”Akses Kontrasepsi Darurat untuk Korban Perkosaan dan Kekerasan Seksual Lainnya adalah Hak, Bukan Pilihan”
Jakarta, 25 September 2025
Pada peringatan hari Kontrasepsi Internasional 2025 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak negara untuk memastikan akses kontrasepsi darurat (kondar) tersedia cepat, aman, dan tanpa diskriminasi, khususnya bagi perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini diperkuat oleh UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang menegaskan hak perempuan untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi.
”Hari Kontrasepsi Internasional mengingatkan kita bahwa setiap perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya berhak segera memperoleh kondar. Negara wajib memastikan layanan ini tersedia tanpa stigma dan penundaan, karena setiap menit berarti bagi pemulihan korban,” tegas Komisioner Yuni Asriyanti.
Dalam kerangka Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang disahkan melalui Undang-Undang 7 tahun 1984, Indonesia memiliki kewajiban hukum yang jelas untuk menjamin akses perempuan pada layanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi (Pasal 12), sekaligus menghormati hak mereka menentukan jumlah dan jarak kelahiran (Pasal 16 ayat 1 huruf e). Kewajiban ini diperkuat oleh Rekomendasi Umum No. 24 tahun 1999 yang menegaskan pemenuhan hak kesehatan reproduksi sebagai tanggung jawab negara, serta Rekomendasi Umum No. 35 tahun 2017 yang menilai penolakan layanan kontrasepsi sebagai bentuk kekerasan berbasis gender.
Di tingkat nasional, aturan seperti Permenkes No. 2 tahun 2025, PP No. 61 tahun 2014, dan PP No. 28 tahun 2024 sudah secara tegas menyebutkan bahwa kontrasepsi darurat wajib disediakan bagi perempuan yang tidak terlindungi kontrasepsi maupun korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya.
Akses kontrasepsi darurat merupakan hak korban untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan akibat kekerasan, sekaligus bagian penting dari proses pemulihan mereka. Namun, dalam praktiknya, korban masih sering dihadapkan pada stigma, diskriminasi, dan birokrasi yang membatasi bahkan menghambat akses. Kondisi ini tidak hanya memperpanjang penderitaan, tetapi juga melanggar hak korban atas kesehatan, keadilan, dan pemulihan.
“Menunda atau menolak pemberian kondar berarti menambah lapisan kekerasan baru terhadap korban. Negara harus memastikan setiap fasilitas kesehatan menjadi ruang aman bagi perempuan untuk mengakses hak reproduksinya,” ujar Wakil Ketua Dahlia Madanih.
Karena itu, Komnas Perempuan menegaskan bahwa kontrasepsi darurat adalah hak, bukan belas kasihan. Negara harus memastikan akses informasi dan layanan ini tersedia cepat, aman, dan tanpa diskriminasi. Dengan menjamin akses kontrasepsi darurat, negara menunjukkan keberpihakan nyata pada korban, melindungi hak perempuan atas diri, tubuh dan masa depannya, serta memperkuat fondasi keadilan reproduktif di Indonesia.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)