Jakarta, 25 Juli 2024 – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) dan Kantor Staf Presiden (KSP) mengadakan pertemuan untuk membahas
sejumlah isu krusial yang mendesak untuk ditindaklanjuti sebelum masa
kepemimpinan Presiden berakhir. Pertemuan ini dihadiri oleh Moeldoko selaku
Kepala Staf Kepresidenan dan Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan. Hadir pula
dalam pertemuan tersebut Rumadi Ahmad, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Sunarman
Sukamto selaku Tenaga Ahli Kedeputian V KSP, Nuraini Hilir selaku Tenaga Ahli
Kedeputian II, serta Billy, Tim Hukum KSP. Sementara itu Andy Yentriyani hadir
bersama tiga orang komisioner lainnya yaitu Theresia Iswarini Ketua Sub Komisi
Pemulihan, Bahrul Fuad Ketua Sub Komisi Pemantauan, dan Tiasri Wiandani Ketua
Tim Perempuan Pekerja.
Komnas Perempuan dalam kesempatan ini membahas lima isu krusial yang advokasinya diharapkan dapat dikawal bersama pada detik-detik kepemimpinan presiden saat ini.
“Kami memahami ini injury time sebelum pergantian kepresidenan.
Kalau tidak salah dua setengah bulan atau kurang. Tapi rasanya ada beberapa hal
yang mungkin bisa kita lakukan, baik itu menyelesaikan berbagai isu yang sudah
kita lakukan selama lima tahun terakhir ini, maupun untuk memastikan bahwa akan
difollowup dalam administrasi kedepan,” Terang Andy Yentriyani.
Dalam pertemuan tersebut, Tiasri Wiandani menyampaikan kekhawatirannya terkait stagnansi pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di DPR.
"RUU ini sudah berproses selama 20 tahun, dan kami berharap ada komunikasi politik yang dapat memecahkan kebuntuan di DPR," ujarnya.
Tiasri juga menekankan pentingnya memastikan bahwa rancangan undang-undang ini dapat menjadi carryover agar prosesnya tidak diulang dari awal. Selain itu pada pembahasan mengenai hukuman mati, ia mengungkapkan harapan besar para terpidana hukuman mati terkait pengesahan KUHP baru yang memungkinkan adanya komutasi.
"Kami berharap peraturan pelaksana KUHP baru dapat menjangkau mereka yang ada di deret tunggu," ujar Tiasri.
Andy Yentriyani dalam
kesempatan ini juga mengapresiasi dukungan KSP dalam kasus Merry Utami sehingga
penghukumannya bisa dikurangi.
Sementara itu Bahrul Fuad menyoroti peningkatan kasus konflik terkait sumber daya alam dan proyek strategis nasional (PSN) yang berdampak signifikan pada perempuan.
"Kami mendorong agar PSN yang sedang dijalankan bisa menggunakan pendekatan yang ramah perempuan, karena perempuan erat kaitannya dengan sumber daya alam," terangnya.
Andy Yentriyani pada pembahasan ini menyoroti kasus yang dialami komunitas
masyarakat adat Sihaporas dan kasus-kasus sumber daya alam lainnya. Ia berharap
koordinasi lebih rekat dapat dilakukan dengan kelompok kerja terkait di KSP.
Andy juga menambahkan pentingnya dukungan KSP dalam menangani kasus-kasus
intoleransi dan pelanggaran HAM masa lalu.
Hal lain yang turut menjadi pembahasan yaitu terkait keadilan restoratif (restorative justice). Theresia Iswarini dalam kesempatan ini menyampaikan bahwa pemantauan keadilan restoratif dilakukan untuk memastikan adanya perubahan kebijakan untuk perbaikan perlindungan terhadap perempuan.
“Pemantauan keadilan restoratif dilakukan untuk memastikan adanya perubahan dalam kebijakan untuk perbaikan perlindungan terhadap perempuan dalam konteks hukum karena ini ada akses keadilan dan pemulihan yang nampaknya terabaikan di dalam isu keadilan restoratif,” terang Theresia Iswarini.
