat dipercaya  korban.

Menurut Devi Rahayu, Komisioner Komnas Perempuan, “Kasus kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es, di mana kasus kekerasan seksual yang dilaporkan jumlahnya lebih sedikit daripada yang terjadi di lapangan. Ketimpangan relasi kuasa yang kuat antara pelaku dan korban menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual. Hal ini juga menyebabkan banyak korban memilih diam dan tidak berani untuk melaporkan.”

Di samping itu Devi mengungkapkan, bahwa adanya ancaman, tekanan sosial, serta kekhawatiran terhadap nama baik merupakan faktor lainnya yang membuat korban enggan bersuara.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bentuk kekerasan yang dialami korban bervariasi, yakni berupa pelecehan verbal dan fisik, perbuatan cabul, hingga pemaksaan hubungan seksual. Dalam beberapa kasus, pelaku justru mendapat perlindungan dari lingkungan pesantren atau tokoh masyarakat setempat. Viralnya kasus kekerasan seksual yang dialami santri membuat korban semakin takut untuk melaporkan kasusnya.

Dalam konteks tersebut, peran media sangat krusial untuk menembus kultur diam dan membuka ruang publik bagi korban yang selama ini tertutup.

“Pemberitaan yang berperspektif pada korban bukan hanya pembesaran kasus yang dilakukan oleh media tetapi memastikan bahwa akses keadilan bagi korban terpenuhi melalui pendampingan agar korban berani bersuara untuk melaporkan kasus yang dialaminya kepada kepolisian,” kata Daden Sukendar, Komisoner Komnas Perempuan.

Kekerasan seksual di pesantren menimbulkan dampak yang besar bagi korban. Mereka mengalami trauma mendalam, hilangnya rasa aman di lingkungan belajar, gangguan psikologis hingga depresi. Dalam beberapa kasus, korban mengalami penolakan dari keluarga atau masyarakat karena dianggap “menodai nama baik pesantren”. Bagi lembaga pendidikan, kekerasan seksual menimbulkan krisis kepercayaan publik.

Komnas Perempuan mengapresiasi upaya penerbitan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Regulasi ini merupakan tonggak penting dalam upaya perlindungan terhadap peserta didik /santri pada satuan pendidikan Dalam hal ini pesantren termasuk sebagai satuan pendidikan yang berada di bawah tanggung jawab Kemenag. PMA ini mengatur sejumlah hal krusial termasuk di dalamnya definisi dan bentuk-bentuk kekerasan seksual, hak korban, hingga sanksi administratif bagi lembaga pendidikan yang lalai mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual.  

Komnas Perempuan sebagai lembaga negara independen yang memiliki mandat untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, menyampaikan sejumlah tuntutan kepada Kemenag untuk:

  1. Mengimplementasi PMA No. 73 Tahun 2022 secara menyeluruh dengan mengacu pada UU nomor 12 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS);
  2. Memandatkan kepada Inspektoral Jenderal (Itjen) untuk menyelenggarakan pengawasan internal terhadap implementasi PMA no. 73 Tahun 2022 untuk memastikan infrastruktur, tata kelola dan ekosistem lembaga pendidikan keagamaan berasrama tidak berpotensi terjadinya kekerasan seksual, yang terintegrasi ke dalam sistem perizinan pendirian dan penilaian akreditasi pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan berasrama; 
  3. Secara tegas memberikan sanksi kepada lembaga pendidikan keagamaan berasrama maupun pesantren agar tercipta ketidakberulangan dan efek jera bagi pelakunya; 
  4. Mengadopsi pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada satuan lembaga pendidikan keagamaan termasuk pesantren dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.

Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)

Pertanyaan/Komentar
clear
clear
location_on
Jl. Latuharhary No.4B 1, RT.1/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310
call
Nomor Telpon/Fax
+62-21-3903963
+62-21-3903922 (Fax)
mail
Surat Elektronik
public
Ikuti Kami
privacy_tip
Disclaimer
Semua materi didalam website komnasperempuan.go.id diperuntukan bagi kepentingan HAM khususnya dalam Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Copyright © 2023. Komnas Perempuan
accessibility_new
Menu Aksesibilitas