“Menolak Impunitas, Memulihkan
Martabat: Seruan Komnas Perempuan untuk Penghapusan Kekerasan Seksual dalam
Konflik”
Jakarta, 8 Juli 2025
Dalam rangka
memperingati Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Seksual dalam
Situasi Konflik, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) mengingatkan pemerintah Indonesia untuk secara serius melaksanakan
Rekomendasi Umum Nomor 30 CEDAW tentang Perempuan dalam Konflik dan
Pascakonflik. Rekomendasi tersebut menegaskan bahwa:
"Negara Pihak harus memastikan bahwa perempuan korban kekerasan di
masa konflik memiliki akses terhadap keadilan, pemulihan yang efektif, reparasi
yang menyeluruh (termasuk restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi), serta
jaminan ketidakberulangan."
Dahlia Madanih,
Komisioner Komnas Perempuan, menegaskan pentingnya komitmen negara untuk
penyelesaian kasus kekerasan seksual, khususnya dalam situasi konflik, baik
yang terjadi di masa lalu maupun yang masih berlangsung saat ini. Situasi
konflik tersebut meliputi konflik intoleransi, konflik sumber daya alam dan
bencana, migrasi dan perdagangan orang, serta kerentanan perempuan dalam
peredaran narkotika.
Menurutnya, hal ini
penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa seluruh kebijakan dan program
penanganan kekerasan seksual dalam situasi konflik didasarkan pada prinsip
non-diskriminasi, akuntabilitas, partisipasi korban, reparasi, jaminan
ketidakberulangan, serta pencegahan terhadap impunitas.
Komnas Perempuan
kembali menyoroti keprihatinan Komite CEDAW dalam Concluding Observations
atas Laporan Periodik ke-6 dan ke-7 (2012), serta ke-8 (2021) dari Indonesia,
terkait belum optimalnya upaya negara dalam memenuhi hak-hak perempuan korban
kekerasan seksual dalam situasi konflik. Hal ini termasuk peristiwa 1965, konflik di
Timor Leste, Aceh, Poso, Ambon, Papua, serta Tragedi Mei 1998.
Komite CEDAW
mendesak negara untuk mengungkap kebenaran, memastikan reparasi yang menyeluruh,
mencakup restitusi, kompensasi, rehabilitasi, serta menjamin hak atas keadilan
melalui mekanisme yudisial dan non-yudisial yang berbasis pada kebutuhan
korban. Negara juga didorong untuk mencegah terulangnya kekerasan serupa di
masa mendatang.
“Negara memiliki
tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak perempuan korban, terutama dalam menjamin
kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan sebagai satu
kesatuan pemulihan yang berkeadilan,” tegas Komisioner Yuni Asriyanti.
Komnas Perempuan
menegaskan bahwa meskipun Pemerintah Indonesia telah mengadopsi Resolusi Dewan
Keamanan PBB 1325 melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3KS),
implementasinya hingga kini belum berjalan menyeluruh, belum sepenuhnya
berpihak pada korban, dan belum melibatkan perempuan penyintas dalam
pengambilan keputusan.
Rencana Aksi
Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial
(RAN P3AKS), yang mencakup upaya pencegahan, penanganan, pemberdayaan, dan
partisipasi, harus dijalankan secara konkret di tingkat nasional maupun daerah,
dengan dukungan lintas sektor termasuk keterlibatan masyarakat sipil.
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa para korban kekerasan seksual dalam situasi konflik masih menanggung trauma mendalam, sementara hak-hak mereka belum sepenuhnya diakui dan dipenuhi. Oleh karena itu, negara harus segera memenuhi tanggung jawabnya dalam kerangka keadilan transisional, yang mencakup pengungkapan kebenaran, pemulihan, serta jaminan ketidakberulangan, tegas Dahlia Madanih.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)