Ia juga menyampaikan bahwa pasca
pemantauan keadilan restoratif, Komnas Perempuan telah menyampaikan rekomendasi
kepada Kementerian/Lembaga terkait mengenai hasil pemantauan yang dilakukan.
Andy Yentriyani dalam kesempatan ini menegaskan bahwa Komnas Perempuan
mengharapkan adanya kebijakan berskala nasional yang bisa mengikat baik
institusi penegak hukum maupun lembaga layanan. Hal ini dilakukan mengingat
kebijakan yang ada masih sektoral sehingga diperlukan payung hukum agar tidak
ada lagi pihak yang melakukan upaya atas nama keadilan restoratif, namun justru
menyebabkan korban semakin terpuruk.
Terakhir, Komnas Perempuan menyampaikan terkait isu kebijakan diskriminatif yang telah dikawal Komnas Perempuan sejak tahun 2007 dan menjadi bagian dari program prioritas nasional pada tahun 2017 dan masih berjalan hingga 2024. Andy Yentriyani menyampaikan bahwa dibutuhkan ruang yang lebih politis dan lebih strategis yang diharapkan dapat dilakukan di tingkat KSP. Andy juga berharap KSP dapat mengeluarkan petunjuk dan mengupayakan executive review pada kebijakan-kebijakan diskriminatif yang ada di Indonesia.
“Mengenali ini adalah
momentum terkahir, berharap ada petunjuk di tingkat kementerian yang
dikeluarkan oleh KSP untuk bisa melakukan pemeriksaan lebih total pada seluruh
kebijakan-kebijakan diskriminatif dan megupayakan executive review
karena bentuknya juga setengahnya adalah regulasi kepala daerah, bukan
peraturan daerah yang harus melalui Mahkamah Agung untuk Judicial Review,”
Andy melanjutkan bahwa Komnas Perempuan berharap ada gebrakan untuk membatalkan
kebijakan diskriminatif yang masih ada, terutama kebijakan-kebijakan yang
melanggar hak-hak perempuan.
Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan pada kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih kepada Komnas Perempuan yang telah memberikan pecutan semangat untuk bekerja lebih keras lagi. Dalam pertemuan ini, Moeldoko menekankan pentingnya memperkuat tim lobi untuk mendorong penyelesaian RUU PPRT.
“Saya pikir sebuah
momentum bersejarah karena presiden sudah membuat surat kepada DPR. Ini tinggal
tim lobi kita perkuat. Ada pendekatan-pendekatan khusus karena sebetulnya sudah
tinggal final,” ujar Nuraini Hilir dalam kesempatan ini juga menceritakan bahwa pada
Desember 2023 melalui melalui Kedeputian II dan Kedeputian V KSP menerima
audiensi jaringan dan menitikberatkan strategi yang bisa dilakukan untuk dapat menembus
kebuntuan di DPR.
Terkait persoalan konflik dan pelanggaran HAM Moeldoko menyampaikan bahwa KSP sudah melakukan penyelesaian konflik seperti kasus Syiah di Madura, dan GKI Yasmin di Bogor. Sementara pada isu pelanggaran HAM masa lalu, KSP sudah membuat memo kepada presiden untuk bisa memperpanjang masa kerja Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM). Adapun terkait konflik yang terjadi pada proyek-proyek strategis nasional, Moeldoko menyampaikan bahwa dampak-dampak yang dilihat pada proyek PSN baru dampak-dampak fisiknya saja dan belum ada pembicaraan khusus terkait hal ini. Dampak seperti perkosaan, kekerasan, KSP belum melihat sampai sejauh itu.
“Dampak seperti
apakah ada perkosaan, kekerasan seksual dan sebagainya kita belum memikirkan
sejauh itu ya. Karena kayaknya tidak begitu signifikan, kalaupun ada itu
oknum,” ujar Moeldoko.
Rumadi Ahmad menambahkan,
terkait kasus transito Mataram, KSP sudah mengambil langkah-langkah
penyelesaian dengan mengundang pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat dan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mataram. Adapun terkait pelanggaran HAM masa
lalu, Siti Ruhaini menyampaikan bahwa Kemenkopolhukam masih mengupayakan untuk
meneruskan Keppres terkait Tim PPHAM. Ia juga menyampaikan bahwa
masalah-masalah dalam penyelesaian pelanggaran HAM semakin banyak sehingga KSP
akan membentuk satu tim di bawah KSP sambil menunggu Keppres yang baru. KSP
juga melakukan verifikasi lapangan di Aceh untuk menjadi bahan rapat koordinasi
lintas K/L yang dipimpin langsung oleh Kepala Staf Kepresidenan.
Dalam
kesempatan ini, Billy, Tim Hukum KSP merespons terkait isu hukuman mati dan
keadilan restoratif. Ia menyampaikan bahwa terkait hukuman mati KSP sudah
melakukan dua kali FGD dengan tim perumus KUHP dan menemukan banyak hal perlu
diklarifikasi melalui peraturan turunan. Billy juga menambahkan bahwa per 13
Juni Kepala Sataf Kepresidenan sudah bersurat langsung kepada Menteri Hukum dan
HAM dan merekomendasikan langkah-langkah teknokratik untuk pembentukan aturan
turunan terkait pidana mati.
Adapun terkait keadilan restoratif Billy menyampaikan bahwa KSP telah menyelenggarakan rapat koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan semua catatan dalam rapat koordinasi tersebut sudah disampaikan kepada Kemenkopolhukam untuk bisa didalami dan ditindaklanjuti secara lebih terukur dan terarah. Ia juga meneguhkan pernyataan Komnas Perempuan terkait kebijakan restorative justice yang masih sektoral sehingga dibutuhkan payung hukum tunggal untuk penerapan keadilan restoratif.
“Kami
juga sudah menyelenggarakan rakor dengan Kementerian/Lembaga terkait penerapan restorative
justice. Tadi betul seperti yang disampaikan rekan-rekan Komnas Perempuan,
kebijakannya sektoral. MA memiliki aturan tersendiri terkait restorative
justice, kejaksaan juga, kepolisian juga, dan kadang-kadang dalam
praktiknya saling menegasikan. Jadi Dalam rakor itu juga diusulkan adanya
payung hukum tunggal untuk pelaksanaan restorative justice,” terang
Billy
Terkait
persoalan kebijakan diskriminatif Moeldoko menyampaikan bahwa secara
undang-undang kebijakan diskriminatif sudah dipersempit. Misalnya dengan adanya
undang-undang terkait disabilitas yang juga turut didorong KSP, serta persoalan
HAM dan gender yang semakin maju. Sementara itu Rumadi Ahmad menambahkan bahwa
kebijakan diskriminatif yang ada berbunyi ketentraman, ketertiban umum, tetapi
beberapa pasal dan isinya mendiskriminasi perempuan. Moeldoko melanjutkan bahwa
terkait hal ini perlu melihat undang-undang yang menyatakan bahwa aspek
pembangunan di daerah dan pusat harus mempertimbangkan persoalan HAM. Ia juga
mengusulkan penyelenggaraan Festival HAM perlu dilaksanakan di daerah-daerah
yang banyak mengeluarkan kebijakan diskriminatif.
Menutup
pertemuan ini, Rumadi Ahmad menyampaikan bahwa Komnas Perempuan dapat
melanjutkan proses advokasi yang tengah dilakukan terkait hal-hal yang telah
didiskusikan. Sejalan dengan itu KSP juga akan menggunakan cara-cara yang dapat
dilakukan untuk memperkuat proses advokasi. Pertemuan ini mencerminkan komitmen Komnas Perempuan dan KSP
untuk terus berkolaborasi dalam menangani isu-isu penting yang berdampak pada
perempuan dan masyarakat luas di Indonesia.